Pekanbaru, (Antarariau.com) - Tindak pidana korupsi di lingkup kehutanan Provinsi Riau dalam beberapa tahun terakhir seakan telah menggurita, dan mencoreng nama baik "Bumi Melayu".
         
Tidak tangung-tanggung, dalam tempo kurang dari tujuh tahun, KPK telah menyeret enam orang pejabat dalam kasus yang dikabarkan mendatangkan kerugian bagi negara hingga triliunan rupiah.
         
Dua di antaranya adalah mantan Bupati Siak, Arwin AS, dan Bupati Tengku Azmun Jaafar dari Kabupaten Pelalawan.
         
Tengku Azmun Jaafar, pada September 2008 telah divonis 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp12,367 miliar subsider empat tahun kurungan.
        
Menurut majelis hakim, perbuatan terdakwa telah merugikan negara senilai Rp1,208 triliun.
         
Ketika itu Azmun dianggap telah menyalahi aturan karena menerbitkan surat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) untuk 15 perusahaan diantaranya CV Alam Lestari, CV Mutiara Lestari, CV Bakti Praja, CV Tuah Negeri, dan CV Putri Lindung Bulan, dengan kayu yang dijual ke PT Perkasa Karya Sejahtera (PKS), anak perusahaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
          
Sementara Arwin AS pada 2011 juga telah dinyatakan bersalah dalam kasus yang sama. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman empat tahun penjara serta denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan. Dia pun diwajibkan membayar denda sebesar Rp850 juta dan 2.000 dolar AS.
         
Mantan Bupati Siak ini dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait penerbitan surat (IUPHHK-HT) kurun waktu April 2002-April 2005 kepada PT Bina Daya Bintara, PT Nasional Timber and Forest Product, PT Seraya Sumber Lestari (ketiganya mitra PT RAPP), PT Balai Kayang Mandiri, PT Rimba Mandau Lestari (Keduanya mitra PT Indah Kiat Pulp and Paper) dengan menyalahi ketentuan.
          
Kemudian juga ada tiga mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau yang juga dihukum atas perkara yang sama, yakni Burhanuddin Husin, Syuhada Tasman, dan Asral Rahman.
         
Terakhir, KPK mencoba menjerat mantan Gubernur Riau, HM Rusli Zainal yang sampai saat ini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Dalam dakwaan Jaksa disebukan bahwa kajahatan sang mantan penguasa ini telah merugikan negara Rp265 miliar.

          
Badai Korupsi
    
Badai korupsi di sektor kehutanan Riau juga disorot berbagai kalangan dari dalam dan luar negeri.
         
Semisal para aktivis "Greenpeace", memandang bahwa kerusakan hutan Riau telah memberi dampak negatif bagi lingkungan, salah satunya "global warming".
         
Isu mengenai fenomena pemanasan global (global warming) semakin mencuat akhir-akhir ini. Hampir semua negara yang ada di muka bumi ini menjadikan isu tersebut sebagai kepentingan bersama.
        
Semua negara merasakan bahwa dampak pemanasan global bisa menimpa siapa saja. Namun kini lebih mendetail seperti permasalahan kebijakan negara, penebangan hutan, polusi udara, dan hal-hal lain yang dianggap sebagai pemicu semakin panasnya suhu bumi yang berujung pada perubahan iklim (climate change).
       
Prof. Shalihuddin Djalal Tandjung, selaku Guru Besar Ekologi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada berpandangan, bahwa ada kekeliruan besar yang dimunculkan oleh isu pemanasan global yang menyalahkan proses penebangan hutan yang dilakukan oleh negara-negara sedang berkembang.
        
Menurut pandangan logika ilmiah, katanya, pemanasan global disebabkan oleh ketidakseimbangan atmosfer, akibat terlalu banyak kadar karbon dioksida (CO2).
        
Persoalannya kemudian adalah, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap banyaknya karbon dioksida di atmosfer?
   
Polutan terbesar di dunia menurut dia tentunya adalah negara maju dengan pabrik-pabrik industrinya, namun mengapa kesalahan justru banyak ditimpakan kepada negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia?
   
Ia mengatakan, ada tiga negara yang memiliki jumlah kawasan hutan yang lebih dari 75 persen, yakni Kongo di Benua Afrika, Brazil di Benua Amerika, dan Indonesia di Asia, di mana ketiga negara itu bukanlah negara industri.
 
Menurut dia, negara-negara industri maju telah sejak lama merusak hutan mereka dan mengabaikan keseimbangan atmosfer di kawasan teritorial yang menjadi tanggung jawab mereka.
         
Ketika negara-negara berkembang seperti Indonesia mencoba mendayagunakan hasil hutan untuk kegiatan perekonomian, negara industri maju justru berteriak-teriak dan menganggap negara sedang berkembang melakukan proses pemanasan global tanpa negara industri itu bercermin terhadap apa yang telah mereka lakukan terhadap hutan di wilayah kedaulatannya.

        
"Jadi pernyataan yang mengungkapkan bahwa global warming saat ini disebabkan oleh kerusakan hutan tropis (di negara berkembang) itu adalah bohong, malah mereka (negara industri) lebih dulu merusak hutannya," kata Djalal dalam surat elektronik yang tersebar di dunia maya.
         
Setidaknya, penjelasan tentang tuntutan aktivis lingkungan global (greenpeace) telah mendapat jawabab seimbang, pembelaan untuk sebuah negara yang kerap tersudutkan isu pemanasan global.

  
Kerusuhan Wewenang
   
Korupsi kehutanan Riau juga dianggap sebagai suatu kejahatan besar oleh para aktivis nasional. Hal itu karena telah mendatangkan potensi kerugian negara mencapai triliunan rupiah.
         
Danang Widoyoko selaku Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kajiannya di buku "Kejahatan Kehutanan di Bumi Lancang Kuning" yang diterbitkan oleh Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau menyatakan, bahwa laju kerusakan hutan alam di Riau setiap tahunnya kian parah.
        
Dari 9,2 juta hektare tutupan hutan alam pada 1982, kini hutan alam hanya tersisa 860 hektare. Sementara data Jikalahari menyebutkan, dalam kurun 28 tahun, ada sekitar 8,3 juta haktare hutan alam habis dibabat dengan tingkat laju deforestasi tertinggi nasional, yakni 169 ribu hektare pertahun.
        
Aktivis ini juga memprediksi di tahun 2015, hutan alam di Riau hanya tersisa enam persen saja bahkan nyaris gundul. Itu diperkuat dengan data Kementerian Kehutanan yang menyatakan, bahwa hingga 2006, sekitar 25 persen atau sekitar 2,4 juta haktera hutan alam Riau dalam kondisi yang kritis.
        
Kondisi tersebut menurut para aktivis dalam bukunya, diperparah dengan 'kerusuhan' wewenang yang dilakukan sejumlah oknum pejabat pemerintah. Semisal praktik korupsi sektor kehutanan, dikalkulasikan telah mendatangkan kerugian bagi negara hingga 1,2 triliun.
        
Kasus ini telah menyeret sejumlah oknum pejabat daerah, mulai dari tingkat bupati, kepala dinas hingga gubernur (masih dalam proses persidangan).
        
Namun, pihak terkait lainnya dari kalangan perusahaan yang selama ini menikmati hasilnya, justru masih terus beroperasi, tanpa sentuhan hukum.
        
Pihak KPK telah berjanji akan terus mengusut kasus itu hingga tuntas, dengan melibas siapa pun yang terlibat.
Fazar Muhardi