14 November 2013
Medan (Sumut) – Pengembangan kebun sawit di Indonesia yang melibatkan anggota-anggota RSPO masih menuai aksi protes dari masyarakat. |
Selain
berdampak pada masalah lingkungan, pengembangan industri sawit juga
dikritik karena memperluas operasi tanpa memperhatikan hak-hak
masyarakat lokal, terutama yang berada di sekitar lokasi pembukaan
lahan. Masyarakat merasa resah dengan aktivitas ini karena makin
meluasnya wilayah gambut yang rawan banjir serta berkurangnya
pencaharian masyarakat yang memanfaatkan lahan gambut dan hutan di
sekitarnya.
Konflik
antara masyarakat dan perusahaan pun sering terjadi akibat ekspansi
lahan untuk industri sawit. Penyebabnya beragam, mulai dari kerusakan
lingkungan, keterbatasan akses lapangan kerja, serta intimidasi dan
aksi-aksi kekerasan yang dilakukan pihak perusahaan terhadap masyarakat,
pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh pihak
perusahaan hingga perampasan lahan adat untuk dijadikan wilayah
konsensi.
Di
Jambi, terjadi konflik antara masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Batin
Sembilan dengan PT. Asiatic Persada (AP) dipicu perampasan tanah adat
yang dilakukan perusahaan tersebut. PT AP, membuldozer rumah-rumah warga
Batin Sembilan yang protes ke sungai-sungai, dan polisi melepaskan
tembakan. Di Riau, masyarakat Kubu Babusalam, Kabupaten Rokan Hilir
berkonflik dengan PT. Jatim Jaya Perkasa karena perusahaan melakukan
ekspansi lahan dengan cara membakar hutan dan lahan gambut sehingga
menimbulkan kabut asap.
Kedua
anak perusahaan milik Wilmar Group itu kemudian dikabarkan telah dijual
sebelum dilakukan penyelesaian konflik, yang menyebabkan masalah ini
menjadi berlarut-larut.
“Wilmar
Group mengatakan telah menjual salah satu anak perusahaannya, PT. Jatim
Jaya Perkasa pada tahun 2010. Akan tetapi Wilmar Group mendapat teguran
dari RSPO ketika terjadi kebakaran di Riau dalam periode 2013 ini. Hal
ini meyakinkan kami bahwa PT. Jatim Jaya Perkasa masih merupakan anak
perusahaan dari Wilmar hingga sekarang,” ujar Isnadi Esman, Sekretaris
Jenderal JMGR.
Wilmar
Group yang merupakan salah satu perusahaan yang bekerja sama dengan
RSPO seakan-akan menjadi batu sandungan bagi RSPO yang berkomitmen untuk
membangun industri sawit yang bekelanjutan. RSPO sendiri dinilai gagal
karena anggotanya justru melanggar PC yang telah dibuat, dan diperparah
dengan respon RSPO yang juga melanggar PC dengan tidak mencabut
sertifikasi dari Wilmar Group.
Bersamaan
dengan dilaksanakannya pertemuan RSPO yang ke 11 yang dilakukan di
Medan, Sumatera Utara, JMGR memberikan pernyataan sikap yang turut
mewakili gabungan Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ) dan suku Anak
Dalam Batin Sembilan Serbundo. Isinya antara lain memberi teguran keras
terhadap Wilmar Group serta perusahaan-perusahaan lain yang terafiliasi
dengan RSPO namun tidak melaksanakan industri sawit berkelanjutan (sustainable palm oil), menunda
pemberian sertifikat RSPO kepada perusahaan yang masih berkonflik
dengan masyarakat, menerapkan aturan yang ketat serta teguran dan sanksi
yang jelas kepada anggota yang melanggar.
Selain
itu, JMGR juga menuntut penyelesaian masalah antara PT. Jatim Jaya
Perkasa dengan masyarakat Rokan Hilir dan PT. AP dengan suku Anak Dalam
Batin Sembilan serta pelaksanaan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC)
yang diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat untuk
mendapatkan informasi yang jelas serta berhak untuk menolak atau
menerima (membuat keputusan) berdasarkan musyawarah adat (keputusan
bersama/kolektif) terhadap suatu proyek atau program dan juga
hukum/aturan yang akan dilaksanakan di wilayah adat. (MW)
Disampaikan Sekretaris Jendral JMGR, Isnadi Esman,Kamis (14/11/2013)."PT Jatim Jaya Perkas tidak komitmen menyelesaikan konflik dengan masyarakat terutama tidak terealisasinya pola KKPA secara penuh dan tidak menjalankan program CSR," katanya.
Menurutnya masyarakat adat dan lokal dengan ekonomi lemahlah yang berada di dalam maupun di sekitar hutan dan lahan gambut adalah pihak yang paling terpengaruh dengan masifnya ekspansi sawit. Seperti luasnya daerah dataran rendah berupa wilayah gambut yang rawan banjir, dan besarnya ketergantungan masyarakat terhadap lahan pertanian dan sumber-sumber kehidupan yang ada di hutan dan lahan gambut.
