|
Anak macan dahan sumatera (Neofelis diardi) di dalam kandang di rumah adat Hasan Basri. Foto: Made Ali |
Persoalan konflik lahan yang rumit di area konsesi HTI PT Suntara
Gajapati, pemasok kayu untuk pulp bagi group Asia Pulp and Paper di Riau
menyisakan persoalan terhadap kelestarian habitat satwa liar di wilayah
ini. Habitat macan dahan didera oleh persoalan penguasaan lahan yang
melibatkan pihak perusahaan dan masyarakat sekitar.
Dampak ketidakjelasan persoalan pengelolaan hutan di Riau ternyata
tidak saja dirasakan oleh manusia, tetapi juga berpengaruh kepada
kehidupan satwa liar. Salah satunya macan dahan langka (
Neofelis diardi),
endemik Pulau Sumatera. Satwa langka ini ditengarai keluar dari hutan
karena terjadinya gangguan asap kebakaran yang menyebabkan satwa ini
kehilangan orientasi arah.
Saat dikunjungi oleh Mongabay Indonesia (25/02), anak kucing besar
berekor panjang berbulu belang hitam itu, berada di sebuah kandang yang
terbuat dari kayu. Awalnya satwa tersebut ditemukan oleh Panji
Suratmin (54 tahun), salah satu warga yang tergabung dalam kelompok
Hasan Basri di daerah Batu Teritip, Kecamatan Sungai Sembilan, Kabupaten
Dumai, Riau.
“Kondisinya lemas sekali saat kami temukan,” kata Panji kepada
Mongabay Indonesia, saat ia memberi air pada sang macan dahan.”Mungkin
karena kabut asap, dia keluar dari hutan,” kata Panji. Panji bersama
penghuni rumah adat, sudah tiga hari memantau sang macan dahan sekaligus
untuk ”memastikan induknya datang atau tidak.” Selama di dalam
kandang, sang macan dahan diberi makanan berupa ayam dan diberi minum
oleh warga yang memeliharanya.
Kanal sebagai batas sisa hutan alam yang diklaim oleh kelompok Kalifah Hasan Basri. Foto Ridzki R. Sigit
“
Macam dahan hampir sama langkanya dengan harimau. Mereka mungkin
malah lebih terancam dibanding harimau, karena mereka lebih membutuhkan
hutan lebat dengan pepohonan besar, yang sekarang sudah banyak
menghilang di banyak tempat di sumatera. Populasi di seluruh Riau kita
belum tahu, tapi kepadatan di Riau sekitar 1,29 individu di dalam
bentang 100 km2,” kata Sunarto, Species Specialist WWF kepada Mongabay
Indonesia.
Keberadaan macan dahan di Sumatera dan Kalimantan sendiri terpisahkan oleh kerabatnya yang berada di daratan Asia yaitu
Neofelis nebulosa.
Neofelis diardi
oleh para peneliti dianggap merupakan spesies tersendiri setelah jaman
es yang memisahkan pulau-pulau di nusantara dengan daratan Asia.
Persoalan yang Menggantung
Area tempat hidup dari macan dahan, harimau serta satwa liar lain di
Riau, mulai terganggu oleh masuknya aktivitas manusia. Di wilayah yang
masuk administratif kecamatan Sungai Sembilan, Dumai, area hutan alam
telah berubah menjadi area penguasaan konsesi seperti hak pengusahaan
hutan, hutan tanaman industri akasia dan sebagian telah dijadikan ladang
dan kebun oleh masyarakat. Illegal logging masif sangat marak di
wilayah ini sejak awal tahun 2000-an yang menyisakan hutan sekunder yang
tidak lagi utuh pada saat ini.
Wilayah ini berhadapan dengan wilayah Sei Nepis, yang pada
pertengahan dasawarsa 2000-an direkomendasikan sebagai perlindungan
satwa liar untuk harimau (
Sei Nepis Sumatran Tiger Sanctuary),
namun hingga saat ini keberlanjutan dari program ini buram dan belum
dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ijin yang terlanjur diberikan
kepada konsesi oleh pemerintah telah menyebabkan area ini menjadi area
yang dibebankan ijin konsesi dan tidak bisa begitu saja ditunjuk sebagai
wilayah cagar perlindungan alam.
