Oleh Sapariah Saturi, December 30, 2013
Warga
Suku Anak Dalam, Jambi, yang kini menginap di Komnas HAM, di Jakarta.
Mereka menuntut BPN mencabut HGU PT Asiatic Persada, yang telah
menguasai lahan mereka. Foto: Sapariah Saturi
Rosimah, bersandar pada kursi kayu panjang, sore itu. Dia berada di
emperan belakang bangunan Komnas HAM, di Jalan Latuharhary, Menteng,
Jakarta Pusat. Tepat, berjarak beberapa meter di depan Ruang Asmara
Nababan.
Rosimah berbicara terpatah-patah. Sesekali terdiam. “Susah pikiran.
Banyak dipikir. Susah. Tak tau mau apalagi.” Dia berbicara pelan. Tampak
jelas menahan air mata. Bibir agak bergetar. “Sampai datang dari Jambi
ke sini, mau tuntut hak kami.”
Sejak 10 Desember 2013, perempuan 50 an tahun ini mondok di gedung ini bersama, puluhan
Suku Anak Dalam 113,
yang lain. Mereka tinggal dan tidur di emperan gedung ini. Dapur
darurat dibuat, dengan ditutupi terpal. Ada tungku dan peralatan masak.
Kontras dengan bangunan-bangunan mewah di kawasan elit itu.
Mereka di sana, demi menuntut pengembalian lahan adat yang diklaim
perusahaan sawit, PT Asiatic Persada. Mereka menuntut hak guna usaha
(HGU), perusahaan ini dicabut.
Rosimah tinggal di Dusun Pinang Tinggi, Batanghari, Jambi. Tempat
tinggal dan kebun dia, dianggap masuk hak guna usaha (HGU) perusahaan.
“Habis, dua rumah dirobohkan. Karet, durian, rambutan, cempedah,
dirobohkan perusahaan.”
Padahal, katanya, dia sudah turun temurun tinggal di sana. “Itu tanah
nenek saya, saya lahir di sana, anak saya enam, sudah besar-besar, cucu
sudah banyak dan dari tinggal di sana. Sekarang tak ada…”
Ruslan, warga SAD yang juga aksi mengatakan, Komnas HAM sudah
mengirimkan surat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pemerintah
daerah. Kini, mereka menanti kabar dari BPN. “Kami akan tetap di sini,
sampai BPN, menetapkan jadwal gelar perkara,” katanya.
Senada diungkapkan Mahyudin, dari Lembaga Peduli Bangsa, yang
mendampingi warga SAD. “Sampai ada jadwal BPN mau gelar perkara di mana,
baru kami akan kembali ke Jambi.”
Konflik lahan tak putus-putus di negeri ini. Konflik Suku Adat Dalam,
dan PT Asiatic, hanya salah satu dari ratusan yang lain. Aksi mereka
menuntut keadilan ke Pusat ini, menjadi suguhan penutup tahun di
Ibukota.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperlihatkan,
konflik agraria meningkat. Tahun ini, korban jiwa naik drastis, sampai
522%. Tahun 2012, warga tewas tiga orang, tahun ini menjadi 21 orang.
Korban lain, 30 orang tertembak, 130 mengalami penganiayaan dan 239
warga ditahan. Sedang pelaku kekerasan dalam konflik agraria sepanjang
2013 didominasi kepolisian sebanyak 47 kasus, keamanan perusahaan 29
kasus dan TNI sembilan kasus.
Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan lahan
mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik
perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul
infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31
(8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%).
Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383
keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.
Rosimah, ikut aksi ke Jakarta. Sejak 10 Desember 2013, dia berumah di emperan belakang kantor Komnas HAM. Foto: Andreas Harsono
Berikut ini,
Mongabay, memutar ulang cuplikan sebagian
konflik-konflik lahan dan sumber daya alam (SDA), yang terjadi di negeri
ini dari awal hingga akhir 2013.
Diawali pada 9 Januari,
warga bersama Aliansi Rakyat Gugat Penambangan Pasir Laut aksi di depan pendopo Bupati Serang, Banten. Mereka menuntut bupati mencabut izin usaha pertambangan pasir laut di pesisir Lontar dan seluruh Kabupaten Serang.
Mereka juga minta penghentian pengeluaran izin pengelolaan wilayah
laut dan pesisir dari kepentingan pertambangan. Setelah protes panjang,
warga membuahkan kemenangan kecil. Bupati Serang, A Taufik Nuriman,
menghentikan sementara pertambangan pasir lewat surat Nomor :
540/02-Huk. BPTM/2013 perihal Penghentian Sementara operasional PT.
