KBR68H - Konflik
lahan antara Suku Anak Dalam Bathin 9 dengan perusahaan sawit di Jambi
sudah berlangsung 20 tahun lebih. Penyebabnya adalah ketidakjelasan
batas tanah ulayat Bathin 9 di lahan hak guna usaha. Akibatnya dusun
warga digusur secara paksa oleh PT Asiatic Persada dengan menggunakan
tangan aparat Brigade Mobil (Brimob) pada Agustus tahun lalu. Sekitar
200 warga Dusun Sungai Beruang diteror dengan aksi tembakan aparat.
Kasus ini sempat dilaporkan kepada lembaga Ombudsman, Bank Dunia, (CAO).
Masih kuat ingatan, Abunjani atas
tindak kekerasan yang dilakukan perusahaan empat sawit terhadap warga
Suku Anak Dalam Bathin 9 di Jambi. Salah satu perusahaan itu PT Asiatic
Persada. Ketua Adat itu menceritakan kembali tindak kekerasan yang
dilakukan perusahaan.
Mulai dari Bangun Desa Utama (BDU) membuka kebun sawit pada 1986 hingga Asiatic Persada pada 2006. “Kalau kita bicara konflik, itu dari pembukaan BDU 1986, Bangun Desa Utama PT yang pertama. Jadi pindah tangan kalau tidak salah sudah tiga kali, sekarang yang Asiatic Persada. Jadi pada 1986 masyarakat SAD dusun lama banyak yang pergi ada juga yang tinggal. Pada 1986 saat itu Orde Baru, Orba mau berangkat secara runding kalau tidak harus berangkat. Zaman itu tangan besi, tak berdaya. Berangkat, digusur, kebun durian, karet, jernang habis pada 1986,” terangnya.
Abunjani menuturkan sejak 2006-2007, warga Suku Anak Dalam selalu ditekan dan dipaksa pindah perusahaan sawit. “Kamu harus pindah dengan uang kompensasi. Nah inilah yang terjadi. Dan lagi diintimidasi terus masyarakat hendak ziarah ke nenek moyang masih diawasi oleh perusahaan. Dalam hak guna usaha itu kan perumahan masyarakat dan kuburan nenek moyang banyak, itu pun ke sana diawasi oleh perusahaan,” imbuhnya.
Kekerasan, ungkap Abunjani seperti santapan sehari-hari warga Suku Anak Dalam Bathin 9 “Kalau kekerasan, yang jadi kekerasan bukan SAD Bathin 9 tapi oknum pemerintah dan perusahaan menakut-nakuti SAD kamu harus lari kalau tidak lari kamu akan dipenjara. Yang datang ya baju ijo (tentara –red) atau baju kuning (politisi dari Golkar –red). Jadi ada korban masih kecil waktu itu, melihat tentara trauma,”
Insiden terakhir, ungkap Kepala Dusun Sungai Beruang, Roni. terjadi tahun lalu. Saat itu 81 keluarga atau sekitar 200-an warga dusun Sungai Beruang ditakut-takuti aparat brimob dengan diberondong tembakan.
Tujuannya mengusir paksa warga Bathin 9 dari lahan yang diklaim perusahaan sawit Asiatic Persada. “Tahun 2011 kemarin tanggal 10 Agustus 2011. Itu kejadiannya warga manen sawit Asiatic, jadi mobil warga ditangkap, jadi masyarakat yang punya mobil berontak ke perumahan Asiatic. Di perumahan karyawan Asiatic ada brimob yang menjaga aset perusahaan dan perkebunan, yang mobil ditangkap datang ke perumahan itu akhirnya bentrokan dengan brimob. Ada perkelahian, sekitar sekian hari, datanglah brimob entah berapa kompi. Kelompok yang bentrok dengan brimob adalah kelompok Jembatan Besi Sungai Buayan. Di luar dusun, tapi warga dusun sini sebanyak tiga kelompok ada 81 KK digusur PT Asiatic tanpa perundingan, datang alat, gusur, petugas brimob ngamuk, yang menjaga perusahaan Suku Anak Dalam. Digusur semua, tanpa perundingan. Tiga tempat, habis.”