Kantor
PT Suntara Gajapati yang berada didalam areal konsesi,
dahulu kantor
ini pernah didemo oleh ribuan warga.
Foto: Ridzki R. Sigit
Karena keterbatasan perijinan tersebut, cara lain yang saat ini
direkomendasikan oleh para peneliti adalah tetap membiarkan sebagian
hamparan di dalam area konsesi tetap sebagai hutan alam dalam rangka
menjaga keutuhan kekayaan ragam hayatinya. Kebijakan ini dikenal dengan
kebijakan perlindungan hutan bernilai konservasi tinggi atau
high conservation value (HCV).
Wilayah HCV dapat berada di wilayah konsesi perusahaan pemegang ijin
IUPHHK HTI maupun HPH dengan komitmen tidak akan dirubah maupun ditebang
oleh pemegang konsesi.
Sebagian wilayah hutan di blok Sungai Sembilan saat ini masuk dalam
konsesi HTI Suntara Gajapati, yang merupakan pemasok independen bagi
industri pulp dan kertas Asia Pulp and Paper (APP). Berbeda dengan
rencana pengelolaan di atas kertas, persoalan yang berada di lapangan
ternyata berbeda, dimana sebagian wilayah konsesi secara
de facto telah berada di bawah klaim dan diduduki oleh masyarakat.
Dari total 34.927 hektar lahan konsesi dari perusahaan Suntara
Gajapati (PT SGP), sekitar hampir separuhnya telah diduduki oleh
masyarakat dan telah berubah peruntukan menjadi area perkebunan rakyat
dan sawit. Pihak perusahaan mengaku bahwa mereka tidak memiliki
kemampuan untuk mengamankan wilayah-wilayah yang telah diduduki oleh
masyarakat itu.
Di satu sisi, semakin banyaknya manusia yang menempati wilayah ini,
akan semakin membuat wilayah area gambut ini rawan terhadap kebakaran.
Beberapat titik api bermunculan di wilayah konsesi PT SGP, termasuk
salah satunya yang tidak berjarak jauh dari kantor pada saat Mongabay
Indonesia mengunjungi area ini.
“Separuh dari area konsesi PT SGP telah diduduki oleh warga,” Kiki Aziz, Kepala Unit PT SGP. Foto: Ridzki R. Sigit
Di wilayah PT SGP sendiri, telah muncul sejumlah titik api selama
bulan Februari 2014 saja. Titik-titik api inilah yang kemudian
menyebabkan munculnya kebakaran lahan yang membuat terganggunya hidupan
liar selain menurunkan kualitas hidup manusia di wilayah ini.
Kebakaran yang sulit dipadamkan terjadi karena wilayah ini merupakan
area lahan gambut yang amat rawan terhadap kebakaran. Api tidak saja
tampak di permukaan, tetapi juga di bawah permukaan tanah. Perubahan
bentang lahan menjadi kebun HTI akasia, sawit maupun areal permukiman
bisa saja akan semakin memperburuk kondisi lahan gambut yang ada.
Dari sekitar 13 kelompok masyarakat yang mengklaim wilayah area
konsesi PT SGP, salah satunya adalah blok bentang lahan seluas 1.600
hektar yang diklaim oleh kelompok Kalifah Hasan Basri sebagai wilayah
adatnya sejak tahun 2006. Pada tahun 2011, pihak PT SGP dengan kelompok
Hasan Basri telah bersepakat lahan tersebut akan dialokasikan oleh
perusahaan kepada kelompok ini. Setahun sebelumnya kelompok ini menolak
PT SGP untuk bekerja di lahan yang mereka klaim sebagai lahan adat.
Sesuai dengan perjanjian, 900 hektar dari total wilayah telah dibuka
pada tahun 2011 oleh PT SGP dan sebagian telah mulai ditanami dengan
tanaman karet oleh warga kelompok. Sedangkan sisa dari 700 hektar hingga
saat ini masih berupa hutan alam yang terindikasi sebagai blok hutan
HCV.
