"Kebijakan pertanahan memposisikan rakyat hanya sebagai objek yang gampang digusur."
Teguh Nugroho / VHRmedia Senin, 31 Desember 2012
VHRmedia, Jakarta - Serikat Petani Indonesia menyebut kebijakan parlemen dan pemerintah di sektor pertanian dan pangan masih menunjukkan carut marutnya negara mengelola sistem pertanahan di Indonesia.
Salah satunya yakni UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, Minggu (30/12), kebijakan itu memposisikan rakyat hanya sebagai objek yang gampang digusur.
Dia menyebut konflik agraria yang muncul adalah ekses dari praktek-praktek penggusuran tanah rakyat atas nama pembangunan dan kepentingan umum.
Setiap kali pembangunan pertanian, perkebunan, pertambangan, perumahan, jalan tol, kantor pemerintahan, cagar alam, hingga pengembangan wisata rakyat selalu menjadi korban. "Bahkan korban jiwa dan kriminalisasi petani serta nelayan dan masyarakat adat," kata Henry.
Dengan diundangkannya aturan itu, menurut Henry, dimensi konflik agraria bertambah luas, karena bahkan sejak aturan itu masih berbentuk Perpres Nomor 65 tahun 2006 pengadaan tanah bagi kepentingan umum tersebut sudah memicu reaksi keras masyarakat.
“Mengingat rancunya makna kepentingan umum isi UU Nomor 2 tahun 2012 hanya memberikan keleluasan lebih besar bagi para investor dengan mengorbankan kepentingan rakyat, “kata Henry.
Sejak dikeluarkannya UU Nomor 2 tahun 2012 tersebut SPI dan sejumlah organisasi masyarakat mengajukan uji materiil terhadap UU ke Mahkamah Konstitusi. SPI mendasarkan dalil uji materiil itu dengan Pasal 33 (3) UUD 1945.
Selain dianggap bertentangan dengan Pasal 33, UU tersebut juga dianggap tak menjamin perlindungan dan penghormatan terhadap HAM karena bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945. UU itu dianggap menghambat rencana redistribusian tanah-tanah terlantar bagi para petani.(E2)
Sumber:http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=725