Roni yakin tanah itu milik nenek moyang mereka. “Kalau kami ini sebetulnya kami tidak menempati lahan Asiatic. Yang kami buka Sungai Beruang ini tanah ulayat kami sendiri. Jadi kami bukan menduduki lahan Asiatic. Kami bikin dusun kebun, ini kami memang hak kami. Dusun Beruang luasnya 800 hektar ini punya keluarga. Yang dibuka jadi sawit 70 persen,” paparnya.
Dusun Sungai Beruang berada di tengah-tengah kebun sawit Asiatic Persada. Karena di dalam kebun, tak ada listrik yang mengaliri puluhan rumah di sana. Hanya rumah milik kepala dusun saja yang menggunakan genset, selebihnya lampu minyak.
Kepala Dusun Sungai Beruang, Roni justru menuding Asiatic Persada membual lantaran tak pernah merealisasikan janjinya soal sawit kemitraan. “Janji mereka itu mungkin menyangkut hak adat hak ulayat Suku Anak Dalam, itu silakan saja masuk hak guna usaha tapi mereka menjanjikan akan dikasih sawit kemitraan seluas sekian ribu tapi setelah kita tagih, sampai sekarang tidak selesai, mereka tetap mendasarkan hak guna usaha. Siapa yang keluarkan izin? Negara, keputusan menteri. Jadi kalau kita tagih, hampir 20 tahun belum ada penyelesaian,” jelasnya.
Suku Anak Dalam Bathin 9 sudah telah mengadukan penderitaan mereka ke pemerintah, tapi tak juga didengar. Hingga akhirnya mereka mengadu ke lembaga Ombudsman Bank Dunia ( CAO) pada November 2011.
Kepala Suku Anak Dalam Bathin 9, Abunjani menuturkan. “Kalau masalah protes Suku Anak Dalam sudah muak khususnya di provinsi Jambi. Inilah berkat ada peduli lembaga internasional makanya bank dunia turun kalau tidak ada lembaga dunia membantu tidak akan pernah muncul masalah ini, tertutup di provinsi Jambi. Mulai 2000-2008 tertutup, tidak pernah direalisasikan dalihnya hak guna usaha. Pada 2008 ada LSM Jambi, membantu. Memang jelas ini hak masyarakat adat, belum ada pengakuan perusahaan tapi ada kerjasama. Suku Anak Dalam dan perusahaan bisa kerjasama, walaupun sebagai kuli. Sebelum ini tidak bisa.”
Tapi belakangan, Pemerintah Provinsi Jambi minta dilibatkan dalam proses mediasi itu.
Mulai dari Bangun Desa Utama (BDU) membuka kebun sawit pada 1986 hingga Asiatic Persada pada 2006. “Kalau kita bicara konflik, itu dari pembukaan BDU 1986, Bangun Desa Utama PT yang pertama. Jadi pindah tangan kalau tidak salah sudah tiga kali, sekarang yang Asiatic Persada. Jadi pada 1986 masyarakat SAD dusun lama banyak yang pergi ada juga yang tinggal. Pada 1986 saat itu Orde Baru, Orba mau berangkat secara runding kalau tidak harus berangkat. Zaman itu tangan besi, tak berdaya. Berangkat, digusur, kebun durian, karet, jernang habis pada 1986,” terangnya.
Abunjani menuturkan sejak 2006-2007, warga Suku Anak Dalam selalu ditekan dan dipaksa pindah perusahaan sawit. “Kamu harus pindah dengan uang kompensasi. Nah inilah yang terjadi. Dan lagi diintimidasi terus masyarakat hendak ziarah ke nenek moyang masih diawasi oleh perusahaan. Dalam hak guna usaha itu kan perumahan masyarakat dan kuburan nenek moyang banyak, itu pun ke sana diawasi oleh perusahaan,” imbuhnya.
Kekerasan, ungkap Abunjani seperti santapan sehari-hari warga Suku Anak Dalam Bathin 9 “Kalau kekerasan, yang jadi kekerasan bukan SAD Bathin 9 tapi oknum pemerintah dan perusahaan menakut-nakuti SAD kamu harus lari kalau tidak lari kamu akan dipenjara. Yang datang ya baju ijo (tentara –red) atau baju kuning (politisi dari Golkar –red). Jadi ada korban masih kecil waktu itu, melihat tentara trauma,”
Insiden terakhir, ungkap Kepala Dusun Sungai Beruang, Roni. terjadi tahun lalu. Saat itu 81 keluarga atau sekitar 200-an warga dusun Sungai Beruang ditakut-takuti aparat brimob dengan diberondong tembakan.