Persoalan lama ini menjadi menggantung kembali. APP yang terikat dengan komitmen menjalankan Kebijakan Konservasi Hutan (
Forest Conservation Policy)
sejak Februari 2013, menyiratkan akan meninjau ulang janji kepada
kelompok Hasan Basri untuk blok berhutan di area 700 hektar tersebut.
Dengan adanya komitmen
zero deforestation policy untuk
menghentikan pembabatan hutan alam, maka APP terikat janji dengan para
pemangku kepentingannya baik yang berada di tingkat internasional maupun
nasional untuk tidak lagi mengkonversi hutan alam. Janji ini akan
melibatkan seluruh pemasok kayu industri pulp APP, baik yang berada di
bawah kendali langsung group Sinar Mas Forestry (SMF) maupun para
pemasok independennya.
Persoalan lama yang terkuak pun berubah menjadi persoalan yang rumit.
Jauh sebelum APP merumuskan dan mengumumkan Kebijakan Konservasi
Hutannya, pada tahun 2011 pihak PT SGP yang merupakan suplier APP, telah
menyetujui klaim kelompok Hasan Basri untuk mengkompensasi sebagian
wilayah konsesi untuk kepentingan kehidupan masyarakat. Untuk saat ini,
persoalan ini
dead lock, Hasan Basri belum mau menyetujui klaim
kompensasi lahan pengganti yang ditawarkan oleh APP atas tidak
dikonversinya blok hutan HCV seluas 700 hektar tersebut.
Di sisi lain, lahan 700 hektar ini pun merupakan lahan yang terhubung
dengan blok hutan utuh dengan luas lebih kurang 2.000 hektar yang
relatif belum terganggu. Blok hutan ini berada di blok hutan Sei Nepis
yang saat ini berada dalam wilayah kerja HPH PT Diamond Raya Timber.
Hutan alam terakhir ini bak merupakan pulau habitat satwa untuk tetapi
hidup dan bertahan di wilayah ini. Di dalam kawasan ini menurut
penelitian dari Sumatran Tiger Trust merupakan salah satu kantung
terbesar dari habitat harimau Sumatera.
Hasan Basri: “Lahan adat kami tidak dapat dipindah-pindahkan”. Foto: Ridzki R. Sigit
Pada saat Mongabay-Indonesia melakukan kunjungan kerja ke rumah Hasan
Basri, ia menyatakan bahwa wilayah adat merupakan suatu yang pasti,
tidak mungkin untuk ditukar maupun dipindahkan. “Saya tidak dapat
menukar wilayah adat, tanah yang merupakan hak saya adalah tanah ini,
sedangkan tanah yang lain adalah hak yang lain” ujarnya. Hasan Basri
sendiri mengklaim bahwa dirinya adalah keturunan keempat dari Panglima
Nasam, seorang panglima perang, sekaligus salah satu tokoh pendiri kota
Dumai pada jaman kerajaan Melayu Riau dulu.
Saat ini Hasan Basri yang menyebut dirinya sebagai Kalifah, mengaku
bahwa ia membawahi satu kelompok dari 800 kepala keluarga. Berbeda
dengan kelompok adat pada umumnya, kelompok Hasan Basri terdiri dari
berbagai etnis, selain orang Melayu Riau, maka warga kelompoknya berasal
dari etnis Jawa, Batak, Bugis dan Minang. “Kami tidak membedakan etnis,
kelompok adat kami mencirikan Indonesia, demikian pula agama, kami
tidak membedakan agama, siapapun bisa bergabung disini. Selama ia dan
keluarganya menjalankan apa yang digariskan oleh kelompok. Tidak
bikin ribut.”
Sesuai dengan rencana Hasan Basri untuk pengelolaan lahan 1.600
hektar ini, maka 1 kepala keluarga akan memiliki 2 hektar lahan.