Dengan situasi ini JMGR menganggap bahwa penyelamatan wilayah hutan dan lahan gambut merupakan kondisi darurat yang harus menjadi konsen serius bagi semua pihak untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan wilayah hutan dan lahan gambut, dan mengevaluasi izin-izin dan pelaksanaan pemanfaatan wilayah gambut yang dilakukan dalam skala raksasa dan didominasi oleh perusahaan sektor sawit.
Menyikapi hal tersebut Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ) dan Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan serta SERBUNDO (Buruh) tidak tinggal diam dalam agenda pertemuan tahunan RSPO ke 11 di Hotel Santika, Medan-Sumut 12 November 2013 lalu mengadakan aksi damai bersama buruh dan tani.
"Aksi kritisi yang kita lakukan ini mendesak agar RSPO dan anggotanya untuk segera memberikan teguran kepada anggota RSPO yang tidak berkomitmen dalam melaksanakan Industri sawit yang berkelanjutan," lanjutnya.
Ketika itu JMGR juga meminta menunda memberikan sertifikat RSPO kepada calon perusahaan angotanya dan mencabut sertifikat RSPO anggotanya yang bermasalah dengan masyarakat sekitarnya, melakukan revisi-revisi terhadap standar RSPO, sehingga tidak ada celah perusahaan yang menjadi anggotanya untuk mengabaikan tanggung jawab berkelanjutan sosial dan perbaikan terus menerus, serta menerapkan mekanisme teguran dan sanksi yang jelas terhadap anggota yang melanggar.
Selain itu, meminta agar menuntaskan permasalahan PT. Jatim Jaya Perkasa di Kabupaten Rokan Hilir dan Suku Anak Dalam (SAD) Jambi (Exs Wilmar) dan memberikan sangsi kepada Anggota RSPO yang tidak menjalankan program CSR-nya serta menerapkan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
"Aksi kita saat itu diterima dan bertemu dengan Darrel Webber (Secretary General RSPO) dan Desi Kusumadewi (RSPO Indonesia Director) dan ini pihak RSPO berjanji akan membahas secara kritis apa yang disampaikan oleh JMGR. Tapi, kita harapkan bukan hanya sekedar janji tapi apa yang menjadi harapan kita ini bisa dilakukan oleh RSPO," ujarnya.
Seperti diketahui RSPO merupakan asosiasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit, yakni, produsen kelapa sawit, pemroses atau pedagang kelapa sawit, produsen barang-barang konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM pelestarian lingkungan atau konservasi alam, dan LSM sosial. RSPO bersama para pemangku kepentingan bertujuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan.
Menurutnya praktik buruk ekspansi sektor perkebunan sawitlah yang berujung pada kerusakankerusakan lahan gambut terutama lahan gambut di Riau. "Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), terus melakukan pemantauan terhadap lajunya degradasi yang disebabkan oleh alih fungsi hutan dan lahan gambut untuk pekebunan sawit,"tambahnya.
Menurutnya di Indonesia wilayah hutan dan lahan gambut memiliki luas lebih kurang 20 Juta hektar atau setara dengan 50% luas lahan gambut tropis di seluruh dunia yang luasnya mencapai 40 Juta Hektar. Total lahan gambut Riau 4,04 juta hektar atau sektiar 48% dari total wilayah Riau. Bahkan hamparan gambut di Riau itu merupakan 56% dari total gambut di Sumatera. Dari 4,04 juta hektar itu sekitar 60% sudah rusak yang disebabkan praktik buruk ekspansi sektor perkebunan sawit.
Hal ini menyebabkan emisi gas rumah kaca (green house gas) meningkat secara drastis dan menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim. Data tiga tahun terakhir (2009 - 2012), Riau kehilangan tutupan hutan alam sebesar 565.197.8 hektar (0,5 juta Ha), dengan laju deforestasi pertahun sebesar 188 ribu hektar pertahun atau setara dengan hilangnya 10 ribu kali lapangan futsal per hari. Dan 73,5 persen kehancuran itu terjadi pada Hutan Alam Gambut yang seharusnya dilindungi. Kini sisa hutan alam Riau hanya tersisa 2.005.643.56 hektare (2,005 juta Ha) atau 22,5 persen dari luas daratan Riau.
Selain dari dampak perubahan iklim tersebut konflik berkepanjangan antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan menjadi satu hal yang miris, dari tahun ketahun konflik lahan yang sebagian besar terjadi di wilayah hutan dan lahan gambut kerap tidak terselesaikan secara baik. Pada kurun waktu beberapa tahun terakhir ini saja perusahaan atau instansi yang berkonflik dengan masyarakat dibagi menjadi beberapa grup yaitu, Duta Palma, Torganda, Sinar Mas, Wilmar, Surya Dumai, Ganda Group dan beberapa grup besar lainya yang bergerak di sektor sawit.
"Untuk itulah kita meminta RSPO yang merupakan asosiasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit berkomitmen untuk mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan," tutupnya
RSPO gagal berkomitmen