Selasa, 12/11/2013
Ribuan
warga yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)
berunjukrasa di Kantor Bupati Pelalawan, Senin (11/11/2013). Mereka
menentang rencana perluasan kawasan taman nasional tersebut. Massa juga
mendesak pemerintah mencabut SK Menteri Kehutanan Nomor: SK
663/Menhut-II/2009 tentang penambahan kawasan TNTN sekitar 44.492 ha
dicabut. - See more at:
http://koranbetter.com/read-100-3556-2013-11-12-ribuan-warga-tolak-perluasan-tntn-.html#sthash.73ICm2sz.dpuf
|
|
|
|
|
PANGKALANKERINCI
- Ribuan warga yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)
berunjukrasa di Kantor Bupati Pelalawan, Senin (11/11/2013). Mereka menentang
rencana perluasan kawasan taman nasional tersebut. Massa juga mendesak
pemerintah mencabut SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tentang
penambahan kawasan TNTN sekitar 44.492 ha dicabut.
Gelombang
pengunjuk rasa ini, datang ke kantor bupati dengan sejumlah kendaraan. Mereka
membawa spanduk-spanduk yang bertuliskan 'Kembalikan Hak Rakyat Bathin Hitam
Sei Medang', 'Tolak TNTN' dan spanduk lainnya yang berisi hal yang sama. Hal
yang serupa juga dilakukan oleh ibu-ibu yang ikut demo dengan meneriakkan
yel-yel 'Tolak TNTN Yes'.
Dari
tembusan surat, aksi damai ini dilakukan pukul 09.00 Wib pagi, namun molor,
hingga berjam-jam. Sekitar pukul 14.30 Wib para pengunjuk rasa ini baru datang
ke kantor Bupati.
Jalannya
unjuk rasa sempat memanas, pasalnya petugas keamanan tidak memperkenankan
pengunjuk rasa memasuki halaman kantor bupati. Namun, beberapa ketua pengunjuk
rasa bisa menjamin jalannya unjuk rasa damai. Beberapa saat kemudian, baru
dipersilakan memasuki halaman kantor bupati.
Dalam
orasinya, pengunjuk rasa meminta pemerintah untuk mencabut SK 663 tentang
perluasan TNTN, terutama di Desa Kesuma Kecamatan Pangakalan Kuras. Selain itu
pula, mereka meminta bupati Pelalawan mencabut statemen dia, tentang pembedaan,
warga lokal dan pendatang beberapa waktu lalu.
Disebutkan,
pengunjuk rasa. Aksi kali ini merupakan aksi kedua. Sebelumnya pada September
2012 lalu juga dilaksanakan, terkait persoalan yang sama. Namun sejauh ini,
realisasi tuntutan pada waktu itu tidak ada sama sekali.
"Unjuk
rasa ini, merupakan, yang kedua kalinya, dimana pada unjuk rasa yang pertama
lalu, hingga saat ini tak jelas unjung pangkalnya" kata seorang pengunjuk
rasa dengan menggunakan pengeras suara.
Ketua
Koperasi Tani Bahagia Esau MH Sigiro mengatakan mereka adalah warga asli yang
telah berada di situ jauh sebelum desa mereka ditetapkan sebagai kawasan TNTN.
"Kelompok
kami terdiri atas 830 Kepala Keluarga (KK) dan telah bertanam kelapa sawit di
lahan seluas 1.660 hektare di Desa Lubuk Batu Tunggal, Kecamatan Lubuk Batu
Jaya, Kabupaten Indragiri Hulu sejak tahun 1998," kata Esau.
Saat ini,
kata Esau, koperasi yang dipimpinnya terancam tidak bisa menjual hasil Tandan
Buah Segar (TBS) mereka, lantaran dituding menempati areal TNTN.
"Kami
sangat dirugikan dengan pernyataan WWF yang meminta perusahaan sawit untuk
tidak menerima TBS milik petani," kata dia.
Esau
menambahkan, Koperasi Tani Bahagia juga telah menyampaikan surat kepada Menteri
Kehutanan Zulkifli Hasan, Menteri Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan serta
WWF.
Taman
Nasional Tesso Nilo sempat mengalami perluasan dari tahap pertama berdasarkan
SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.255/Menhut-II/2004 seluas 38.576 ha, kemudian
melalui SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 ditambah sekitar
44.492 ha.