Jetstar, tertanggal 9 Januari 2013.
Menurut surat bupati, penghentian ini guna mengkaji ulang secara
bersama-sama melibatkan unsur terkait, pemerintah daerah, pengusaha dan
masyarakat. Sayangnya, aksi perusahaan hanya berhenti sesaat. Evaluasi
Pemerintah Serang, tak jelas, kini tambang pasir besi kembali
beroperasi.
Masih Januari,
konflik antara warga dan PT PN VII Unit Cinta Manis, kembali memanas. Polisi
menangkap dan menganiaya warga yang tengah merayakan Maulid Nabi
Muhammad SAW di lahan bersengketa di Desa Betung Kecamatan Lubuk Keliat,
Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel) pada Jumat (25/1/13).
Dalam insiden itu, satu orang diamankan, Suardi bin Damiri (32) dan lima
warga mengalami luka lebam karena pukulan aparat kepolisian yang
dibantu preman perusahaan.
Tak selesai sampai di situ. Dalam aksi sekitar 500 orang terdiri dari
aktivis berbagai organisasi masyarakat sipil di Sumatera Selatan
(Sumsel) dan petani Ogan Ilir di depan Mapolda Sumsel, Selasa(29/1/13)
berakhir bentrok dengan polisi.
Serbuan aparat kepada peserta aksi di tengah guyuran hujan itu
menyebabkan beberapa aktivis dan petani menderita luka-luka, termasuk
Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, bersimbah darah dengan
robek di kepala.
Dari aksi itu, sekitar 25 orang diamankan, 11 ditahan di Polda Sumsel, 14 di Polresta Palembang.
Memasuki Februari, konflik lahan antara PT Toba Pulp Lestari (TPL)
dan masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan,
Sumatera Utara (Sumut), kembali memanas, Senin(25/2/13). Kondisi ini
karena TPL mulai menanam kayu putih (eucalyptus) di wilayah Hutan
Kemenyan di Dolok Ginjang, padahal sesuai kesepakatan proses tanam
menanam dihentikan dahulu. Warga protes hingga terjadi bentrok dengan
massa karyawan TPL.
Parahnya, brimob yang menjaga perusahaan menangkapi sekitar 31 warga, 16 orang ditetapkan tersangka, 15 dibebaskan. Sampai saat ini, keadaan di Humbang Hasundutan, masih memanas. Warga ketakutan dan terus berjaga-jaga.
Mereka yang ditangkap ini antara lain, warga dari Desa Sipituhuta,
Hanup Marbun (37), Leo Marbun(40), Onri Marbun (35), Jusman Sinambela
(50), Jaman Lumban Batu (40), Roy Marbun (35), Fernando Lumbangaol (30),
Filter Lumban Batu (45), Daud Marbun (35). Dari Desa Pandumaan Elister
Lumbangaol (45) Janser Lumbangaol (35) Poster Pasaribu (32), Madilaham
Lumbangaol (32) Tumpal Pandiangan (40).
Aksi
para petani dan organisasi petani didampingi Walhi Sumsel di depan
Mapolda Sumsel, sesaat sebelum bentrok, Selasa(29/1/13). Foto: Walhi
Sumsel
Pada Maret, warga bersama Front Perjuangan Masyarakat Korban Tambang
Tojo Una-una dan Jatam Sulteng aksi ke pelabuhan PT. Arthaindo Jaya
Abadi (PT AJA) di Desa Podi, Kabupaten Tojo Una-una, Sulteng,
Senin(4/3/13
). Mereka menuntut penghentian aktivitas pertambangan nikel yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah itu.
Massa sekitar seratusan orang. Ada anak-anak, perempuan, pemuda dan
pemudi. Mereka berkumpul di Dusun Kayu Nyole pukul 9.26. Dusun Kayu
Nyole perumahan relokasi ke dua warga Tojo korban banjir bandang Sungai
Podi, tahun 2007.
Penolakan warga beralasan. Pertambangan PT AJA berpotensi menciptakan
masalah besar bagi warga Desa Podi dan mengancam lalulintas trans
Sulawesi yang menghubungkan Kabupaten Banggai-Pos- Kota Palu-Makassar.
Dengan ada tambang ini, perusahaan menggusur hulu kampung yakni Sungai
Podi yang diapit dua gunung hingga mengakibatkan akses air sungai
terbendung galian material galian tambang.
Pada Juni,
Warga juga menutup jalan yang dibuat PT Weda Bay Nickel dan PT Tekindo, pada Senin (3/6/13), dari pukul 07.00-13.00.
