3
February 2013 | 12:34 WIB
Jakarta
– Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
belum lama ini mengeluarkan kajian tentang konflik kehutanan dan akar
masalahnya. Dalam laporannya, HuMa melaporkan bahwa konflik di sektor
kehutanan pada umumnya disebabkan oleh penerapan hak menguasai
negara (HMN) secara sepihak pada tanah-tanah yang dikuasai
oleh masyarakat adat atau komunitas lokal secara komunal. Perlawanan
dari masyarakat berkembang karena negara mengatur hak pengelolaan tanah secara
sepihak.
Badan
Pusat Statistik (BPS) dan Kemenhut menyebutkan bahwa terdapat 31.957 desa
yang saat ini teridentifikasi berada di sekitar dan dalam kawasan hutan
yang masih menunggu proses kejelasan statusnya. Banyak
desa yangwilayah administratifnya berbatasan dengan dan bahkan
hampir secara keseluruhan berada di dalam kawasan hutan lindung atau
konservasi. Hal ini berarti tindakan masyarakat dapat dengan
mudah dianggap sebagai tindakan ilegalatau
kriminal, misalnya memungut atau mengambil kayu hasil hutan.
Sebagai
contoh adalah Desa Sedoa yang terletak di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso,
Sulawesi Tengah. Sekitar 90% dari wilayah desa ini berada di kawasan hutan
lindung dan Taman Nasional Lore-Lindu.
Tidak
berbeda jauh dengan Kelurahan Battang Barat, Kota Palopo, Sulawesi
Selatan yang sekitar 400 hektar-nyaterkena perluasan kawasan Taman Wisata
Alam (TWA) Nanggala III.
Sertifikat
tidak dapat terbit selama masih berada dalam kedua wilayah dalam contoh di
atas. Pengaturan tanah dalam kawasan hutan ada dalam wewenang Kementerian
Kehutanan (Kemenhut), sementara sertifikat atau registrasi tanah berada di
bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sepintas, masalah
desa-desa di sekitar dan di dalam kawasan hutan terlihat
sebagai masalah administratif. Akan tetapi, pengelolaan tanah hutan
yang diurusi oleh dua lembaga ini -Kemenhut dan BPN- berimplikasi pada
pelayanan publik, jaringan infrastruktur, dan lain sebagainya, yang rentan
menghadirkan diskriminasi dan pelanggaran HAM bagi masyarakat desa
dalam kawasan hutan tersebut.
Selain
konflik mengenai kejelasan status wilayah administratif, konflik kehutanan juga
dilatari oleh perbedaan cara pandang antara
perusahaan dan komunitas setempat atas jenis tanaman
yang harus ditanam. Biasanya, konflik seperti ini marak terjadi
pada area-area konsesi hutan produksi atau hutan tanaman industri yang memiliki
tutupan primer. Perusahaan membutuhkan lahan berskala luas untuk ditanami
bahan baku pembuatan kertas atau kayu lapis olahan.
HuMa
mencatat salah satu contoh konflik kehutanan dalam kategori ini pada
kasus PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Perusahaan tersebut membabat Hutan Kemenyan (Tombak Haminjon) yang sudah
dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta dan
menggantinya dengan pohon ekaliptus, yang kemudian menimbulkan konflik.
Hal
serupa terjadi pula pada kasus PT. Wira Karya Sakti yang membabat hutan primer
untuk ditanami akasia dan ekaliptus di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi,
serta kasus PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Semenanjung Kampar, Teluk
Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau.