Saturday, 11 August 2012
PEKANBARU-Anak kemenakan Dt Rajo Melayu, di Kenegerian III Koto
Sebelimbing dipaksa meninggalkan tanah ulayatnya di Desa Siabu, Kampar oleh PT
Perawang Sukses Perkasa Industri, Rabu (8/8) lalu.Kini, harapan mereka atas penyelesaian konflik sumber daya alam atau konflik agraria tersebut tergantung kepada tindakan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Keinginan tersebut disampaikan Muhamaddun, Sekretaris Kedatukan Rajo Melayu, Kamis (9/8), didampingi Saripudin Dt Rajo Melayu, A Kamal Sa'in Dt St Majolelo, Juliardi, Ketua Umum Kelompok Tani Pertemuan Jaya dan Jufri.
Dia menceritakan, kejadian penggusuran itu merupakan yang ketiga kalinya. Pertama, tahun 1997 lalu, mereka menggarap lahannya dan diusir perusahan tersebut.
Penyelesaian secara damai tersebut juga didesakkan sustainable social development partnership (Scale Up), melalui pernyataan Albadry Arif dari Divisi Pengorganisasi Scale Up, Kamis (9/8).
Dia menyatakan, sejauh ini Dt Rajo Melayu dan anak kemenakannya sudah beritikad baik untuk menyelesaikannya dengan kesepakatan kedua pihak dengan damai. Mereka sudah menyurati pihak-pihak yang berwenang, mulai dari perusahaan, Bupati, Dewan Kehutanan Nasional, camat, termasuk mengikuti rapat dengar pendapat dengan DPRD.
Mereka juga sudah mengikuti instruksi Bupati Kampar untuk menahan diri, jangan sampai melakukan kekerasan dan memicu konflik fisik. "Warga telah mengikuti instruksi Bupati untuk menahan diri. Tapi, perusahaannya bagaimana? Mereka justru menggusur warga dari lahan yang mereka kelola yang justru berada di atas tanah ulayat yang mereka miliki namun direbut perusahaan sejak tahun 1997," ujar Albadry.
Dituduh Membakar
Pernyataannya itu merujuk pada yang dilakukan PT PSPI pada tanggal 7-8 Agustus lalu. Didahului dengan kebakaran lahan yang dituduhkan kepada anak kemenakan Dt Rajo Melayu, pondok-pondok yang mereka huni di lahan yang dikelola menjadi perkebunan rakyat itu dibongkar. Beberapa orang yang menjaga lahan dituduh membakar lahan perusahaan dan diancam oleh petugas keamanan perusahaan untuk meninggalkan lahan mereka.
Selanjutnya, pondok-pondok itu dibongkar oleh petugas keamanan sekitar 30 orang, ditambah beberapa orang dari manajemen termasuk empat orang aparat Kepolisian. Pembongkaran dilakukan dengan peralatan yang mereka punyai, termasuk dengan alat-alat berat.
Kini, seluruh areal perusahaan yang dibuat menjadi hutan tanaman industri (HTI) berupa akasia itu diblokade perusahaan. Masyarakat umum tak bisa manembus pembatasan itu. Semua titik masuk area perusahaan dijaga petugas keamanan 24 jam. Selain itu, titik-titik masuk areal tersebut ditutup dengan kontainer atau diberi portal, ditutupi mobil, termasuk juga dengan memutus jembatan penghubungnya.
Pinjam Pakai
Saripudin Dt Rajo Melayu, secara ringkas menjelaskan, awal mula pengambilan tanah ulayat mereka. Setelah pinjam pakai lahan mereka dengan Pangkalan TNI AU untuk program Air Weapon Range tahun 1987, tak jelas kenapa kemudian keluar SK Menhut/249/kpts II/98 yang memberi hak kelola kepada PT PSPI pada tanah ulayat Dt Rajo Melayu seluas 4.500 hektare, yang tersebar di Kecamatan Bangkinang, Salo dan Kampar Kiri.
Karena itu, 150 kepala keluarga anak kemenakan Dt Rajo Melayu terpaksa tercerai-berai karena harus meninggalkan tanah ulayat mereka dan harus meninggalkan mata pencarian mereka.
Padahal, area itu masih berdasarkan peta indikatif atau sementara. Selain itu, salah satu isi keputusan menyebutkan, apabila dalam areal itu ada tanah perkampungan dan lain-lain sejenis, perlu dikeluarkan dari area perusahaan. Terkait itu, Dt Rajo Melayu juga menuntut perusahaan dapat menunjukkan tapal batas area mereka. (din)
Sumber: http://www.haluanriaupress.com/index.php/daerah/halaman-20/3582-anak-kemenakan-dt-rajo-melayu-dipaksa-tinggalkan-tanah-ulayat.html