PEKANBARU-Wakil Ketua Ombudsman RI, Azlaini Agus mengungkapkan, semua perizinan PT RAKA harusnya batal secara hukum karena lahan PT RAKA masuk dalam wilayah Pemkab Kampar. Hal tersebut diungkapkannya usai melakukan pertemuan dengan Gubri yang diwakili Asisten I Setdaprov Riau Abdul Latif, Pemkab Kampar, Pemkab Rohul, BPN dan Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulkifli Yusuf.
Azlaini menjelaskan, izin yang dikeluarkan Pemkab Rohul berada di wilayah administrasi kabupaten lain. Karena itu harus ditelusuri kembali legalitas BPN Rohul memberikan Sertifikat Hak Milik.
“Jadi, suatu perbuatan hukum yang cacat dalam prosedurnya, maka hasil akhirnya batal demi hukum dan itu prinsip hukumnya. Semua surat yang dikeluarkan Pejabat Pemkab Rohul itu batal demi hukum dan harus mencabutnya sebagai azas tata kelola hukum yang baik,” ungkapnya kepada Haluan Riau, Rabu (12/12) di Kantor Gubernur Riau.
Azlaini juga menerangkan, laporan permasalahan lahan antara masyarakat Danau Lancang dengan PT RAKA kepada Ombudsman atas laporan masyarakat yang difasilitasi Kontras.
“Kita tadinya sudah mendapatkan penjelasan dari Gubri, Bupati Kampar, BPN dan Kadishut . Yang menjadi persoalan, PT RAKA mendapatkan persetujuan dasar dari Pemkab Rohul. Padahal sekarang nyatanya lahan tersebut berada dan masuk di wilayah Kabupaten Kampar. Terjadi konflik karena Pemkab Kampar juga memberikan rekomendasi untuk satu kelompok tani di lahan yang sama,” terangnya.
Suku Akik
Selain itu Ombudsman juga mendesak Pemprov Riau segera menyelamatkan tanah Suku Akit di Desa Titik Akar Kecamatan Rupat Utara Kabupaten Bengkalis dari PT Marita Makmur Jaya.
Azlaini menjelaskan, permasalahan sengketa lahan ini sudah lama terjadi dan juga sudah ada pertemuan.
“PT Marita mendapat hampir 6.000 hektare HGU. Tapi HGU itu masuk dalam lahan desa suku asli di situ, yakni Akit yang ada di Desa Titik Akar," jelasnya.
Dijelaskannya, gubernur sudah memulai usaha mediasi. Di DPD RI pun sudah ada kesepakatan bahwa PT Marita Makmur Jaya bersepakat mengeluarkan (inclave) 20 persen dari arealnya untuk masuk masyarakat.
Juga dikatakan, proses HGU PT Marita Makmur Jaya itu ada juga menyimpang dari ketentuan hukum. Misalnya, adanya KUD Fiktif yang digunakan untuk mitra. Dalam KUD Rupat Jaya itu dicantumkan 3 ratusan nama anggota dengan alamat Desa Titik Akar, padahal mereka bukan penduduk Desa Titik Akar.
“Nah, KUD fiktif itu sudah dijadikan persyaratan untuk mendapatkan izin usaha perkebunan yang dikeluarkan oleh Bupati Bengkalis pada tahun 2004 artinya izin itu dikeluarkan atas satu persyaratan fiktif,” terangnya.
Selain KUD Fiktif, kata Azlaini, permasalahan lainnya HGU PT Marita Makmur Jaya juga belum dilakukan pelepasan kawasan hutan. Tanda tangan kepala desa ditanda tangani orang lain yang bukan kepala desa tersebut. “Jadi sebenarnya sudah banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan PT Marita Makmur Jaya,” tuturnya.
Dikatakannya lagi, dikarenakan sekarang PT Marita Makmur Jaya itu sudah diberikan HGU, Ombudsman ingin Desa Titik dikeluarkan (inclave). Meskipun sudah ada kesepakatan dengan DPD RI untuk dilakukan inclave 20 persen.
“Kita hanya ingin desa titik akar itu di-Inclave dari sana, karena Penduduk Desa Titik Akar salah satu penduduk asli di Riau , yakni Suku Akit yang merupakan salah satu asset Riau dan tidak mungkin pindah kemana-mana karena nenek moyang mereka berumah disitu, tinggal disitu ,” terangnya.
“Jadi kalau memang ada kesepakatan dengan DPD RI bahwa sepakat diinclave 20 persen dari lahan HGU tersebut. Kita tetap meminta semua HGU dari perusahaan itu. Jadi desa itu tetap ada,” imbuhnya.
Kemudian juga menyelesaikan lahan seluas 2.800 hektare di Desa Sinamanenek yang dikuasai PTPN V sejak 2007 lalu dikembalikan kepada masyarakat. Pasalnya, lahan tersebut sama sekali tidak termasuk HGU PTPN V. Untuk penyelesaiannya Ombudsman juga berencana menemui Menteri BUMN dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Azlaini menjelaskan, permasalahan kasus antara Penduduk Desa Sinamanenek dengan PTPN V ini dilaporkan kepada Ombudsman yang difasilitasi dengan Kontras. Yang intinya ada 2.800 hektare yang dikelola oleh PTPN V di Desa Sinamanenek. “Tetapi itu di luar HGU mereka. Intinya selama ini PTPN V melakukan bisnis di atas lahan yang bukan milik mereka. Nah, inilah yang digugat Penduduk Sinamanenek dan Pemerintah melalui BPN tidak perlu mengeluarkan HGU 2.800 hektare tersebut dan sekarang masyarakat menuntut hak masyarakat adat,” jelasnya.
Selanjutnya untuk penyelesaiannya, kata Azlaini, Ombudsman akan menemui BPN dan Menteri BUMN agar menindaklanjuti permasalahan HGU PTPN V yang sama sekali tidak berada di Desa Sinamanenek. “Intinya, PTPN itu seharusnya tidak melakukan investasi di lahan yang memang bukan hak mereka. Kita akan tindaklanjuti dengan menemui BPN dan Menteri BUMN untuk tindak lanjut penyelesaiannya. Kita ingin lahan yang 2.800 ha itu dikembalikan kepada masyarakat dan masyarakat bisa mengembalikan aset perusahaan yang telah ada dengan mekanisme melalui perbankan dan saya rasa itu tidak sulit," urainya.
Dalam pertemuan tersebut. Ombudsman meminta bantuan dan fasilitasi agar tiga permasalahan konflik lahan di Riau yang diterima Ombudsman agar diselesaikan. “Jadi, kami hari ini meminta bantuan dan fasilitasi dari gubernur dan sudah ditunjuk Asisten I sebagai perkawilannya. Pertemuan ini untuk melihat perkembangan dan tindak lanjut dari aduan tiga kasus lahan yang kami terima,” terangya.
Sementara itu, Asisten I Sekdaprov Riau, Abdul Latif menyebutkan, jika permasalahan konflik lahan PTPN V dengan masyarakat Desa Sinamanenek sudah terjadi sejak tahun 2007 lalu. (rud)
Sumber:
http://haluanriaupress.com/index.php/news/halaman-01/12533-ombudsman-perizinan-pt-raka-batal-demi-hukum.html
Thursday, 13 December 2012