Mereka adalah warga Desa Woe Jarana, Woe Kobe dan Kulo Jaya, Kecamatan
Weda Tengah, yang ingin memberikan pesan kepada perusahaan tambang agar
tak mengganggu lahan adat mereka.
WBN memiliki konsesi tambang seluas 54.874 hektar, terbesar di
Indonesia. Sekitar 35.155 hektar berada di hutan lindung! Tak hanya
konflik agraria, kerusakan lingkungan pun di depan mata.
Sejak awal masuk pada 1999, perusahaan sudah berkonflik dengan
masyarakat adat Sawai dan Tobelo Dalam. Kini, perusahaan bersiap
eksploitasi. Pabrik sudah dibangun. Masyarakat adat terancam tersingkir
dari tanah leluhur mereka.
Ancaman sama dialami masyarakat adat di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Hutan adat terancam berubah menjadi kebun sawit PT Kalimantan Hamparan
Sawit (KHS
). Masyarakat
adat Dayak di Desa Tumbang Mantuhei, Kecamatan Mahuning Raya, Kabupaten
Gunung Mas, Kalteng pun memasang palang atau hinting pali, pada 25 Mei
2013.
Masyarakat adat Dayak tergabung dalam komunitas Badehen Eka Balindung
khawatir hutan yang selama ini sebagai tempat hidup dan penyangga
lingkungan, habis jadi kebun sawit.
Masyarakat
Mantuhei saat ritual hinting pali, palang adat untuk melarang
perusahaan membuka hutan di lahan warga. Foto: Save Our Borneo
Masih Juni,
Mongabay, merekam bentrok warga dan brimob
. Operasi tambang PT Indo Muro Kencana (PT IMK), di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng), berhenti sementara setelah bentrok antara berunak (warga penambang) dan brimob penjaga perusahaan pada Sabtu (29/6/13).
Pada Sabtu sore(29/6/13), ribuan massa yang dikenal sebagai berunak
(pencari emas sisa penambangan pabrik) menyerang perusahaan tambang emas
PT Indomuro Kencana (IMK) Strait di Desa Mangkahui Kecamatan Siang
Selatan Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Empat anggota brimob
luka bacok, dan seorang warga tertembak.
Para brimob ini sehari-hari bertugas sebagai pengaman perusahaan tambang emas milik investor Australia ini. Dikutip dari
JPNN Grup,
ribuan berunak mengamuk lantaran mendengar kabar salah satu rekan
mereka ditembak aparat. Mereka marah. Lalu berkumpul dan menyerang base
camp kantor tambang ini.
Tak hanya camp karyawan dibakar. Pabrik pengolahan emas beserta
puluhan mobil operasional perusahaan Amdal keluar maupun perumahan
karyawan juga dibakar. Sempat beredar kabar enam brimob tewas, ternyata
hanya luka-luka. Guna membantu Polisi, aparat TNI diterjunkan ke
perusahaan penambangan emas ini. Situasi berangsur kondusif.
Pada Juli
, sebanyak
27 organisasi masyarakat sipil yang konsern hak asasi manusia dan hak
atas lingkungan, berbasis di Indonesia, Inggris dan Jerman, mengajukan
surat permohonan 40 paragraf kepada Pemberantasan
Diskriminasi dan Rasial (Convention on the Elimination of Racial
Discrimination/CERD) di Jenewa, Kamis (25/7/13).
Mereka mendesak dan merekomendasikan kepada Komisi PBB ini untuk
memperhatikan dan mempertimbangkan situasi Suku atau Orang Malind dan
masyarakat adat lain, di Kabupaten Merauke, Papua, yang terancam karena
kehadiran proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Masih Juli, konflik lahan yang sudah berkepanjangan antara warga Desa
Pantap, Kecamatan Kuala Kuayan, Kabupaten Kotawaringin Timur,
Kalimantan Tengah (Kalteng), dan PT Bumi Sawit Kencana (BSK), memanas
. Terjadi, bentrokan antara puluhan warga dengan Satpam perkebunan sawit milik anak usaha Wilmar Group ini, Selasa (23/7/13). Dalam
kejadian itu, empat warga luka-luka, satu motor warga rusak, dua truk
dan satu mobil perusahaan juga rusak. Dua pos penjagaan satpam pun
dibakar warga.
Konflik terus terjadi. Memasuki Agustus, masyarakat adat di Kampung
Bagaraga, Wardik, Tokas di Distrik Wayer dan Distrik Moswaren, Kabupaten
Sorong Selatan, akan
menggugat perusahaan HPH, PT Bangun Kayu Irian (BKI) atas perampasan hak ulayat mereka di Nawir dan sekitar.