Tujuannya mengusir paksa warga Bathin 9 dari lahan yang diklaim perusahaan sawit Asiatic Persada. “Tahun 2011 kemarin tanggal 10 Agustus 2011. Itu kejadiannya warga manen sawit Asiatic, jadi mobil warga ditangkap, jadi masyarakat yang punya mobil berontak ke perumahan Asiatic. Di perumahan karyawan Asiatic ada brimob yang menjaga aset perusahaan dan perkebunan, yang mobil ditangkap datang ke perumahan itu akhirnya bentrokan dengan brimob. Ada perkelahian, sekitar sekian hari, datanglah brimob entah berapa kompi. Kelompok yang bentrok dengan brimob adalah kelompok Jembatan Besi Sungai Buayan. Di luar dusun, tapi warga dusun sini sebanyak tiga kelompok ada 81 KK digusur PT Asiatic tanpa perundingan, datang alat, gusur, petugas brimob ngamuk, yang menjaga perusahaan Suku Anak Dalam. Digusur semua, tanpa perundingan. Tiga tempat, habis.”
Roni yakin tanah itu milik nenek moyang mereka. “Kalau kami ini sebetulnya kami tidak menempati lahan Asiatic. Yang kami buka Sungai Beruang ini tanah ulayat kami sendiri. Jadi kami bukan menduduki lahan Asiatic. Kami bikin dusun kebun, ini kami memang hak kami. Dusun Beruang luasnya 800 hektar ini punya keluarga. Yang dibuka jadi sawit 70 persen,” paparnya.
Dusun Sungai Beruang berada di tengah-tengah kebun sawit Asiatic Persada. Karena di dalam kebun, tak ada listrik yang mengaliri puluhan rumah di sana. Hanya rumah milik kepala dusun saja yang menggunakan genset, selebihnya lampu minyak.
Kepala Dusun Sungai Beruang, Roni justru menuding Asiatic Persada membual lantaran tak pernah merealisasikan janjinya soal sawit kemitraan. “Janji mereka itu mungkin menyangkut hak adat hak ulayat Suku Anak Dalam, itu silakan saja masuk hak guna usaha tapi mereka menjanjikan akan dikasih sawit kemitraan seluas sekian ribu tapi setelah kita tagih, sampai sekarang tidak selesai, mereka tetap mendasarkan hak guna usaha. Siapa yang keluarkan izin? Negara, keputusan menteri. Jadi kalau kita tagih, hampir 20 tahun belum ada penyelesaian,” jelasnya.
Suku Anak Dalam Bathin 9 sudah telah mengadukan penderitaan mereka ke pemerintah, tapi tak juga didengar. Hingga akhirnya mereka mengadu ke lembaga Ombudsman Bank Dunia ( CAO) pada November 2011.
Kepala Suku Anak Dalam Bathin 9, Abunjani menuturkan. “Kalau masalah protes Suku Anak Dalam sudah muak khususnya di provinsi Jambi. Inilah berkat ada peduli lembaga internasional makanya bank dunia turun kalau tidak ada lembaga dunia membantu tidak akan pernah muncul masalah ini, tertutup di provinsi Jambi. Mulai 2000-2008 tertutup, tidak pernah direalisasikan dalihnya hak guna usaha. Pada 2008 ada LSM Jambi, membantu. Memang jelas ini hak masyarakat adat, belum ada pengakuan perusahaan tapi ada kerjasama. Suku Anak Dalam dan perusahaan bisa kerjasama, walaupun sebagai kuli. Sebelum ini tidak bisa.”
Tapi belakangan, Pemerintah Provinsi Jambi minta dilibatkan dalam proses mediasi itu.