Sehingga dengan demikian akan ada 800 KK yang akan terbagi rata di lahan
tersebut. Hasan Basri sendiri telah mendirikan sebuah rumah adat besar
di salah satu blok wilayah lahan yang dianggap sebagai wilayah
adatnya. Di samping rumah adat Melayu besar tersebut, ia membangun
sebuah bangunan mesjid yang juga bercorak Melayu. Di lahan adat,
menurut penuturan Hasan Basri, terdapat 40 anggota kelompok yang tinggal
tetap.
Ketika menemani Mongabay Indonesia berjalan ke area yang telah
dibuka, Panji Suratmin salah seorang anggota kelompok Hasan Basri yang
beretnis Jawa, mengeluh dengan kematian tanaman karet yang dikelolanya.
“Baik karet, jagung atau padi, yang kami tanam banyak yang mati,
kebanyakan mati waktu air pasang dari banjir kanal gambut.” Dari
penampakan di lapangan memang terlihat banyak bibit tanaman karet yang
mati karena layu akar.
Lahan
yang telah dibuka oleh PT SGP bagi kelompok Hasan Basri.
Karet (tampak
depan) menggantikan tegakan kayu hutan alam. Foto: Ridzki R. Sigit
“Yang tumbuh subur di lahan gambut sini cuma labu, kalau pisang
lumayan buat sehari-hari,” ujarnya. Saat ditanya, ia mengaku telah
mengenal Hasan Basri sejak 12 tahun lalu. Panji dan keluarganya pindah
dari Aceh ke Riau pada saat situasi konflik bersenjata Aceh meningkat.
Ia dan keluarganya harus pindah saat desa transmigrasi tempatnya tinggal
diserang oleh gerombolan bersenjata. Sejak bertemu dengan Hasan Basri,
ia ditampung dan sejak itu menjadi anggota kelompoknya.
Panji sendiri saat ini mempertahankan hidupnya dengan bekerja
serabutan, baik dengan mengolah lahan di wilayah adat Kalifah Hasan
Basri maupun pergi keluar bekerja menjadi kuli tanam. Panji sendiri
meskipun sudah berumur, masih terlihat lincah bergerak dengan tubuh
kurusnya yang terpanggang matahari.
“Kalau bagaimana kelompok adat djalankan, saya tidak tahu. Yang saya
tahu pak Kalifah yang memimpin, siapa yang mengurusi tiap-tiap bagian
saya tidak tahu. Tanya saja ke pak Kalifah,” elaknya saat ditanya
bagaimana mekanisme pengambilan keputusan kelompok dijalankan dalam
komunitas adat Kalifah Hasan Basri. Demikian pula ia mengelak untuk
menjelaskan bagaimana konsep penataan lahan dan hutan tersisa setelah
seluruh lahan diserahterimakan kepada individu di dalam kelompok Hasan
Basri.
Rumah
warga di lahan yang ditempati oleh kelompok Hasan Basri.
Warga bertahan
dari bekerja serabutan disaat mengolah lahan tidak terlalu
menghasilkan.
Foto: Ridzki R. Sigit
Hingga artikel ini dibuat, belum terdapat kepastian masa depan dari
area hutan alam tersisa 700 hektar di blok PT SGP. Meskipun pihak
perusahaan telah menawarkan area kompensasi baru bagi anggota kelompok
Hasan Basri, selama itu pula ia masih tetap kukuh dengan prinsipnya.
Apa yang terjadi pada saat ini bagi APP bagaikan tersandera dengan
berbagai persoalan sebelum era kebijakan komitmen pelestarian hutannya.
Belum ada jalan keluar dari kasus ini.
Si anak kucing besar masih asyik menjilati wadah air minum di dalam kandangnya.
”Kalau sudah sehat dan besar, kami pasti lepaskan ke hutan kembali,”
kata Panji. Niat Panji memang baik, tetapi ketika habitat tempat
hidupnya menyempit, mangsa telah menghilang, akankah macan dahan
sumatera, harimau dan satwa liar lain tetapi hidup dan selamat di
habitatnya selama klaim lahan masih berlangsung di atas habitat tempat
ia hidup? Jangan-jangan sudah habis hutannya, saat urusan klaim lahan
ini usai.
Sumber:
mongabay.co.id