PEKANBARU-Tim Ombudsman Republik Indonesia menemukan sejumlah penyimpangan dibalik terbitnya hak guna usaha yang dimiliki tiga perusahaan perkebunan di Riau, mulai dari perampasan tanah ulayat sampai persyaratan fiktif yang sengaja dilakukan perusahaan demi merampas tanah ulayat dan tanah milik suku tradisional, salah satunya seperti Suku Akit.
Ketiga perusahaan yang sudah melakukan penyimpangan dan menimbulkan konflik adalah PT Marita Makmur Jaya dengan masyarakat Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis. Kemudian PTPN V dengan masyarakat Desa Sinama Nenek, Kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar dan masyarakat Desa Danau Lancang Kabupaten Kampar dengan PT RAKA.
“Kita menemukan banyak penyimpangan yang dilakukan perusahaan tersebut. Terkait masalah ini, kita akan menemui Kepala BPN dan Menteri BUMN untuk menyelesaikan dan menindaklanjuti persoalan sengketa lahan di Riau," kata Ketua Umum Ombudsman RI, Azlaini Agus kepada wartawan usai rapat di Kantor Gubernur Riau, Rabu (12/12).
Dalam kasus sangketa lahan di Riau, Ombudsman menemukan hampir 6.000 hektare HGU milik PT Marita Makmur Jaya (PT MMJ) yang masuk ke dalam lahan milik suku Akit di Desa Titi Akar. “Masalah ini tentu harus ditinjaklanjuti. Dalam kasus sangketa ini Gubernur Riau sudah berusaha melakukan mediasi,” papar Azlaini.
Ditambahkan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) belum lama ini telah mengadakan kesepakatan bahwa PT Marita Makmur Jaya bersedia mengeluarkan sebanyak 20 persen areal perkebunan untuk masayrakat. “Proses HGU PT Marita Makmur Jaya diduga menyimpang dari hukum,” tukasnya.
Untuk mendapatkan HGU tersebut, PT Marita Makmur Jaya membentuk Koperasi Unit Desa (KUD) fiktif di Kecamatan Rupat Utara dengan mencantumkan sebanyak 300 anggota yang mengatasnamakan warga Desa Titi Akar. Padahal, mereka tidak merupakan warga Desa Titi Akar.
”KUD fiktif itu digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan izin usaha perkebunan PT Marita Makmur Jaya yang dikeluarkan oleh Bupati Bengkalis pada tahun 2004 lalu.Artinya, izin itu dikeluarkan dengan persyaratan fiktif. Ada juga pelepasan hutan yang seharusnya ditandatangani kepala desa, namun ditandatangani oleh orang lain yang bukan kepala desa,” ujarnya.
Dikatakan, banyak peyimpangan yang telah dilakukan oleh PT Marita Makur Jaya meski pemnda setempat memberikan izin HGU. "Lahan tersebut harus inklaf. Apalagi HGU PT MMJ itu merupakan milik salah satu penduduk asli Riau yaitu Suku Akit. Jika mereka tertindas mau dikemanakan aset kita,” tuturnya.
Dalam kasus sangketa lahan di Desa Sinama Nenek dengan PTPN V telah dilaporkan ninik mamak ke Ombudsman. Masyarakat meminta lahan seluas 2800 hektare yang selama ini dikelola PTPN V dikembalikan lagi kepada masyarakat. Sebab lahan yang dikelola oleh perusahan plat merah tersebut merupakan tanah ulayat masyarakat Sinama Nenek.
Azlaini meminta kepada BPN untuk tidak mengeluarkan HGU 2800 hektare tersebut. ”Masalah ini bukan hannya semata persoalan tanah negara.Pasalnya, diatas tanah negara itu sudah ada hak masyarakat. Kita minta 2.800 hektare itu diserahakan kepada masayarkat.Seharusnya PTPN V tidak melakukan investasi di atas lahan yang bukan haknya, " pinta Azlaini.
Begitu juga dengan sangketa lahan di Desa Danau Lancang yang kronologinya hampir mirip dengan kasus di Desa Sinama Nenek. Lahan PT RAKA, menurut Azlaini, mendapat persetujuan dasar dari Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu.
Saat ini lahan tersebut secara geografis berada di wilayah Kabupaten Kampar.Akibat terjadinya konflik, pemerintah Kabupaten Kampar memberikan rekomendasi kepada kelompok tani pada lahan sama. "Izin yang dikeluarkan Pemkab Rohul lahan PT Raka tidak berada di Rohul melainkan di Kabupaten Kampar.Ini akan kita telusuri kembali dengan melihat legalitas yang dimilki PT Raka. Suatu perbuatan yang prosedurnya cacat hukum tentu akan batal demi hukum,” katanya.
Ombudsman secara tegas meminta perusahaan yang tersangkut sangketa untuk lahan untuk bersedia inklafkan lahan kepada masyarakat. (btr/anr)
Sumber:http://fokusriau.com/berita-1863-inilah-tiga-perusahaan-di-riau-perampas-tanah-ulayat.html