Kepala Bagian Sumber Daya Alam, Biro
Ekonomi dan Pembangunan dan Setda Provinsi , Irfan. “Ada persyaratan
dari Bank Dunia bahwa perusahaan yang dapat dana dari Bank Dunia tetap
memperhatikan masyarakat terdampak dan melestarikan lingkungan. Kelompok
itu merasa PT Asiatic Persada tidak mengakomodir masyarakat sekitar.
Mereka menyurati Bank Dunia, Bank Dunia menurunkan CAO. CAO bertemu
dengan Asiatic, masyarakat, pemkab Jambi. sementara mediasi juga
difasilitas Pemprov, CAO. Jadi dibentuk tim, Join Mediation Tim atau Tim
Medasi Gabungan, CAO, Pemkab Batanghari, Pemprov Jambi, dan
Muarojambi,” jelasnya.
Proses Mediasi
Mediasi pertama dimulai pada April 2012 lalu. Ada lima kelompok Bathin 9 yang ikut dalam mediasi dengan PT Asiatic Persada. Masing-masing kelompok menyampaikan tuntutannya. Proses mediasi digelar di ibukota Provinsi Jambi.
Yayasan Setara mendampingi warga Bathin 9. Salah satu stafnya, Ryan Hidayat. “Kalau tuntutan, sama lahan. Dan punya klaim di masing-masing wilayah yang beda. Secara spesifik soal lahan. Ada yang mau tanah digusur dikembalikan Asiatic, ada juga salah satu kelompok minta kemitraan kebun. Jadi kan mereka pernah dijanjikan kebun kemitraan seluas 650 hektar, mereka menuntut itu direalisasikan, walaupun memang Asiatic sudah merealisasikan. Yang mereka tuntut di muara penyerukan. Nah kalau kelompok dusun lamo pinang tinggi, mereka menuntut lahan mereka dikembalikan karena tergusur, dan sama dengan kelompok dusun empat dusun sungai beruang. Sudah jadi dusun beneran, mereka minta dikeluarkan dari hak guna usaha karena dari asal-usul itu dusun mereka sejak lama,” bebernya.
Di tengah proses mediasi, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi mengklaim menemukan peta hasil survey mikro kawasan perkebunan kelapa sawit Asiatic Persada. Peta mikro itu menurut Kepala Bagian Sumber Daya Alam, Biro Ekonomi dan Pembangunan dan Setda Provinsi bi, Irfan, berisi pemukiman, ladang dan semak belukar milik Suku Anak Dalam Bathin 9.
“Waktu kita rapat, itu menugaskan dinas kehutanan mencari peta mikro, setelah itu tidak ketemu karena ini kan dulu kantor kanwil dan dinas kehutanan. Sedangkan waktu itu di biphut. Sampai kita rapat lagi minta fatwa ke kementerian kehutanan kalau tidak ketemu. Setelah itu staf dari dinas kehutanan ditugaskan cari peta mikro ke Bogor. Di Bogor dapat surat peta mikro tapi petanya tidak ketemu. Sudah dicari kemudian ada tembusan ke dinas kehutanan. Dia balik cari, dua hari dicari. Yang menemukan peta mikro kita. Makanya karena kita gak tahu, dinas kehutanan cari,”imbuhnya.
Abunjani membenarkan adanya peta itu meskipun ia belum melihatnya. Pasalnya ia pernah membuat peta batas hutan tetap pada 1983, setahun sebelum perusahaan sawit pertama Bangun Desa Utama beroperasi.
Peta itu sebagai pembatas wilayah Bathin 9 dengan perusahaan. “Sebetulnya saya belum lihat tapi karena membikin peta itu dulu ikut pada 1983 membuat batas hutan tetap diminta kehutanan Jambi dan Jakarta. Kami tokoh Suku Anak Dalam membatas hutan tetap, saya pun masih ingat di mana kebun masyarakat, perumahan, nah sekarang saya mau nengok di mana peta mikro itu kalau betul yang kami buat pada 1983 itu. Pada 1983, itu kami tidak membuat batas, tapi membatasi PTP, Pemkab Batanghari mengatakan, batas PTP jangan membuka hutan, jadi batas hutan tetap. Makanya pada 1983 penggusuran, kok hutan yang saya rintis itu menjadi desa utama jadi bingung. Sekarang ada yang lucunya, batas yang dulu kami rintis sekarang merembet kemana-mana melebari wilayah itu,” jelas Abunjani.
