Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Selasa, 15 Oktober 2013

Konflik Tanah Ulayat Belum Temukan Solusinya



Tanah Ulayat (berupa hutan belantara) milik suku Talang Mamak berangsur punah menjadi kebun sawit
formatnews, Pekanbaru (7/10): Tak dapat dipungkiri, konflik soal tanah di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau selama ini amatlah tinggi intensitasnya. Ini bisa dilihat dari banyaknya sengketa yang timbul di permukaan maupun yang diselesaikan di luar pengadilan. Adapula yang tak diselesaikan sama sekali atau lewat tindakan anarkis berunsur pidana.

Sengketa tanah tak hanya menyangkut soal tanah sebagai harta kekayaan, melainkan juga tanah sebagai objek hukum dan fungsi sosial. Buktinya, dewasa ini konflik tanah milik suku terasing Talang Mamak di Desa Talang Sungai Parit, Kecamatan Rakit Kulim, Inhu merupakan tanah warisan belum juga terselesaikan.

Sengketa batas tanah akibat batas yang tak jelas maka terjadi penyerobotan tanah. Ironisnya, pemerintah kerap tak tanggap terhadap sengketa tanah yang timbul di masyarakat, sehingga problemnya kian hari kian menumpuk serta besar, kemungkinan akan bisa menjadi bencana kemanusiaan dan hukum. Sebut misalnya bagi warga Talang Mamak ini yang dikhawatirkan mereka akan kerap tergusur dipemukimannya sendiri disudut desa.

Lalu bagaimana tanggapan berbagai tokoh warga yang ada di Inhu dalam permasalahan ini? Sebagaimana disebutkan Hatta Munir, Ketua Masyarakat Peduli Rakyat Berwawasan Nasional (MPR Ber-Nas) Inhu, tadi ini melalui ponselnya dirinya menyikapi sangat prihatin dengan nasib suku Talang Mamak itu.

Para warga desa yang telah bermukim di desa itu sudah ratusan tahun, tanpa meminta makan dan pertolongan dari pemerintah setempat, kini dizaman ini pula mereka mulai tergusur yang rata-rata tinggal di wilayah tersebut tidak dalam jangka waktu pendek. Semenstinya, pemerintah dan pengusaha dapat mengharagi keberadaan mereka yang selama ini memanfaatkan hutan menjadi mata pencahariannya.

Berdasarkan itu, sebut Hatta Munir, mungkin terjadi proses pembiaran termasuk pengakuan hak tanah ulayatnya, yang mengakibatkan mereka beranak pinak, berusaha membangun tempat tinggal permanen dan sebagainya. Langkah-langkah pencegahan seharusnya dilakukan pihak terkait dalam mengatasi masalah konflik yang terjadi saat ini dengan PTPN 5 Kebun AMO II yang telah mengaku memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah.

Tapi toh, sampai kini tak dilakukan pemerintah, sebutnya lagi. Karenanya bisa dikatakan, kasus-kasus konflik tanah seperti ini merupakan efek dari pembiaran para oknum yang memiliki tugas dan wewenang dalam hal pertanahan atau pengaturan tata wilayah. Mereka (suku terasing) yang ada di Inhu itu menginginkan pengakuan dan kejelasan, tapi pembiaran yang terjadi telah menimbulkan masalah baru bagi korban adanya perusahaan perkebunan yang telah mengantongi HGU yang sangat perlu ditinjau proses perizinannya.

Sebutnya pula, apakah penerbitan HGU itu benar-benar sudah melalui prosedur dan melibatkan tim 9, kata Munir dengan nada bertanya. Kasus konflik tanah ulayat ini sebenarnya diketahui pemerintah, tak sedikit yang dibiarkan terjadi dan kemudian jadi masalah besar saat pemilik yang berhak (secara fakta dan hukum) tak bisa menguasai tanahnya. Bahkan pemilik menghadapi ancaman, sedangkan aparat pemerintah sendiri tak bertindak sama sekali kendati sudah dilapori.

Begitu pula, saat pemerintah melihat adanya tindak penjarahan tanah di tanah negara, pemerintah tak berupaya segera menghentikan namun malah membiarkannya. Maka, ketika tanah hendak dibutuhkan, pemerintah tak hanya harus mengeluarkan uang (yang notabene ialah uang rakyat) untuk membebaskan tanah dari penjarah, tapi juga tak sedikit yang mesti berakhir dengan tindakan anarkis pihak penjarah maupun pemerintah.