Mereka ini dari tujuh marga, yakni,
Marga Saman, Yaru Homer, Homer, Tigori, Smur, Fna, dan Wato. Perusahaan
ini beroperasi sesuai SK Menteri Kehutanan Nomor 01/KPTS-II/1993,
tertanggal 4 Januari 1993 dengan areal konsesi seluas 299.000 hektar
selama 20 tahun.
Operasi
tambang PT IMK di Pit Serujan, yang mengancam cagar budaya dan
mencermari beberapa sungai. Foto: Perkumpulan Punan Arung Buana (PPAB)
Kalteng
Pada September, sekitar 29 warga perwakilan empat desa di Kecamatan
Mantangai, menginap di Kantor Bupati Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah,
Kamis (12/9/13). Warga dari Desa Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang dan Pulau
Kaladan ini protes karena tak kunjung mendapat kepastian tanah adat
yang diklaim perusahaan sawit, PT Rezeki Alam Semesta Raya (RASR).
Padahal, sudah ada surat bupati dan gubernur yang memerintahkan pencabutan izin perusahaan skala besar dan yang belum clear and clean. Meski sudah beberapa kali rapat mediasi, belum ada kejelasan mengenai lahan warga seluas 2.922 hektar.
Masih bulan sama, masyarakat Desa Sungai Bungur, Jambi, protes karena
225 hektar lahan yang harus diserahkan belum dilaksanakan perusahaan
hingga kini. Parahnya, mereka harus membayar beban utang dari lahan yang
ditahan perusahaan itu hingga miliaran rupiah!
Menyikapi ini, tepat dengan Hari Tani Nasional, Selasa (24/9/13), masyarakat di Desa Sungai Bungur, Kecamatan
Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi, akan menduduki lahan mereka yang
dikuasai perkebunan sawit, PT. Puri Hijau Lestari (PHL), anak usaha
Makin Group.
Pada bulan ini
, di Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut), mencekam.
Penolakan masyarakat atas kehadiran perusahaan tambang kembali memanas.
Kini, warga mengawasi sejumlah titik untuk menghalangi rencana
pembangunan dermaga yang diyakini sebagai sarana pelancar tambang.
Pada Kamis-Jumat (26-27/9/13), warga Desa Kahuku berusaha menghalangi
alat bor yang diduga milik PT Mikgro Metal Perdana (MMP). Awalnya,
terdengar kabar alat bor ini milik Dinas Pekerjaan Umum. Namun, tak ada
sosialisasi dari dinas terkait menyebabkan kecurigaan warga.“Kalau benar
alat bor itu milik Dinas PU, seharusnya ada pemberitahuan kepada
masyarakat,” kata Merty Katulung, warga setempat, Jumat (27/9/13).
Aksi penghadangan dan pengusiran pun terjadi. Perahu yang mengangkut
alat bor dilempari batu. Warga kesal suara mereka selama ini tidak
pernah mendapat respon positif.
Aparat kepolisian pun berjaga ketat. Tak pelak, bentrok antara polisi
dan warga nyaris terjadi. Merty mengatakan, polisi memaksa alat bor
bisa masuk. Sedang warga beranggapan polisi seharusnya bertugas
mengamankan keadaan, bukan berpihak pada perusahaan tambang.
Pada Oktober, ratusan petani di Desa Kebun Sei Merah, Kecamatan
Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (4/10/13)
terlibat kericuhan dengan aparat kepolisian dari Mapolres Deli Serdang.
Para
petani mempertahankan lahan yang sudah ditinggali keluarga mereka turun
menurun yang kini menjadi ‘milik’ PT London Sumatera (Lonsum). Polisi dibantu sejumlah pasukan TNI dan Satpol PP dari Deli Serdang pun menjaga kebun perusahaan dan berupaya mengusir petani.
Para petani mencoba bertahan di lahan seluas 360 hektar itu dan
menghalangi aparat yang akan menghancurkan gubuk mereka. Aksi saling
dorong, saling tarik, dan saling pukulpun sempat terjadi. Namun ratusan
petani ini kalah kekuatan. Aksi saling dorong dengan petugas Satpol PP,
akhirnya kandas, setelah kepolisian masuk dan membubarkan para petani
secara paksa. Tiga petani yang mencoba melawan sambil membawa tombak dan
cangkul, diamankan lalu dibawa ke Mapolres Deli Serdang.