Peta yang dikeluarkan pada 1985 itu memuat 3.550 hektar lahan Bathin 9 dari total luas lahan HGU Asiatic Persada 27.150 hektar. Kembali Ainul Arifin. “Peta mikro itu sudah kita overlay dengan peta hak guna usaha . Dari 3550 ternyata yang ladang, semak belukar, dan pemukiman itu sebagian besar di dalam hak guna usaha. Pokoknya di peta ditemukan ada pemukiman, di Desa Penyerukan, peladangan, semak belukar. Penjelasan itu punya siapa tidak tahu. Waktu hasil peta dijalankan, langsung dikeluarkan mungkin tidak masalah lagi sekarang,’
Tapi Asiatic Persada enggan mengakui lahan Bathin 9 masuk dalam kebun sawitnya. Juru bicara Asiatic, Joko Susilo malah menuding Pemprov Jambi tidak becus membereskan sengketa lahan sebelum menyodorkan izin hak guna usaha. “Awalnya begini, justru masyarakat yang menuntut, berdasarkan peta mikro ada hak kami. Nah awalnya perusahaan setuju? Pemerintah juga rangkaian saat pelepasan lahan dan izin gubernur, ini rangkaiannya di areal yang diberikan. Ada pemukiman, semak belukar, ladang.
KBR68H: Antara peta dengan kondisi di lapangan bagaimana sinkron? Yang saya perlu pertanyakan, mereka harus bisa meyakinkan pemerintah dan perusahaan ada 2 X HPH, ini macam mana ceritanya di areal ini, kok ada ladang mereka. ladang dulu kah baru HPH. Mereka harus jelaskan juga ini,” ungkapnya.
Dituding tidak becus, Pemprov Jambi berkelit, kalau perusahaan sawit yang pertama yaitu Bangun Desa Utama lah yang menjadi asal muasal terjadinya konflik lahan. Sebab sejak beroperasi pada 1986, Bangun Desa Utama tidak mengeluarkan lahan milik Bathin 9. “Yang pertama itu BDU. Gak tahu waktu alih tahu kondisi, beli perusahaan plus masalahnya. Awalnya yang harus menyelesaikan masalah ini kan perusahaan pertama.
Tapi kan yang keluarkan izin pemerintah? Iya, apabila di dalam HGU ada lahan masyarakat, itu harus dikeluarkan. KBR68H: Nyatanya di lapangan? 3500 ternyata tidak dikeluarkan perusahaan kan,” bebernya.
Bukan hanya tidak mau mengakui, Asiatic Persada juga mengklaim telah membayar lahan milik Bathin 9 itu dengan Ganti Rugi Tanam Tumbuh, GRTT. Juru Bicara Asiatic Joko Susilo menjelaskan. “Ini sebagian besar sudah di Ganti Rugi Tanam Tumbuh. Mulai 2002 atau 2003, itu sudah dilakukan. Beberapa yang saya kenal yang melakukan pendudukan lahan yang bergabung dengan 113 orangnya sudah melakukan GRTT dengan perusahaan tapi sekarang dia mengklaim lagi. kami punya bukti areal itu perusahaan dapat dengan GRTT.KBR68H: Ada dokumen? Joko Susilo: Ada foto. Jadi mereka tuntut tapi mereka punya dokumen, ada fotonya, sudah sepakat dengan perusahaan untuk GRTT. Karena sepakat perusahaan buka lahan dan tanam sawit. KBR68H: Berapa luas yang sudah di GRTT? Joko Susilo: Perusahaan kurang lebih sudah melakukan 3700 GRT.,”
Sementara Yayasan Setara pendamping Suku Anak Dalam Bathin 9 menilai, peta survey mikro hanyalah legalitas untuk pemerintah kalau Bathin 9 memang benar memiliki tanah ulayat. Aktivis Setara, Ryan Hidayat. “Kalau bagi mereka peta mikro itu fakta mereka punya hak, karena sampai sekarang mereka belum bisa lihat petanya. Jadi mereka kurang tahu di mana lokasinya dan juga peta itu oleh dinas kehutanan melihat fakta di lapangan areal jadi pemukiman, belukar, tapi dulu masyarakat SAD pasti punya hutan adat dan itu tidak dihitung. Kebun semusim, durian, cempedak, itu tidak dihitung karena masuk kawasan hutan. Itu fakta masyarakat punya hak,” jelasnya.