Hal itu terkadang didukung pula oleh pemerintah melalui instansi terkait. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dan seharusnya dijadikan dasar berpijak untuk melakukan tindakan hukum berkaitan dengan tanah, malah tak dihormati secara baik. Buktinya, dalam pengukuran tanah, antara fakta dengan yang ada di hasil pengukuran (dalam gambar di buku tanah) sering tak sama. Batas-batas tanah dan lokasi yang ada tak benar akibat ketidaktelitian dan ketidakhati-hatian aparat dalam melakukan tugasnya, beber Munir merincikan.

Dai sangat mencermati persoalan ini dan sebaiknya ujarnya Munir, dapat dicarikan win win solution. Alangkah baiknya perusahaan plat merah dapat memberikan contoh dan bisa membantu kesejahteraan rakyat, malah bukan mensensarakan rakyat.

Padahal, dalam hak atas tanah ulayat yang mereka sudah tempati ratusan tahun lalu itu didukung dengan surat dari pemerintah dan dikeluarkan pemerintah, seharusnya pemerintah memberi jaminan bahwa pengeluaran surat itu tak salah dan sudah memenuhi prosedur yang betul. Jika sampai ternyata jaminan tersebut tak ada atau kemudian berunsur ketidakbenaran di dalamnya, tentu pemerintahlah yang mesti bertanggungjawab.

Demikian kacaunya bidang pertanahan di Inhu maupun di Riau ini. Dan bila dikaji mendalam, ternyata maraknya sengketa tanah tak lepas dari adanya sejumlah hal yang ujungnya adalah akibat tak dihormatinya UU No 5/1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan tak dijabarkannya UUPA dalam berbagai peraturan perundang-undangan secara baik dan benar.

Mencermati itu, kata Munir masalah sengketa tanah yang marak di masyarakat mesti dihentikan, minimal ditekan pemunculannya. Pemerintah tak sekadar dituntut bersikap tegas, adil, cepat dan tepat, namun juga harus memberi perlindungan yang baik kepada masyarakat dan para pihak yang punya hak atas tanah, kata Saharan Sepur, petugas BPTP wilayah Batu Sangkar, Kepri dan Riau diminta komentar lewat ponselnya.

Katanya, suku terasing Talang Mamak yang ratusan tahun lalu hijrah dari pegunanungan merapi (Sumbar) dan menetap di Inhu telah diakui masa Keslutanan Raja Narasinga II yang memerintah di Indragiri.

Mereka (suku Talang Mamak) yang terdiri dari enam kelompok (Talang Perigi, Talang Durian Cacar, Talang Sungai Parit, Talang Kedabu, Talang Tujuah Anak Buah Tangga, Talang Sungai Limau) tersebar di wilayah Inhu dan mendiami di hutan belukar. Pemerintah juga mesti bisa membantu menyelesaikan masalah konflik yang akhir-akhir ini mereka alami. Tentu dengan baik, benar, adil dan fair. Kalau memang ada pihak yang secara formal maupun material berhak terhadap suatu tanah, haknya itu mesti diberikan dan dilindungi secara baik.

Untuk mendukung itu, jelas Saharan lagi, pemberian hak atas tanah oleh pemerintah semestinya kian selektif dengan memperhatikan berbagai fakta dan sejarah yang ada. Sementara terhadap mereka yang tak berhak secara hukum dan faktual, tentu mesti dinyatakan tak berhak dengan segala risikonya.

Asri Astuti Agiran SH, Advokat suku Talang Mamak di Desa Talang Sungai Parit sebelumnya menyatakan bahwa, kalau masalah konflik ini terdapat unsur pidana dalam penguasaan tanah, tentu soal pidananya juga mesti diputuskan secara benar. Kalau dilihat sejarah, sebutnya, semestinya luasan tanah bagi suku Talang Mamak yang ada di desa ini lebih kurang 10.200 hektar. Secara perlahan semakin lama semakin berkurang. Di sinilah masyarakat perlu diajak secara aktif untuk senantiasa menyelesaikan sengketa tanah dengan baik. Setidaknya lewat jalur musyawarah ataupun jalur hukum.

Aturan hukum yang ada juga mesti disosialisasikan dengan baik dan benar supaya masyarakat kian mengerti berbagai aturan hukum, sekaligus bisa memahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya di bidang pertanahan. Mereka diharapkan juga bisa terhindar dari permainan hukum maupun orang-orang yang tahu hukum namun tak bertanggungjawab di bidang pertanahan. Dengan langkah di ataslah konflik dan sengketa pertanahan akan bisa diatasi dan masyarakat pun akan dapat lebih terlindungi, terangnya. (surya dharma)

Sumber:http://formatnews.com/v1/view.php?newsid=52538

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah