TRIBUNPEKANBARU.COM, KAMPAR-Penyelesaian bentrok antara warga Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri dengan petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Riau belum menemukan titik temu. Pertemuan mediasi yang dirancang Kepolisian Resor Kampar, hingga Kamis (20/12) malam belum terlaksana.
Kapolres Kampar AKBP Auliansyah Lubis melalui Kasat Reskrim AKP Eka Adrian Putra, mengungkapkan, gagalnya pertemuan dikarenakan oleh pihak BKSDA tak hadir. Padahal, menurut Eka, pihaknya sudah mengatur formasi pengamanan selama mediasi dengan menyiagakan pasukan dari Brimob Polda Riau ditambah personil Polres dan Polsek Kampar Kiri.
"Tidak ada konfirmasi dari BKSDA. Makanya sangat disayangkan ini. Padahal kita di sini demi mereka," ujarnya pada Tribun.
Sejauh ini, Eka mengatakan bahwa pihaknya sedang mengatur jadwal selanjutnya. "Intinya Pak Kapolres siap memfasilitasi pertemuan mediasi itu," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, warga Desa Kuntu sempat menyandera tiga petugas BKSDA Provinsi Riau hampir sekitar 10 jam sejak Selasa (18/12) malam. Mereka baru dibebaskan jelang subuh, Rabu.
Keterangan Kapolres Kampar, penyanderaan yang tidak disertai kekerasan itu dilakukan warga lantaran kesal pohon-pohon karet mereka di atas lahan kawasan konservasi dibabat petugas tanpa dirundingkan terlebih dahulu.
Selain menyandera petugas, warga melampiaskan kemarahan mereka dengan merusak lima mobil. Tiga di antaranya merupakan mobil Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC). Dia menuturkan, kisruh bermula ketika tim BKSDA yang didampingi oleh aparat Polres Kampar ditambah personil Polsek Kampar Kiri dan Koramil Kampar Kiri dihadang oleh warga setelah mengeksekusi lahan di kawasan konservasi Suaka Margasatwa Rimbang-Baling.
Tim BKSDA menumbangkan pohon-pohon karet milik seorang warga, Naim, yang masuk dalam kawasan konservasi. Warga sendiri mengklaim lahan tersebut sebagai tanah ulayat.
Sementara itu mantan Kepala Desa Kuntu tersebut mengungkapkan, kemarahan warga dipicu oleh tindakan tim BKSDA menumbangkan pohon-pohon karet milik warga menggunakan alat pemotong kayu (chain shaw) dan itu dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Tentu saja, kata dia, warga tidak terima. Apalagi, pohon karet itu sudah berproduksi dengan usia tanam antara empat sampai 10 tahun. Menurut dia, masyarakat sudah mulai membuka kebun di atas lahan kosong bekas pembalakan liar (illegal logging) itu sejak tahun 2003 silam.
Hal ini juga diamini Kepala Urusan Pembangunan Kantor Desa Kuntu Azman. Menurutnya pihak BKSDA sebelumnya tidak pernah mensosialisasikan hamparan sekitar desa itu masuk kawasan. Bahkan, kata dia, sejak ia lahir tahun 1972 hingga tumbuh dewasa di desa itu, masyarakat tidak pernah tahu ada kawasan Marga Satwa Rimbang Baling.
"Tidak pernah ada papan pengumuman dan pemberitahuan kepada masyarakat. Lantas, apakah masyarakat salah?," ujarnya pada Tribun, Kamis malam.
Setahu masyarakat, kata dia, lahan tersebut merupakan bagian dari Tanah Ulayat Kenegerian Kuntu. Sehingga, masyarakat asli setempat tidak sampai berpikir akan bermasalah. Apalagi disebut merambah kawasan Marga Satwa secara ilegal.
Di sisi lain, pernyataan BKSDA Provinsi Riau yang menyebutkan bahwa operasi penumbangan pohon karet di Desa Kuntu adalah kepentingan eksekusi, diklarifikasi oleh Pengadilan Negeri Bangkinang, Kamis (20/12). PN menyatakan bahwa tidak tepat kegiatan tersebut dinamakan eksekusi.
Seperti diwartakan, Kepala Bidang Teknis BKSDA Saimin, sebelumnya mengatakan bahwa penumbangan pohon adalah untuk mengeksekusi putusan PN Bangkinang terhadap terdakwa berinisial N. Dikatakan, terdakwa dihatuhi hukuman karena merambah kawasan hutan secara ilegal.
Menanggapi pernyataan itu, Humas PN Bangkinang Jumadi Apri Ahmad mengungkapkan bahwa berarti perkara yang dimaksud BKSDA adalah perdata. Ia menilai tidak tepat jika disebut eksekusi. Sebab, jelas dia, eksekusi terhadap putusan sidang hanya bisa dilakukan oleh pihak Kejaksaan dan Pengadilan. "Pihak pihak lain yang ikut sifatnya hanya membantu," ujarnya saat ditemui di Kantor PN Bangkinang, kemarin pagi.
Menurut Jumadi, operasi BKSDA lebih tepat digolongkan ke dalam konsep penertiban kawasan hutan.
Menanggapi ini, Kepala BKSDA Provinsi Riau, Sahroji, mengatakan soal eksekusi yang dilakukan pihaknya semata mata untuk mengembalikan kondisi kawasan konservasi Suaka Margasatwa Bukit Rimbang, Bukit Baling.
Eksekusi itu menurutnya justru merupakan desakan dari warga sendiri. Dipaparkannya, kawasan yang diperkirakan seluas 120 ribu hektare
tersebut merupakan kawasan konservasi. Artinya kawasan tersebut milik negara dengan kekuatan SK Kemenhut serta jelas tata batasnya.
"Bahkan gubenur sampai pemerintahan kabupaten mengetahui itu. Sosialisasi juga sudah kerap dilaksanakan. Dan jika ditanya pengadilan, justru pengadilan yang meminta agar kawasan itu
dikosongkan, " paparnya kepada Tribun, Kamis (20/12).
Terpisah, Ketua Komisi A, DPRD Riau, Masnur mengakui memang kawasan tersebut adalah kawasan Suaka Margasatwa. Artinya kawasan itu harus dimaklumi sebagai kawasan koservasi.
"Saya sudah bertemu dengan pihak BKSDA, dan informasi yang kami terima kawasan itu merupakan kawasan suaka marga satwa. Jadi baiknya ini dibicarakan dan disampaikan ke masyarakat, " ujarnya. (ndo/brt)