Mediasi pertama dimulai pada April 2012 lalu. Ada lima kelompok Bathin 9 yang ikut dalam mediasi dengan PT Asiatic Persada. Masing-masing kelompok menyampaikan tuntutannya. Proses mediasi digelar di ibukota Provinsi Jambi.
Yayasan Setara mendampingi warga Bathin 9. Salah satu stafnya, Ryan Hidayat. “Kalau tuntutan, sama lahan. Dan punya klaim di masing-masing wilayah yang beda. Secara spesifik soal lahan. Ada yang mau tanah digusur dikembalikan Asiatic, ada juga salah satu kelompok minta kemitraan kebun. Jadi kan mereka pernah dijanjikan kebun kemitraan seluas 650 hektar, mereka menuntut itu direalisasikan, walaupun memang Asiatic sudah merealisasikan. Yang mereka tuntut di muara penyerukan. Nah kalau kelompok dusun lamo pinang tinggi, mereka menuntut lahan mereka dikembalikan karena tergusur, dan sama dengan kelompok dusun empat dusun sungai beruang. Sudah jadi dusun beneran, mereka minta dikeluarkan dari hak guna usaha karena dari asal-usul itu dusun mereka sejak lama,” bebernya.
Di tengah proses mediasi, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi mengklaim menemukan peta hasil survey mikro kawasan perkebunan kelapa sawit Asiatic Persada. Peta mikro itu menurut Kepala Bagian Sumber Daya Alam, Biro Ekonomi dan Pembangunan dan Setda Provinsi bi, Irfan, berisi pemukiman, ladang dan semak belukar milik Suku Anak Dalam Bathin 9.
“Waktu kita rapat, itu menugaskan dinas kehutanan mencari peta mikro, setelah itu tidak ketemu karena ini kan dulu kantor kanwil dan dinas kehutanan. Sedangkan waktu itu di biphut. Sampai kita rapat lagi minta fatwa ke kementerian kehutanan kalau tidak ketemu. Setelah itu staf dari dinas kehutanan ditugaskan cari peta mikro ke Bogor. Di Bogor dapat surat peta mikro tapi petanya tidak ketemu. Sudah dicari kemudian ada tembusan ke dinas kehutanan. Dia balik cari, dua hari dicari. Yang menemukan peta mikro kita. Makanya karena kita gak tahu, dinas kehutanan cari,”imbuhnya.
Abunjani membenarkan adanya peta itu meskipun ia belum melihatnya. Pasalnya ia pernah membuat peta batas hutan tetap pada 1983, setahun sebelum perusahaan sawit pertama Bangun Desa Utama beroperasi.
Peta itu sebagai pembatas wilayah Bathin 9 dengan perusahaan. “Sebetulnya saya belum lihat tapi karena membikin peta itu dulu ikut pada 1983 membuat batas hutan tetap diminta kehutanan Jambi dan Jakarta. Kami tokoh Suku Anak Dalam membatas hutan tetap, saya pun masih ingat di mana kebun masyarakat, perumahan, nah sekarang saya mau nengok di mana peta mikro itu kalau betul yang kami buat pada 1983 itu. Pada 1983, itu kami tidak membuat batas, tapi membatasi PTP, Pemkab Batanghari mengatakan, batas PTP jangan membuka hutan, jadi batas hutan tetap. Makanya pada 1983 penggusuran, kok hutan yang saya rintis itu menjadi desa utama jadi bingung. Sekarang ada yang lucunya, batas yang dulu kami rintis sekarang merembet kemana-mana melebari wilayah itu,” jelas Abunjani.
