Blog Ini Merupakan Kumpulan Berita Media baik online dan Cetak yang Meliput Konflik Pertanahan Daerah Riau Khususnya
Jumat, 04 Januari 2013
Atasi Konflik, Pengadilan Agraria Diperlukan
Jumat, 04 Januari 2013 (dok/SH)
Konflik makin keruh akibat pemerintah kurang tanggap mengelola isu yang ada.
JAKARTA - Konflik agraria yang berlarut-larut dan terjadi hampir di setiap daerah serta menelan korban jiwa maupun materi, sudah mulai mengganggu kestabilan ekonomi dan politik.
Ledakan dan potensi konflik akibat pengambilan tanah rakyat maupun ulayat untuk industri perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan pertanian yang meluas telah menyebabkan situasi darurat di berbagai daerah.
Karena itu, Ketua Tim Kajian Reforma Agraria, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Hermawanto mengatakan, selain membentuk Dewan Reforma Agraria Nasional (DRAN), saat ini juga dibutuhkan segera sebuah Pengadilan Agraria yang bertugas menetapkan pencabutan hak kepemilikan dan pengelolaan atas tanah terhadap tanah-tanah telantar dan pemanfaatan objek agraria yang tidak memberikan kemakmuran bagi rakyat.
“Pengadilan Agraria menerima permohonan dari DRAN kemudian menetapkan atau mencabut kepemilikan hak atas pemilikan atau pengelolaan tanah dan air yang didapatkan dari perampasan hak milik rakyat,” ungkapnya kepada SH, Kamis (3/1).
Pengadilan Agraria juga juga memutuskan ganti kerugian atas segala kerugian negara yang diakibatkan beroperasinya perusahaan pengelola sumber-sumber agraria yang merugikan rakyat dan negara. DRAN juga berwenang melakukan audit agraria dan menghentikan untuk sementara waktu segala izin operasional perusahaan yang menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat.
“Menghentikan atau mencabut izin operasional yang terbukti melanggar hukum, merugikan negara, merugikan kesejahteraan rakyat, merusak lingkungan, atau lahir karena adanya unsur KKN (korupsi, kolusi, atau nepotisme-red),” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalis Pigay menyetujui pentingnya pembentukan DRAN dan Pengadilan Agraria. "Dewan dan Pengadilan Agraria ke depan akan sangat menentukan penataan kembali kepemilikan dan penggunaan tanah yang selama ini tidak adil dan merugikan rakyat," ungkapnya, Jumat (4/1).
Ia menjelaskan bahwa tahun ini Komnas HAM akan membentuk Tim Penyelesaian Konflik Agraria seperti yang diusulkan banyak pihak. Tim ini bertugas untuk meredam berbagai konflik agraria yang sudah meledak maupun potensial. "Tim akan dipimpin oleh Dr Dianto Bacriadi; menjalankan amanat Presiden kepada Menko Polhukam agar segera mengakhiri berbagai konflik agraria," jelasnya.
Pada tahap awal, tim penyelesaian konflik agraria makan bertugas memotret dan mendata peta konflik agraria yang tersebar di semua daerah. "Termasuk di dalamnya, kasus Jambi, Riau, Blitar, Bombana, Padang Lawas, Freeport, dan ribuan kasus lainnya yang selama ini mengorbankan hak asasi rakyat," katanya.
Selama ini, menurut Natalis, sejumlah perusahaan sawit, akasia, pertambangan emas, minyak, gas dan industri lainnya telah melanggar HAM dan harus ditertibkan. "Tim akan mendesak Mendagri, BPN, Menhut dan lembaga terkait untuk duduk bersama menyelesaikan semua persoalan," ucapnya.
Aksi “Long march”
Sementara itu long march petani dari Jambi kembali melanjutkan perjalannya dari Lampung menuju Istana Negara di Jakarta, setelah 22 hari berjalan kaki dari Jambi. Di Lampung para petani dari Kabupaten Mesuji, bersiap-siap akan ikut bergabung dalam aksi jalan kaki bersama menuju Jakarta untuk menuntut penyelesaian masalah lahan antara warga dengan PT Silva Inhutani.
“Selain petani dari Mesuji, petani dari Pulau Padang Riau juga sedang bersiap-siap untuk ikut dalam long march,” demikian Ketua Serikat Tani Nasional (STN), Yorris Sindhu ketika dihubungi di Desa Tugu Roda, Kabupaten Mesuji, Lampung, Jumat (4/1).
Sebagian petani Jambi tetap bertahan di depan kantor Kementerian Kehutanan menuntut pengembalian lahan warga dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Termasuk di dalamnya komunitas suku Anak Dalam Batanghari, Jambi, yang ikut menuntut agar pemerintah segera melakukan keputusan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam enclave lahan. Perusahaan yang terlibat konflik di Jambi adalah PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), PT Agronusa Alam Sejahtera, dan PT Asiatic Persada yang dimiliki Wilmar Group.
Sumber: http://shnews.co/detile-12964-atasi-konflik-pengadilan-agraria-diperlukan-.html