Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Sabtu, 16 November 2013

Pengembangan kebun sawit di Indonesia yang melibatkan anggota-anggota RSPO menuai aksi protes dari masyarakat.


14 November 2013
Medan (Sumut)  – Pengembangan kebun sawit  di Indonesia yang melibatkan anggota-anggota RSPO masih menuai aksi protes dari masyarakat.
 
Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), yang melakukan pemantauan terhadap dampak alih fungsi hutan dan lahan gambut untuk perkebunan sawit menemukan 60 persen dari 4,04 juta hektar tanah gambut yang berada di Riau telah mengalami kerusakan. Pemicu utamanya adalah praktik buruk ekspansi sektor perkebunan sawit, yang juga berpengaruh terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim yang ekstrim.


Selain berdampak pada masalah lingkungan, pengembangan industri sawit juga dikritik karena memperluas operasi tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal, terutama yang berada di sekitar lokasi pembukaan lahan. Masyarakat merasa resah dengan aktivitas ini karena makin meluasnya wilayah gambut yang rawan banjir serta berkurangnya pencaharian masyarakat yang memanfaatkan lahan gambut dan hutan di sekitarnya.


Konflik antara masyarakat dan perusahaan pun sering terjadi akibat ekspansi lahan untuk industri sawit. Penyebabnya beragam, mulai dari kerusakan lingkungan, keterbatasan akses lapangan kerja, serta intimidasi dan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan pihak perusahaan terhadap masyarakat, pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh pihak perusahaan hingga perampasan lahan adat untuk dijadikan wilayah konsensi.


Di Jambi, terjadi konflik antara masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan dengan PT. Asiatic Persada (AP) dipicu perampasan tanah adat yang dilakukan perusahaan tersebut. PT AP, membuldozer rumah-rumah warga Batin Sembilan yang protes ke sungai-sungai, dan polisi melepaskan tembakan. Di Riau, masyarakat Kubu Babusalam, Kabupaten Rokan Hilir berkonflik dengan PT. Jatim Jaya Perkasa karena perusahaan melakukan ekspansi lahan dengan cara membakar hutan dan lahan gambut sehingga menimbulkan kabut asap.

Kedua anak perusahaan milik Wilmar Group itu kemudian dikabarkan telah dijual sebelum dilakukan penyelesaian konflik, yang menyebabkan masalah ini menjadi berlarut-larut.


“Wilmar Group mengatakan telah menjual salah satu anak perusahaannya, PT. Jatim Jaya Perkasa pada tahun 2010. Akan tetapi Wilmar Group mendapat teguran dari RSPO ketika terjadi kebakaran di Riau dalam periode 2013 ini. Hal ini meyakinkan kami bahwa PT. Jatim Jaya Perkasa masih merupakan anak perusahaan dari Wilmar hingga sekarang,” ujar Isnadi Esman, Sekretaris Jenderal JMGR.



Wilmar Group yang merupakan salah satu perusahaan yang bekerja sama dengan RSPO seakan-akan menjadi batu sandungan bagi RSPO yang berkomitmen untuk membangun industri sawit yang bekelanjutan. RSPO sendiri dinilai gagal karena anggotanya justru melanggar PC yang telah dibuat, dan diperparah dengan respon RSPO yang juga melanggar PC dengan tidak mencabut sertifikasi dari Wilmar Group.


Bersamaan dengan dilaksanakannya pertemuan RSPO yang ke 11 yang dilakukan di Medan, Sumatera Utara, JMGR memberikan pernyataan sikap yang turut mewakili gabungan Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ) dan suku Anak Dalam Batin Sembilan Serbundo. Isinya antara lain memberi teguran keras terhadap Wilmar Group serta perusahaan-perusahaan lain yang terafiliasi dengan RSPO namun tidak melaksanakan industri sawit berkelanjutan (sustainable palm oil), menunda pemberian sertifikat RSPO kepada perusahaan yang masih berkonflik dengan masyarakat, menerapkan aturan yang ketat serta teguran dan sanksi yang jelas kepada anggota yang melanggar.


Selain itu, JMGR juga menuntut penyelesaian masalah antara PT. Jatim Jaya Perkasa dengan masyarakat Rokan Hilir dan PT. AP dengan suku Anak Dalam Batin Sembilan serta pelaksanaan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat untuk mendapatkan informasi yang jelas serta berhak untuk menolak atau menerima (membuat keputusan) berdasarkan musyawarah adat (keputusan bersama/kolektif) terhadap suatu proyek atau program dan juga hukum/aturan yang akan dilaksanakan di wilayah adat. (MW)


Disampaikan Sekretaris Jendral JMGR, Isnadi Esman,Kamis (14/11/2013)."PT Jatim Jaya Perkas tidak komitmen menyelesaikan konflik dengan masyarakat terutama tidak terealisasinya pola KKPA secara penuh dan tidak menjalankan program CSR," katanya.

Menurutnya masyarakat adat dan lokal dengan ekonomi lemahlah yang berada di dalam maupun di sekitar hutan dan lahan gambut adalah pihak yang paling terpengaruh dengan masifnya ekspansi sawit. Seperti luasnya daerah dataran rendah berupa wilayah gambut yang rawan banjir, dan besarnya ketergantungan masyarakat terhadap lahan pertanian dan sumber-sumber kehidupan yang ada di hutan dan lahan gambut.