Peta yang dikeluarkan pada 1985 itu memuat 3.550 hektar lahan Bathin 9 dari total luas lahan HGU Asiatic Persada 27.150 hektar. Kembali Ainul Arifin. “Peta mikro itu sudah kita overlay dengan peta hak guna usaha . Dari 3550 ternyata yang ladang, semak belukar, dan pemukiman itu sebagian besar di dalam hak guna usaha. Pokoknya di peta ditemukan ada pemukiman, di Desa Penyerukan, peladangan, semak belukar. Penjelasan itu punya siapa tidak tahu. Waktu hasil peta dijalankan, langsung dikeluarkan mungkin tidak masalah lagi sekarang,’
Tapi Asiatic Persada enggan mengakui lahan Bathin 9 masuk dalam kebun sawitnya. Juru bicara Asiatic, Joko Susilo malah menuding Pemprov Jambi tidak becus membereskan sengketa lahan sebelum menyodorkan izin hak guna usaha. “Awalnya begini, justru masyarakat yang menuntut, berdasarkan peta mikro ada hak kami. Nah awalnya perusahaan setuju? Pemerintah juga rangkaian saat pelepasan lahan dan izin gubernur, ini rangkaiannya di areal yang diberikan. Ada pemukiman, semak belukar, ladang.
KBR68H: Antara peta dengan kondisi di lapangan bagaimana sinkron? Yang saya perlu pertanyakan, mereka harus bisa meyakinkan pemerintah dan perusahaan ada 2 X HPH, ini macam mana ceritanya di areal ini, kok ada ladang mereka. ladang dulu kah baru HPH. Mereka harus jelaskan juga ini,” ungkapnya.
Dituding tidak becus, Pemprov Jambi berkelit, kalau perusahaan sawit yang pertama yaitu Bangun Desa Utama lah yang menjadi asal muasal terjadinya konflik lahan. Sebab sejak beroperasi pada 1986, Bangun Desa Utama tidak mengeluarkan lahan milik Bathin 9. “Yang pertama itu BDU. Gak tahu waktu alih tahu kondisi, beli perusahaan plus masalahnya. Awalnya yang harus menyelesaikan masalah ini kan perusahaan pertama.
Tapi kan yang keluarkan izin pemerintah? Iya, apabila di dalam HGU ada lahan masyarakat, itu harus dikeluarkan. KBR68H: Nyatanya di lapangan? 3500 ternyata tidak dikeluarkan perusahaan kan,” bebernya.
Bukan hanya tidak mau mengakui, Asiatic Persada juga mengklaim telah membayar lahan milik Bathin 9 itu dengan Ganti Rugi Tanam Tumbuh, GRTT. Juru Bicara Asiatic Joko Susilo menjelaskan. “Ini sebagian besar sudah di Ganti Rugi Tanam Tumbuh. Mulai 2002 atau 2003, itu sudah dilakukan. Beberapa yang saya kenal yang melakukan pendudukan lahan yang bergabung dengan 113 orangnya sudah melakukan GRTT dengan perusahaan tapi sekarang dia mengklaim lagi. kami punya bukti areal itu perusahaan dapat dengan GRTT.KBR68H: Ada dokumen? Joko Susilo: Ada foto. Jadi mereka tuntut tapi mereka punya dokumen, ada fotonya, sudah sepakat dengan perusahaan untuk GRTT. Karena sepakat perusahaan buka lahan dan tanam sawit. KBR68H: Berapa luas yang sudah di GRTT? Joko Susilo: Perusahaan kurang lebih sudah melakukan 3700 GRT.,”
Sementara Yayasan Setara pendamping Suku Anak Dalam Bathin 9 menilai, peta survey mikro hanyalah legalitas untuk pemerintah kalau Bathin 9 memang benar memiliki tanah ulayat. Aktivis Setara, Ryan Hidayat. “Kalau bagi mereka peta mikro itu fakta mereka punya hak, karena sampai sekarang mereka belum bisa lihat petanya. Jadi mereka kurang tahu di mana lokasinya dan juga peta itu oleh dinas kehutanan melihat fakta di lapangan areal jadi pemukiman, belukar, tapi dulu masyarakat SAD pasti punya hutan adat dan itu tidak dihitung. Kebun semusim, durian, cempedak, itu tidak dihitung karena masuk kawasan hutan. Itu fakta masyarakat punya hak,” jelasnya.
