Pekanbaru, (antarariau.com) - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terus menyuarakan agar Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan segera direvisi, untuk lebih mengakomodir masyarakat adat serta untuk mengakhiri konflik antara perusahaan dan masyarakat.

"UU Perkebunan terkesan akan membuka ruang eksploitasi perusahaan perkebunan terhadap tanah-tanah negara dan rakyat," kata Ketua DPD RI, Irman Gusman, pada Seminar Pengutaran Kelembagaan Petani Kelapa Sawit, di Pekanbaru, Kamis.

Menurut dia kesan itu lantaran tidak adanya pengaturan mengenai luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dikuasai penggunaannya oleh suatu perusahaan.

Irman mengatakan lemahnya aturan itu dikhawatirkan sebagian besar hak guna usaha hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan saja, yang lambat laun dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk masyarakat adat atau tempatan. Akibanya adalah maraknya konflik lahan antara masyarakat tempatan dan perusahaan perkebunan.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, lanjutnya, pada 2009 terdapat 508 kasus konflik lahan yang hanya bisa diselesaikan sebanyak 196 kasus. Jumlah itu terus bertambah karena pada tahun 2012 tercatat ada 822 kasus namun hanya 49 kasus yang bisa diselesaikan.

"Konflik lahan perkebunan biasanya terjadi karena kemitraan antara pengusaha perkebunan dan petani perkebunan kurang seimbang," ujarnya.

Menurut dia, UU Perkebunan juga tidak tegas dalam mengatur sanksi bagi yang melanggarnya. Permasalah ini muncul karena muatan meteri mengenai larangan melakukan suatu perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan dirumuskan secara samar-samar, tidak jelas dan tidak rinci.

Ia mengatakan DPD RI telah mengkaji UU Perkebunan dan hasilnya menilai bahwa lebih menguntungkan para investor skala besar serta lebih banyak merugikan masyarakat dan lingkungan karena belum mengatur lebih kuat aspek keberlanjutan perkebunan rakyat, sosial budaya masyarakat terutama aspek kearifan lokal.