27/06/2012
BERITA RIAU (PEKANBARU), situsriau.com-Trend konflik sumber saya alam (SDA) terbesar berada di area Hutan Tanaman Industri (HTI). Sedikitnya ada 14 konflik atau sekitar 262.877 hektar. Seperti yang di ungkapkan Direktur Scaleup Ahmad Sahzali ketika mengisi materi dalam sebuah acara workshop di Mall Ciputra, Rabu (27/6).
“Data ini kami dapatkan dari Kapolda tahun 2011, laporan paling banyak di kapolres Kampar, Siak Rohul dan Bengkalis,” katanya,
Hingga saat ini laporan sepanjang April 2012, area potensi konflik terbanyak masih di pegang kabupaten Kampar.
Menurut data yang dipaparkan Ahmad, korban kekerasan akibat konflik tersebut, sepanjang tahun 2008 satu orang korban meninggal dan 76 ditangkap, tahun 2009 tiga orang korban dan 16 orang luka-luka, tahun 2010 satu orang meninggal, tahun 2011 dua orang meninggal dan puluhan dinyatakan hilang. Sementara untuk data di tahun 2012 hingga saat ini belum ada laporan yang masuk ke Scaleup.
“Data ini memang kita rangkum dari tahun 2008 hingga sekarang. Potensi konflik tiap tahun ada. Tahun 2009 terbanyak saat konflik di Kabupaten Kuatan singingi. Dari potret konflik ini ada pengakuan-pengakuan dari masyarakat terhadap lahan yang mereka kelola,” katanya.
Ia menambahkan, latar belakang munculnya konflik tersebut dikeranakan keberadaan perusahaan di area tertentu secara tidak langsung menghancurkan struktur masyarakat secara sistematis oleh negara pasca lahirnya UU nomor 5 tahun 1997. Selain itu. Lanjut Ahmad, hak masyarakat hukum adat atas hutan dan tanah tidak dapat ruang pengakuan oleh pemerintah.
“Sejak dulu sampai sekarang pemerintah tidak serius mengatur tentang lahan yang dimiliki masyarakat sempat. Itu secara tidak langsung mengikis kewenangan masyarakat adat terhadap lahan yang mereka akui secara adat. Pengakuan pemerintah berdasarkan tata ruang tidak sama dengan realitas di lapangan. Hal ini membuat hak-hak masyarakat hukum adat tidak ada pengakuan secara hukum oleh pemerintah,” tambahnya.
Selain itu, masih di katakan Ahmad, orientasi pembangunan masih menitikberatkan kepada industri skala besar berbasis lahan seperti HTI, HPH, perkebunan, tambang dan migas. Sehingga menyebabkan tumpang tindih kewenangan sektor pertanahan. Dikatakan Ahmad, pengaturan tata ruang untuk memberikan tenpat kelola yang adil bagi masyarakat hukum adat masih mengalami kejanggalan, serta tidak efektifnya program pembangunan ekonomi yang berpihak ke masyarakat.
“Tumpang tindih perizinan pengelolaan lahan itu berpotensi besar munculnya konflik horizontal ataupun vertikal. Dilihat dari tata rung yang sudah diatur, janggal memang. Dampaknya ke masyarakat adat sendiri. Baik dari sektor perkebunan, pengelolaan lahan ataupun ekonomi pendapatan mereka,” kata Ahmad.
Dilemanya, kata Ahmad, ketika berbicara soal kewenangan, terjadi dualisme kewenangan terkait soal izin pengelolaan lahan. “Dalam aturannya tidak ada hak izin pengelolaan lahan di tengah hutan, tapi mereka mengatogi izin dari pemerintah desa setempat,” katanya.
Sumber : http://www.situsriau.com/2012/06/scaleup-bahas-konfik-lahan-hti-di-riau/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=scaleup-bahas-konfik-lahan-hti-di-riau