Ketua Adat Suku Anak Dalam Bathin 9,
Abunjani menilai, peta itu sebagai pembuktian kalau Bathin 9 tidak
mengada-ngada soal penuntutan hak ulayat. “Buktinya pertama sekali, ada
9 tempat makan tua, pernah dibuktikan dengan Asiatic. Bahwa ini makan 9
tempat, dua, durian tunggul durian masih ada. Kami bukan setelah ada
peta mikro ini ada hak kami. Sudah terlebih dulu, mungkin pemerintah
baru bangun bahwa ada hak suku Bathin 9 di sana. Kalau dulu mungkin
dianggap bohong,” tegasnya.
Proses mediasi sudah memasuki putaran kedua dari lima putaran. Dalam proses mediasi itu, lima kelompok Bathin 9 akan menagih hak ulayat yang diserobot Asiatic Persada. Seperti yang dikatakan Kepala Dusun Sungai Beruang, Roni. “Jadi kalau Asiatic mau mengembalikan hak dia, dia tuntut dengan hak dia, tidak mau digabung. Kalau 5 dusun, tentu 5 tempat. Dia tidak bergabung, ada batas-batas tidak bercampur-camppur. Jadi hak ulayat sduah ditetpkan sesuai aturan adat hukum adat. Kami tuntut di Sungai Beruang, tidak mau ditempat lain.”
Sementara Ketua Adat Suku Anak Dalam Bathin 9, Abunjani memimpikan hidup layak dengan tanah ulayat yang dimilikinya. “Pertama sekali kami tidak mau kehilangan jati diri sekali anak dalam. Hidup kami berkelompok, dusun kami macam dulu macam inilah. Mungkin sekarang ada perubahan, sungai sudah berubah dengan zaman dulu. Zaman dulu tempat transportasi sekarang tidak lagi jadi aliran lumpur perusahaan. Kami tidak mau tinggal di pinggir sungai, makan lumpur perusahaan, minta tempat sendiri. Kami mau membudidayakan ciri khas Bathin 9, jernang, batang sialang, habis. Tak ada sebatang pun.” .
Abunjani berharap berharap Suku Anak Dalam Bathin 9, dapat hidup layak seperti suku lain yang ada di Jambi. “Kalau pihak perusahaan mau cari pamor pada penyelesian, yang penting kami bisa hidup. seperti anda lihat di hak guna usaha? Macam mana hidupnya di bawah pohon-pohon sawit itu. ”
Proses mediasi sudah memasuki putaran kedua dari lima putaran. Dalam proses mediasi itu, lima kelompok Bathin 9 akan menagih hak ulayat yang diserobot Asiatic Persada. Seperti yang dikatakan Kepala Dusun Sungai Beruang, Roni. “Jadi kalau Asiatic mau mengembalikan hak dia, dia tuntut dengan hak dia, tidak mau digabung. Kalau 5 dusun, tentu 5 tempat. Dia tidak bergabung, ada batas-batas tidak bercampur-camppur. Jadi hak ulayat sduah ditetpkan sesuai aturan adat hukum adat. Kami tuntut di Sungai Beruang, tidak mau ditempat lain.”
Sementara Ketua Adat Suku Anak Dalam Bathin 9, Abunjani memimpikan hidup layak dengan tanah ulayat yang dimilikinya. “Pertama sekali kami tidak mau kehilangan jati diri sekali anak dalam. Hidup kami berkelompok, dusun kami macam dulu macam inilah. Mungkin sekarang ada perubahan, sungai sudah berubah dengan zaman dulu. Zaman dulu tempat transportasi sekarang tidak lagi jadi aliran lumpur perusahaan. Kami tidak mau tinggal di pinggir sungai, makan lumpur perusahaan, minta tempat sendiri. Kami mau membudidayakan ciri khas Bathin 9, jernang, batang sialang, habis. Tak ada sebatang pun.” .
Abunjani berharap berharap Suku Anak Dalam Bathin 9, dapat hidup layak seperti suku lain yang ada di Jambi. “Kalau pihak perusahaan mau cari pamor pada penyelesian, yang penting kami bisa hidup. seperti anda lihat di hak guna usaha? Macam mana hidupnya di bawah pohon-pohon sawit itu. ”
Sumber : http://www.kbr68h.com/saga/77-saga/28762-menuntut-hak-ulayat-bathin-9