Setelah
diperluas ini, baru timbul permasalahan karena di lahan perluasan itu sudah
terdapat banyak penduduk, terutama dari Suku Melayu Petalangan. Jumlah
keseluruhan penduduk yang berada di Tesso Nilo setelah diperluas total
jumlahnya mencapai 5.000-an orang.
"Perluasan
ini mengancam kehidupan kami," tegas Esau
Bupati
Pelalawan HM Harris menyambut langsung para pengunjuk rasa. Setelah mendengar
orasi yang disampaikan para pengunjuk rasa, Harris dengan tegas menyampaikan
bahwa setelah unjuk rasa pertama lalu, pemerintah kabupaten sudah membentuk
tim.
"Iya
kita sudah membentuk juga melibatkan tokoh masyarakat dan warga setempat, namun
sejauh ini masih di proses di dirjen," kata Harris.
Pada
kesempatan itu Harris membantah, adanya pembedaan antara warga pendatang dan
lokal.
"Tidak
ada itu, yang jelas asal tinggal di Kabupaten adalah warga Pelalawan dan harus
di perjuangkan dan mendapatkan, pelayanan yang sama tanpa ada pembedaan,"
papar Harris.
Ukur Ulang
Sementara
itu, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PPP yang juga mantan Gubernur Riau Wan
Abubakar meminta Kementerian Kehutanan untuk meninjau dan mengukur ulang lahan
yang berada di Hak Guna Usaha, Izin Prinsip, dan sebagainya di areal Taman
Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Menurutnya klarifikasi itu mendesak untuk
menangkis tudingan World Wildlife Fund (WWF) bahwa petani melakukan kegiatan
ilegal.
Wan Abubakar
berpendapat pengukuran ulang menjadi salah satu solusi untuk memperjelas batas
wilayah di TNTN, selanjutnya pemerintah perlu memverifikasi langsung di
lapangan atas klaim masyarakat.
"Jika
hasil verifikasi menunjukkan masyarakat petani memiliki bukti-bukti kepemilikan
yang sah atau lainnya, sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai TNTN, pemerintah
harus mencarikan solusi terbaik misalnya diberi lahan pengganti," kata
Wan.
Bagi para
pendatang yang mengaku-aku sebagai masyarakat adat, Wan Abubakar mengingatkan
pemerintah untuk bersikap tegas.
"Jangan
sampai para pendatang disamakan dengan masyarakat adat yang sudah turun temurun
beraktivitas dan menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut," tegas
Wan.
Terpisah,
Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo mengungkapkan, berdasarkan hasil
kunjungan dan bertemu langsung dengan masyarakat setempat, terdapat kelompok
tani yang sudah ada dan melakukan aktivitasnya perkebunan kelapa sawit.
"Jadi
perlu dilakukan pengukuran ulang. Pasalnya, perluasan TNTN telah merampas lahan
yang sejak dulu digunakan masyarakat untuk perkebunan," kata politisi
Partai Golkar ini.
Firman juga
tidak sependapat jika aktivitas sebagian masyarakat disebut menjarah karena
memiliki izin.
"Perlu
ada solusi bersama atas persoalan ini," tambah Firman.
Menurut dia,
konflik berkepanjangan ini terjadi karena pemerintah tidak pernah melakukan
pengecekan fisik di lapangan.
"Ini
terjadi dalam banyak kasus. Membuat SK suatu wilayah sebagai kawasan hutan,
tapi tidak pernah melihat kondisi fisik di lapangan. Bahkan rekomendasi yang
dibuat oleh tim terpadu, tidak pernah mau disahkan. Pemerintah hanya
mengandalkan citra satelit, tanpa mau turun langsung ke lapangan," tegas
Firman.
Hanya saja,
Firman mengingatkan pemerintah harus benar-benar memilah antara masyarakat adat
dan pendatang dengan melakukan pemeriksaan atas legalitas kependudukan
mereka.
"Saat
ini banyak pihak mengaku sebagai masyarakat adat. Kalau mengklaim masyarakat
adat, tapi tidak punya bukti-bukti yang sah, sebaiknya ditindak secara
hukum," katanya.
Terkait
pengelolaan kolaborasi TNTN yang melibatkan WWF, Wan Abubakar dan Firman
Subagyo meminta pemerintah harus mengkaji kembali keberadaan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) tersebut.
"Perlu
diwaspadai, jangan sampai persoalan ini justru ditunggangi oleh kepentingan
pihak luar yang ingin menghancurkan perekonomian nasional. BETTER-yal/rtc/ant
Sumber:koranbetter.com