Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Senin, 25 Juni 2012

Jika Konflik Agraria Makin Akumulatif dan Massif

Jika Konflik Agraria Makin Akumulatif dan Massif

, ,

http://imsitumeang.wordpress.com/2012/06/21/jika-konflik-agraria-makin-akumulatif-dan-massif/

Konflik agraria seakan tiada akhir. Bahkan tiap tahun terus meningkat tajam. Pelanggaran nilai kemanusiaan selalu menyertai setiap konflik agraria, baik yang dilakukan aparat keamanan yang ke areal konflik agraria maupun perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambangan dalam proses merampas hak atas kepemilikan tanah petani.
Sejak bulan Januari hingga Juni 2012 sedikitnya 101 konflik agraria. Luas areal yang diperebutkan 377.159 hektar. Korbannya lebih 25 ribu keluarga petani. Demikian catatan Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN REPDEM) bidang penggalangan tani. Sepanjang tahun 2011, konflik agraria mencapai 163 kasus. Rinciannya di sektor perkebunan 97 kasus, kehutanan 36 kasus, infrastruktur 21 kasus, pertambangan 8 kasus, pertambakan 1 kasus. Luas areal yang disengketakan 472.084,44 hektar dan melibatkan 69.975 keluarga petani. Jumlah tahun 2010 hanya 106 kasus.
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural yang melibatkan penduduk melawan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Menggunakan pengelompokan masyarakat ala Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural merupakan sengketa kelompok masyarakat sebagai satu kekuatan “melawan” dua kekuatan, yakni sektor bisnis dan/atau negara.
Sejak tahun 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (kabupaten/kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 keluarga petani.
Konflik agraria yang paling tinggi intensitasnya terjadi di perkebunan (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan pengairan (77 kasus), kawasan wisata (73 kasus), pertambangan (59 kasus), dan militer (47 kasus).
Badan Pertanahan Nasional (BPN) mendata, terdapat 2.810 kasus skala besar (nasional), 1.065 di antaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa. Sekitar 322 kasus berpotensi memicu kekerasan.
Di perkotaan, sengketa tanah umumnya dipicu oleh meningkatnya urbanisasi, pembangunan proyek infrastruktur skala besar, politik pertanahan (seperti menggusur warga miskin perkotaan dari tanah berlokasi strategis untuk lokasi pembangunan proyek komersial) banyak berakhir pada penggusuran paksa masyarakat miskin perkotaan. Di daerah kaya mineral, konflik agraria terus terjadi antara masyarakat adat dan pemerintah atau perusahaan swasta pemegang konsesi seperti Freeport Indonesia (Papua) dan Caltex Pacific Indonesia (Riau). Di wilayah transmigrasi, antara transmigran dan masyarakat lokal. Di kawasan kehutanan, antara badan usaha milik negara (BUMN) atau perusahaan perkebunan dan masyarakat adat. Di pedesaan, alih fungsi lahan untuk proyek-proyek seperti waduk dan lokasi latihan militer.
Rencana pemerintah membagi-bagikan tanah seluas 8 juta hektar dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) atau Landreform Plus masih samar-samar dan tidak jelas arahnya, apakah prioritasnya untuk menyelesaikan sengketa pertanahan untuk kepentingan kaum tani ataukah hanya siasat melegalkan penjualan tanah untuk perusahaan asing? Ataukah hanya sekadar memindah kaum tani tak bertanah menuju daerah-daerah baru transmigrasi? Karena tidak jelas maka kita harus mengawal dan mendorong PPAN agar benar-benar untuk kesejahteraan kaum tani yang mengarah ke penyelesaiaan konflik agraria.
Berarti jumlah konflik agraria terus meningkat tajam. Padahal konflik agraria di tahun lalu saja belum satu pun selesai. Kasusnya tersebar di Sumatera Utara, Riau, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Umumnya lokasi konflik agraria di sekitar perkebunan, kehutanan, pertambangan. Juga terjadi karena pembangunan infrastruktur yang dipaksakan pemerintah melalui penggusuran tanah rakyat.
Guna menghentikan konflik agraria yang akumulatif dan massif, pemerintah harus segera melaksanakan reforma agraria atau pembaruan agraria yang pro rakyat. Pemerintah harus menugaskan instansi khusus untuk menyelesaikan konflik agraria yang memiliki wewenang untuk mengoordinir semua sektor seperti kementerian kehutanan, kementerian pertanian, BUMN, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Kenyataan bahwa ekonomi nasional negara kita yang makin terbelenggu oleh ketergantungan yang sangat besar kepada investasi asing yang bahkan kasat mata teramati karena adanya penguasaan besar-besaran aset kekayaan alam—khususnya di pertambangan, semakin merunyamkan penyelesaian konflik agraria.
Guru besar manajemen pertanahan Universitas Indonesia (UI) SB Silalahi mengakui bahwa konflik agraria sering terpicu oleh tumpang tindihnya peraturan serta tugas dan wewenang sektor-sektor. Karut-marut masalah agraria terjadi karena masing-masing kementerian (dulu bernama departemen) membuat undang-undang sektoral yang mengebiri Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA). Semestinya, undang-undang sektoral itu menginduk ke UU PA sebagai peraturan dasar pokok-pokok agraria.
Pembentukan undang-undang yang tidak menginduk kepada UU 5/1960 menyebabkan sulit untuk menyelesaikan masalah pertanahan yang komprehensif, integral, dan holistik. Penyelesaian konflik agraria pun karut-marut karena tanpa interaksi, interdependensi, interkoneksi, dan interrelasi antara kasus yang satu dan kasus yang lain. Masing-masing sektor memiliki wewenang untuk menetapkan peraturan yang berkaitan dengan tugasnya sehingga terjadi disharmoni dan inkonsistensi pengambilan kebijakan.

 

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah