Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Selasa, 15 Januari 2013

Kebangkitan Talang Mamak Menuntut Hak Adat


January 15,2013
Laporan BUDDY SYAFWAN, Talang Perigi

Tiang pancang gelanggang didirikan. Para penari, dukun dan kumantan tak henti-hentinya membacakan ritual adat. Bau anyir darah ayam dan kemenyan menambah suasana mistis perhelatan yang sudah berpuluh tahun tak pernah dipertontonkan itu. Ritual Gawai Gedang pun dimulai.

Matahari baru muncul dari balik rerimbunan pepohonan di perkampungan masyarakat di Dusun Kemenyan, Desa Talang Perigi, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri HuluTalang Perigi, Senin (15/1). 

Namun, suasana di sekitar rumah Pak Pion, salah seorang tokoh masyarakat Talang Mamak Talang Perigi, sudah sesak dengan aktivitas. Mereka sedang mempersiapkan perangkat upacara ritual yang sudah mereka persiapkan beberapa bulan lalu. 

Pesta ini bukan pesta biasa. Karena, ini baru pertama sekali dilaksanakan semenjak 45 tahun terakhir. Bukan hanya momen langka peristiwa tersebut menjadi istimewa, tapi muatan yang dibawakan serta banyaknya jumlah peserta yang menghadiri setiap detail adat kali ini dianggap yang paling lengkap, karena dihadiri patih dan batin dari 29 wilayah adat masyarakat Talang Mamak. 

Memang, pelaksanaan Gawai Gedang (pesta besar) sudah menjadi agenda rutin yang dilaksanakan di tengah masyarakat. Bahkan, hampir setiap bulan dilaksanakan. 

Namun, gelaran Gawai Gedang itu biasa dilaksanakan sebagai bagian dari prosesi pernikahan atau helat sosial kemasyarakat.

Gawai Gedang kali ini, tak hanya sebatas mempersiapkan prosesi pernikahan atau sunatan, tapi menjadi momentum bagi kebangkitan masyarakat Talang Mamak setelah sekian puluh tahun tertinggal dan hampir kehilangan wilayah adat. 

Karena itu, kehadiran patih dan batin salah satunya adalah untuk merumuskan sikap masyarakat Talang Mamak terhadap nasib adat dan wilayah yang mereka tempati.

‘’Naiknya tiang gelanggang pada Pawai Gedang ini harusnya dijadikan sebagai momen untuk kebangkitan masyarakat Talang Mamak,’’ ungkap Asisten Deputi Urusan Penguatan Inisiatif Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, H Chaeruddin Hasyim SKM, MSi yang sudah hadir semenjak pagi untuk mengikuti prosesi menegakkan tiang gelanggang.

Chaeruddin mengaku terharu mendengar dan melihat motivasi yang ditunjukkan oleh generasi masyarakat Talang Mamak dewasa ini. Terutama dalam membangun kesadaran adat di tengah situasinya yang semakin sulit.

‘’Saya teringat Pak Patih Laman yang selalu memperjuangkan tentang peran masyarakat adat dalam menyelamatkan lingkungan lewat kebijakan-kebijakan adat. Sebenarnya masyarakat Talang Mamak ini masyarakat yang luar biasa,’’ ucapnya saat ditemui Riau Pos di sela-sela acara.

‘’Tidak mudah bagi masyarakat dimanapun untuk mendapatkan anugerah Kalpataru. Bila kebanyakan orang bilang Adipura atau Adiwiyata dan PROPER adalah penghargaan tertinggi atas upaya mengkonservasi lingkungan, sebenarnya penghargaan tertinggi itu adalah bagi penerima Kalpataru,’’ ungkapnya menjelaskan tentang Kalpataru yang pernah didapatkan masyarakat Talang Mamak lewat ketokohan Patih Laman. 

Namun, apa yang diperjuangkan Patih laman tersebut, kini hampir tinggal kenangan. Karena, hampir sebagian besar wilayah Talang Mamak yang selama ini terjaga oleh komunitas adat sudah berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit.

‘’Tapi, sikap yang sudah ditunjukkan masyarakat saat ini, lewat Gawai Gedang, menjadi bukti bahwa masyarakat Talang Mamak masih peduli terhadap upaya mempertahankan fungsi lingkungan, khususnya dengan mempertahankan kearifan lokal tentang alam dan adat yang mereka junjung,’’ imbuh Chaeruddin.

Mulai dari prosesi penyusunan rangkaian acara Gawai Gedang, banyak sekali simbol-simbol konservasi alam yang dijunjung tinggi masyarakat. 

Misalnya, dalam pemanfaatan bahan-bahan untuk pendirian tiang gelanggang sebagai simbol utama dimulainya Gawai Gedang, pembuatan kajang sirung (tempat duduk para batin dan pemangku adat terbuat dari kayu), bahkan sampai persiapan pesta yang umumnya diambil dari kawasan hutan di sekitar pemukiman warga Talang Mamak.

‘’Untuk tungku masak, kita ambil dari kayu-kayu ranting yang sudah patah di sekitar kampung. Tidak hanya kayu-kayu ranting dari Talang Perigi, tapi dari seluruh wilayah 29 batin yang ada. Masing-masing membawa dari kampungnya dan dikumpulkan di tempat acara,’’ sebut Pion, pemilik rumah tempat pawai Gedang.

‘’Tidak ada kayu yang masih hidup yang kita gunakan. Semuanya kayu kering yang sudah patah untuk memasak. Adapun kayu hidup, digunakan untuk membuat tiang layar, termasuk kajang sirung. Tapi biasanya jumlahnya tak banyak. Kalau kayu hidup memang kita ambil dari Talang Perigi Semua,’’ ungkap Pion.

Kajang sirung, selain terbuat dari kayu-kayuan sejenis rengas, dikombinasikan dengan bambu serta diikat dengan kulit rotan. ‘’Semua bahannya dari hutan di sekitar tempat kita tinggal ini,’’ sebut salah seorang pekerja pembuatan kajang sirung.

Selain layar dan kajang sirung, warga juga mendirikan tiang gelanggang. Tiang gelanggang sendiri merupakan simbol utama dari dimulainya sebuah proses Gawai Gedang. Tiang pancang terbuat dari kayu yang sudah dibentuk berupa tiang-tiang pendek yang nantinya dirangkai kembali dengan menggunakan buluh bambu.

Pada bagian atas tiang gelanggang, diletakkan tiang kecil dengan hiasan koin Rp5 di tiap-tiap sisi empat mata angin. Tiang kecil tersebut, dijelaskan salah seorang tokoh masyarakat Talang Mamak, merupakan pajangan yang sudah sangat lama. Bahkan umurnya diperkirakan lebih dari 20 tahun. 

‘’Hiasan itu kemarin kami bawa dari rumah Patih Lama, Pak Patih Laman,’’ sebut sumber tersebut. Adapun untuk pajangan pada kaki tiang pancang, dijelaskan warga, dibuat langsung oleh masyarakat dengan menggunakan motif ornamen hitam dan putih tanpa menggunakan cat atau pewarna buatan. Untuk warna hitam, dijelaskan Luji, Pemangku Batin Ampang Delapan dibuat menggunakan arang dan kapur sirih.

‘’Warna Hitamnya terbuat dari arang kayu, sedangkan untuk warna putih pada ornamen putih dibuat menggunakan kapur sirih yang dibakar terlebih dulu dan dibersihkan untuk diambil kapur putihnya,’’ imbuh Luji lagi.

Harmoni masyarakat Talang Mamak dengan alam sendiri, sebenarnya tidak hanya tergambar dari simbol-simbol adat yang digunakan saat pelaksanaan iven Gawai Gedang. 

Namun, juga dalam tradisi hidup masyarakatnya. Misalnya menggunakan lukah untuk menangkap ikan, membuat panah, mengambil manau, rotan untuk ayakan, membuat jangki, bakul hutan. 

‘’Seluruh bahan untuk membuat peralatan pendukung keperluan hidup masyarakat Talang Mamak umumnya dibuat sendiri oleh masing-masing masyarakat menggunakan sumber daya yang tersedia di setiap kawasan hutan,’’ ungkap Batin Talang Sungai Parit, Irasan.

Hanya saja, dijelaskan dia, saat ini seluruh aktivitas masyarakat tersebut tidak bisa dilaksanakan karena terbentur oleh semakin sempitnya luas wilayah hidup dan pemanfaatan kawasan hutan untuk masyarakat. 

‘’Bagaimana mungkin kami mau mencari rotan, manau, rumbai, sementara hutan sudah tidak ada lagi, semua sudah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit. Karena itulah, kita berharap ada perhatian pemerintah dan pelaku usaha untuk masyarakat supaya bisa memanfaatkan kembali potensi-potensi alam yang selama ini menjadi milik hak adat masyarakat Talang Mamak,’’ harap Irasan.

Penjelasan Irasan juga disampaikan oleh Iskandar, salah seorang batin lainnya. Ia menjelaskan, dalam silsilah kekeluargaan masyarakat Talang Mamak, tanah dan wilayah adat memegang peranan penting untuk kehidupan masyarakat. Terutama dalam kaitannya untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga. 

Ia mencontohkan, di wilayah adat yang dipimpinnya, saat ini dari belasan ribu hektare, yang tersisa hanya berkisar 1.000-an hektare. 

Dengan populasi masyarakat yang bertambah, serta tingkat kesulitan ekonomi yang tinggi, permasalahan lahan menjadi sangat merisaukan. 

‘’Misalnya, saya punya anak, setelah dewasa, menikah dan punya keluarga. Ketika menikah, tanah memegang fungsi untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Tapi, bagaimana bila kemudian anak saya melahirkan anak-anak juga, sementara hutan tempat menetappun mungkin sudah tidak ada lagi. Kekhawatiran itu terus menjadi pemikiran kami saat ini. Karena itulah, harusnya itu dipikirkan bersama oleh pemerintah, perusahaan dan melibatkan masyarakat adat,’’ harap Iskandar.

Ritual Tradisi
Sepanjang Gawai Gedang yang dilaksanakan di Dusun Kemenyan, Desa Talang Perigi, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu ini, hampir seluruh ritual tradisi adat kebesaran masyarakat Talang Mamak ditampilkan. 

Mulai dari prosesi untuk membuat tiang pancang dan layar, kajang sirung, ayam aduan tiga tarek, menyongsong dan arak-arakan, tarian adat ditampilkan.

Pada umumnya pelaku dari ritual adat tersebut adalah para orangtua yang sudah cukup sering mengikuti ritual tersebut. Bahkan, dukun dan kumantan juga ikut diturunkan untuk memberikan keikhlasan bagi sang Khalik untuk dilaksanakannya acara yang sudah hampir puluhan tahun ini tak pernah dipertontonkan oleh masyarakat Talang Mamak baik kepada anak kemenakannya maupun masyarakat umum.

Dijelaskan Langgak, salah seorang penari adat yang usianya lebih 60 tahun, tarian adat ini sudah sering ia lakukan. Bahkan semenjak muda. 

Hanya saja, tarian adat ini tidak setiap saat bisa dipertontonkan kepada khalayak karena hanya boleh dilakukan pada upacara besar adat saja. 

‘’Seperti tari sembah adat tadi, itu khusus pada Gawai Gedang seperti hari ini. Kalau hari biasa, tak boleh, karena itu sakral,’’ jelas dia.

Langgak memang menunjukkan sejumlah gerakan tarian adat sepanjang pelaksanaan arak-arakan dalam menyambut kedatangan para batin maupun patih. 

Dengan gerakan-gerakan layaknya burung terbang serta dibalut kain jarik, lelaki tua yang masih terlihat lincah itu berputar mengitari tiang gelanggang sembari mengikuti gerakan arak-arakan. Aroma kemenyan dan bau anyir darah ayam memenuhi hampir seluruh ritual acara adat ini. 

Ribuan warga Talang Mamak tumpah ruang di sekitar acara Gawai Gedang yang dilaksanakan. Mereka menyambut suka cita acara ini sebagai simbol dari kebersamaan dan kekompakan masyarakat. 

Kebanyakan masyarakat khususnya kaum muda begitu menikmati gelaran sabung ayam yang dilaksanakan.


Ada puluhan ekor ayam yang dipertarungkan pada hari kedua ini. Bagi ayam yang kalah, langsung disembelih.

Selain ritual tersebut, juga dilaksanakan ritual penyambutan untuk calon mempelai yang hendak dinikahkan serta anak-anak remaja yang hendak disunat. 

Meski sudah dipertemukan dan dipestakan secara meriah lewat ritual adat, namun, prosesi pernikahan masih belum berakhir.  

‘’Mereka itu belum resmi. Resminya itu, setelah tiang gelanggang diturunkan. ‘’Besok masih ada ritual adat, bagi yang menikah dan sunat. Hari ini tugas dari mereka adalah menyambut para tetamu, terutama para pimpinan masyarakat Talang Mamak, seperti Patih dan Batin. Karena kita masyarakat, kita harus menghormati pemimpin, karena kita berbatin dan berpatih ke masing-masing pemimpin kita ini,’’ timpal Iskandar yang berasal dari Anak Talang.

Sumber : http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=22707&kat=12#.UPYzi6yStIC
 

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah