KONFLIK sosial di Provinsi Riau, umumnya dipicu oleh faktor sengketa sumber daya alam (SDA). Kasus perebutan SDA, tak sedikit berujung pada konflik terbuka, hingga menyebabkan korban luka bahkan meninggal dunia. Munculnya berbagai konflik itu, menorehkan daftar hitam dari buruknya pengelolaan SDA di Riau.
“Organisasi sosial Scale Up mencatat, tahun 2012 muncul 29 titik konflik mencakup sekitar 79.100 hektar lahan sengketa, dengan korban luka 37 orang dan 1 jiwa melayang. Sedangkan di tahun 2013 ada 62 titik konflik yang mencakup sekitar 171.645 lahan sengketa, dengan korban luka 27 orang dan 5 jiwa melayang,” papar Direktur Scale Up, Harry Oktavian, Jumat (21/3), pada diskusi konflik, Scale Up dan Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) Pekanbaru.
Menurut Harry, ditinjau dari per sektor, pada tahun 2012 sektor kehutanan menyumbangkan angka konflik tertinggi, yaitu 10 titik. Tetapi, tahun 2013 justru sektor perkebunan yang menyumbangkan angka konflik tertinggi, 39 titik.
“Dari sebarannya, titik konflik tertinggi tahun 2012 berada di Kabupaten Kampar, 8 titik. Pada tahun 2013 ada di Rokan Hulu, 10 titik. Sedangkan menurut luasannya, tahun 2012 konflik terluas di Kabupaten Meranti, sekitar 41.205 hektar. Dan tahun 2013 ada di Kabupaten Pelalawan, sekitar 42.241 hektar,” Harry menjelaskan.
Direktur Scale Up itu mengakui, angka-angka tersebut belum termasuk konflik yang tidak terpantau secara langsung oleh media maupun pihak-pihak berkompeten. Jadi angka tersebut bisa jadi lebih tinggi dari yang diperkirakan.
“Riau memiliki kekayaan SDA yang berlimpah, mendorong banyak perusahaan lokal, nasional, regional, bahkan internasional, beroperasi pada sejumlah sektor ekonomi di Riau. Dampak positifnya, tentu memberi kontribusi atas meningkatnya pendapatan daerah dan memperkokoh pilar perekonomian,” kata Harry.
Namun, dampak negatifnya, SDA menjadi rebutan antara pihak penguasa, pengusaha, dan masyarakat. “Ironisnya, masyarakat adat yang sudah ada dan hidup di sana, jauh sebelum adanya Negara ini, mereka harus terusir dari kampungnya sendiri, ketika perusahaan masuk atas izin pemerintah. Lalu mereka harus hengkang dan tercerai berai, karena Riau sudah dikuasai dengan berbagai perizinan,” kata Harry merasa miris.
Direktur Scale Up ini mengecam, Pemerintah Riau masih belum menunjukkan langkah serius untuk menyelesaikan konflik-konflik SDA yang ada. Sementara pengusaha dalam menyelamatkan bisnisnya, cenderung berlindung dibalik penegakan legalistik formal yang buruk. Penyelesaian konflik melalui jalur peradilan juga belum banyak berkembang dan cenderung memicu konflik baru setelah hakim membuat keputusan.
“Oleh sebab itu, perlu didorong munculnya inisiatif-inisiatif penyelesaian baru ke arah pendekatan, yang mampu menciptakan keadilan dan kedamaian antara para pihak yang bersengketa,” jelas Harry.
Scale Up meyakini, untuk memperbaiki kondisi sosial yang ada itu, dengan memperbaiki tanggung jawab sosial, menciptakan komunikasi yang seimbang dan demokratis antara masyarakat sipil, pemerintah dan sektor swasta yang berbeda kepentingan.
Sehingga, ditemukan kesepahaman bersama, yang dapat merubah konflik menjadi mitra sejajar, saling menguntungkan dan dapat menanggulangi kemiskinan. Selain itu, membantu para pihak yang bersengketa menemukan penyelesaian yang bersifat “menang-menang”.
“Sejumlah pengalaman membuktikan, proses mediasi yang diterapkan telah menciptakan hubungan yang harmoni, jangka panjang, dan saling menguntungkan,” pungkasnya.