Gubuk petani di lahan sengketa dengan PT Lonsum yang dirobohkan Satpol PP. Foto: Ayat S Karokaro
Memasuki November
, konflik reklamasi Pantai Sario Tumpaan, di Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut), menghangat. Pada
19 Oktober 2013, beberapa nelayan terluka karena bentrok dengan
sekuriti PT Kembang Utara. DPRD pun mengadakan dengar pendapat 4
November 2013 dan belum ada titik temu.
Marko Tampi, Sekretaris Komisi A DPRD Kota Manado, usai rapat dengar
pendapat di Manado, Senin (4//11/13) mengatakan, batas-batas ruang
terbuka pantai dalam dokumen mediasi sebenarnya sudah cukup jelas. Dalam
pasal tiga, misal, dijelaskan bagian utara berbatasan dengan PT Kembang
Utara, Selatan berbatasan dengan lahan 16 persen pemerintah Kota
Manado, Barat berbetasan dengan Teluk Manado dan di Timur dengan Jalan
Piere Tendean.
Pada November,
di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng), terjadi penangkapan warga karena menolak sawit. Masyarakat di sana khawatir dampak lingkungan dan sosial. Tak pelak, hampir seluruh warga desa di Banggai, ramai-ramai menolak kehadiran perkebunan sawit.
Namun, penolakan petani dijawab intimidasi dari perusahaan, dan
berujung penangkapan petani oleh kepolisian. Seperti menimpa dua petani
di Desa Honbola, Kecamatan Batui, Yoktan Kinding dan Ham Kinding, kini
ditahan Polres Banggai, setelah pemanggilan sebagai tersangka.
Penahanan kepada dua petani ini berdasarkan laporan karyawan PT Delta
Subur Permai (DSP), anak usaha PT Kencana Agri. Dua warga ini dutuduh
tindak pidana perusakan aset perusahaan.
Kejadian bermula, 16 November 2013, ketika masyarakat memblokir jalan
dan mendatangi perusahaan. Sesampainya di kantor, petugas keamanan
marah dan menakut-nakuti warga dengan parang. Aksi petugas keamanan
memicu kemarahan massa Desa Honbola. Mereka langsung mengamuk
mengakibatkan kaca alat berat eskapator pecah dan beberapa bagian kantor
rusak.
Buntutnya 26 November 2013, Polres Banggai memanggil empat warga
masing-masing; Salmon, Kiki, Nandito, dan Keng, sebagai tersangka dengan
tuduhan sama. Dua hari setelah itu, 28 November 2013, Polres Banggai
melayangkan surat panggilan kepada satu warga Desa Honbola sebagai
tersangka.
Pada akhir tahun, konflik malah makin memanas. Awal Desember,
bentrok warga Kecamatan Polongbangkeng Utara, dan Brimob, tak terelakkan pada Senin pagi (2/12/13). Akibatnya, seorang warga, Yunus Daeng Empo, mendapat hadiah timah panas di paha kanan.
Kejadian ini dipicu rencana PTPN XIV mengelola lahan sengketa dan
masih proses kasasi di Mahkamah Agung (MA). Mendengar rencana itu,
puluhan warga mendatangi lokasi yang dijaga belasan Brimob dari Polda
Sulsel. Situasi makin memanas ketika PTPN IX tak mengindahkan protes
warga. Yunus Daeng Empo, yang mencoba menghentikan aktivitas pengolahan
lahan ditembak brimob.
Di Jambi,
ratusan
personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Brigade Mobil (Brimob)
Polri mengawal penggusuran yang dilakukan PT Asiatic Persada,
anak perusahaan dari Wilmar Group terhadap warga Suku Bathin Sembilan
atau yang dikenal dengan Kelompok Suku Anak Dalam (SAD) 113 di Padang
Salak, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, pada 7 Desember 2013
lalu.
Proses penggusuran dimulai sekitar pukul 16.00 WIB. Saat itu sebagian
besar warga sedang beraktivitas di ladang. Namun, tiba-tiba datang
1.500-an pasukan gabungan menyerang dan merusak rumah petani menggunakan
eskavator dan senjata tajam seperti parang.
Kasus pengusiran masyarakat adat yang tinggal di dalam Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan, Suku Marga Semende, terjadi sampai hari ini.
Setelah
pembakaran rumah adat, empat warga adat di Kecamatan Nasal, Kabupaten
Kaur, Bengkulu, pagi ini 23 Desember 2013, ditangkap polisi hutan. Merekapun dijerat UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Rumah
warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi
gabungan TNBBS, di Bengkuku, Senin (23/12/13). Foto: AMAN Bengkulu
Sumber Berita:
mongabay.co.id