Dengan situasi ini JMGR menganggap bahwa penyelamatan wilayah hutan dan lahan gambut merupakan kondisi darurat yang harus menjadi konsen serius bagi semua pihak untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan wilayah hutan dan lahan gambut, dan mengevaluasi izin-izin dan pelaksanaan pemanfaatan wilayah gambut yang dilakukan dalam skala raksasa dan didominasi oleh perusahaan sektor sawit.

Menyikapi hal tersebut Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ) dan Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan serta SERBUNDO (Buruh) tidak tinggal diam dalam agenda pertemuan tahunan RSPO ke 11 di Hotel Santika, Medan-Sumut 12 November 2013 lalu mengadakan aksi damai bersama buruh dan tani.

"Aksi kritisi yang kita lakukan ini mendesak agar RSPO dan anggotanya untuk segera memberikan teguran kepada anggota RSPO yang tidak berkomitmen dalam melaksanakan Industri sawit yang berkelanjutan," lanjutnya.

Ketika itu JMGR juga meminta menunda memberikan sertifikat RSPO kepada calon perusahaan angotanya dan mencabut sertifikat RSPO anggotanya yang bermasalah dengan masyarakat sekitarnya, melakukan revisi-revisi terhadap standar RSPO, sehingga tidak ada celah perusahaan yang menjadi anggotanya untuk mengabaikan tanggung jawab berkelanjutan sosial dan perbaikan terus menerus, serta menerapkan mekanisme teguran dan sanksi yang jelas terhadap anggota yang melanggar.
  
Selain itu, meminta agar menuntaskan permasalahan PT. Jatim Jaya Perkasa di Kabupaten Rokan Hilir dan Suku Anak Dalam (SAD) Jambi (Exs Wilmar) dan memberikan sangsi kepada Anggota RSPO yang tidak menjalankan program CSR-nya serta menerapkan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).

"Aksi kita saat itu diterima dan bertemu dengan Darrel Webber (Secretary General RSPO) dan Desi Kusumadewi (RSPO Indonesia Director) dan ini pihak RSPO berjanji akan membahas secara kritis apa yang disampaikan oleh JMGR. Tapi, kita harapkan bukan hanya sekedar janji tapi apa yang menjadi harapan kita ini bisa dilakukan oleh RSPO," ujarnya.

Seperti diketahui RSPO merupakan asosiasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit, yakni, produsen kelapa sawit, pemroses atau pedagang kelapa sawit, produsen barang-barang konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM pelestarian lingkungan atau konservasi alam, dan LSM sosial. RSPO bersama para pemangku kepentingan bertujuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan.

Menurutnya praktik buruk ekspansi sektor perkebunan sawitlah yang berujung pada kerusakankerusakan lahan gambut terutama lahan gambut di Riau. "Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), terus melakukan pemantauan terhadap lajunya degradasi yang disebabkan oleh alih fungsi hutan dan lahan gambut untuk pekebunan sawit,"tambahnya.

Menurutnya di Indonesia wilayah hutan dan lahan gambut memiliki luas lebih kurang 20 Juta hektar atau setara dengan 50% luas lahan gambut tropis di seluruh dunia yang luasnya mencapai 40 Juta Hektar. Total lahan gambut Riau 4,04 juta hektar atau sektiar 48% dari total wilayah Riau. Bahkan hamparan gambut di Riau  itu merupakan 56% dari total gambut di Sumatera. Dari 4,04 juta hektar itu sekitar 60% sudah rusak yang disebabkan praktik buruk ekspansi sektor perkebunan sawit.

Hal ini menyebabkan emisi gas rumah kaca (green house gas) meningkat secara drastis dan menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim. Data tiga tahun terakhir (2009 - 2012), Riau kehilangan tutupan hutan alam sebesar 565.197.8 hektar (0,5 juta Ha), dengan laju deforestasi pertahun sebesar 188 ribu hektar pertahun atau setara dengan hilangnya 10 ribu kali lapangan futsal per hari. Dan 73,5 persen kehancuran itu terjadi pada Hutan Alam Gambut yang seharusnya dilindungi. Kini sisa hutan alam Riau hanya tersisa 2.005.643.56 hektare (2,005 juta Ha) atau 22,5 persen dari luas daratan Riau.

Selain dari dampak perubahan iklim tersebut konflik berkepanjangan antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan menjadi satu hal yang miris, dari tahun ketahun konflik lahan yang sebagian besar terjadi di wilayah hutan dan lahan gambut kerap tidak terselesaikan secara baik. Pada kurun waktu beberapa tahun terakhir ini saja perusahaan atau instansi yang berkonflik dengan masyarakat dibagi menjadi beberapa grup yaitu, Duta Palma, Torganda, Sinar Mas, Wilmar, Surya Dumai, Ganda Group dan beberapa grup besar lainya yang bergerak di sektor sawit.

"Untuk itulah kita meminta RSPO yang  merupakan asosiasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit berkomitmen untuk mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan," tutupnya


RSPO gagal berkomitmen

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah