Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Sabtu, 08 September 2012

Donggi Senoro Masih Sisakan Setumpuk Masalah, Dampak Kerusakan Lingkungan dan Konflik Perebutan Sumber Daya Alam


PDF Cetak E-mail

Senin, 03 September 2012


Jakarta, Tambangnews.com.- Pembangunan kilang LNG Donggi Senoro di wilayah Banggai, Sulawesi Tengah, masih menyisakan setumpuk masalah. Dua hal yang menjadi keprihatinan sejumlah pihak akibat aktivitas pembangunan kilang Donggi Senoro tersebut adalah dampak kerusakan lingkungan dan konflik perebutan sumber daya alam.

Beberapa waktu lalu, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah mendesak Gubernur Longky Djanggola melakukan moratorium aktivitas pertambangan di wilayah itu menyusul tingginya potensi dampak kerusakan lingkungan.

Manager Riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Andika, mengatakan laju investasi pertambangan berpotensi meningkatkan dampak kerusakan lingkungan dan konflik perebutan sumber daya alam antara pihak perusahaan dan masyarkaat setempat.

“Pada akhir Juli kami sudah mengimbau Gubernur Sulteng mengeluarkan keputusan politik dengan melakukan moratorium [penundaan sementara, red] aktifitas pertambangan dan mendesak pembentukan tim independen penyelesaian masalah agraria serta kajian kelayakan pertambangan,” ujar Andika.

Dia mengatakan hingga saat ini terdapat 365 perusahaan tambang yang memiliki izin usaha pertambangan [IUP], ditambah satu mega proyek LNG Donggi Senoro. Salah satu kabupaten yang memiliki areal pertambangan terluas adalah Kabupaten Morowali, dengan 149 IUP.

Lebih ironisnya lagi, semua perusahaan itu beroperasi sebelum ada penetapan Wilayah Pertambangan, dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan. Dengan demikian perusahaan tak ubahnya sekedar penjual tanah mentah (orb) yang bersengketa dengan petani untuk kepentingan industri negara—negara maju, terutama China dan Jepang. “Selain volume kerusakan lingkungan per satuan konsesi meningkat, juga sudah merambah kawasan hutan lindung termasuk upaya mengkriminalisasikan rakyat dalam berbagai macam bentuk untuk kepentingan perusahaan pertambangan,” tegasnya.

Baginya dampak itu lalu memicu pula aksi kekerasan bersenjata terhadap rakyat yang menolak pertambangan. Kekerasan itu dilakukan oleh aparat keamanan negara, dalam hal ini kepolisian, yang dalam setiap upaya pengamanan melakukan tindakan represif.

Secara khusus Jatam Sulteng menyorot persoalan Donggi Senoro (DS), yang dianggap tidak concern terhadap tanggung jawab sosial. “Kami sudah melakukan beberapa kajian studi lapangan di Banggai, dan kami mengkhawatirkan proyek DS tidak punya hubungan pertanggung jawaban terhadap masa depan komunitas di wilayah itu, khususnya komunitas petani yang kehilangan tanah produksi akibat pembebasan lahan untuk areal pertambangan,” kata Andika.

“Mayoritas masyarakat di sana adalah petani. Mereka butuh tanah. Kemana masyarakat ini akan pergi? Apakah pemerintah dan perusahaan pengelola Donggi Senoro akan bertanggung jawab. Saya belum melihat ada skema penyelamatannya. Misalnya dalam bentuk program transmigrasi lokal,” tegas Andika. Hal inilah yang menurut dia merupakan proses pemiskinan yang absolut, dimana seseorang hanya diberikan ganti rugi berupa uang yang hanya bersifat sesaat, tapi tidak diberikan solusi untuk keberlangsungan hidup ke depan.

Dana CSR
Kekecewaan terhadap perusahaan pertambangan juga disuarakan Nurmawati Bantilan, Ketua DPD Sulawesi Tengah.

"Pembangunan Donggi-Senoro yang sedang terjadi saat ini membuat masyarakat Banggai sengsara akibat kerusakan yang terjadi akibat penambangan gas tersebut," ujar anggota DPD Sulawesi Tengah, Nurmawati Dewi Bantilan, dalam sebuah Seminar di Gedung DPD RI Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pembangunan kilang Donggi-Senoro menurut Dotty, Humas PT DS LNG, saat ini telah mencapai 53%. Tapi, dalam proses pembangunan itu, menurut Nurmawati menuai beberapa masalah.

Masalah awal yang timbul terutama pada pembebasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. "Pola kepemilikan lahan ini menjadi potensi konflik yang sangat luar biasa, jauh berbeda dengan realita,” katanya.

Selain itu proyek tersebut menimbulkkan dampak buruk pada lingkungan.
“Terjadi kerusakan lingkungan dalam hal penurunan kualitas udara, tingkat kebisingan, kualitas air permukaan, gangguan drainase, transportasi darat," paparnya.

Janji yang diungkapkan pihak PT DSLNG tidak sebanding dengan dana CSR yang dikeluarkan. Menurut Nurmawati, ia mendapat informasi bahwa dana (Corporate Social Responsibility) CSR PT DSLNG  hanya Rp.1 Milyar dibandingkan dengan jumlah investasi yang sudah mencapai US$ 2,8 Milyar.

"CSR-nya tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, ini benar-benar tidak sesuai yang jadi harapan. Jangankan sesuai yang bisa mensejahterakan rakyat, belum beroperasi saja sudah menyusahkan rakyat," paparnya.

Selain itu, peraturan bagi hasil penerimaan pertambangan Gas Bumi antara pemerintah pusat dan Daerah tidak adil. "Bupati Banggai pernah menyampaikan secara lisan kepada Pertamina  agar daerah memiliki saham sebesar 10%, namun sampai sekarang tidak jelas," tuturnya. Menurut Nurmawati, bagi hasil yang diterima daerah ternyata tidak cukup untuk membiayai kerusakan alam akibat penambangan tersebut.

Kondisi riil yang terjadi saat ini, menurut Dewi membuat masyarakat Banggai kecewa. Janji konsorsium PT Donggi Senoro LNG,  yang diwakili oleh GM PT Pertamina Indra Kusuma tahun 2008, bahwa pembangunan kilang gas Donggi Sonoro akan memberikan kontribusi, ternyata jauh dari harapan. Itu sebabnya masyarakat di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, mengeluarkan ultimatum terhadap kelangsungan proyek Donggi Senoro.

Ia menjelaskan, pada bulan bulan Agustus 2008 GM PT Pertamina Indra Kusuma telah berjanji kepada masyarakat setempat bahwa keberadaan kilang gas Donggi- Senoro akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat, "Faktanya hingga saat ini janji tersebut tidak terealisasi." jelasnya.

Untuk itu, Dewi mengusulkan perlu dilakukannya renegosiasi kontrak karya dan sejenisnya atas sumber daya alam khususnya gas bumi, perlu regulasi mengenai bagi hasil dari penerimaan sumber daya alam gas bumi serta harus sesuai amanat UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi agar pengelolaan minyak dan gas bumi melibatkan pemerintahan daerah.

"Perlu dilakukan renegosiasi, karena ada kerugian untuk harga dll, karena membuat masyarakat dirugikan dan terpuruk," tambahnya.

Sementara itu, menurut aktivis Jatam, Hendrik Siregar, seharusnya semua perusahaan pertambangan yang melakukan aktivitas pertambangan menyetorkan dana Reklamasi. “Kalau kita mengikuti aturan yang ada, perusahaan wajib untuk memberi jaminan rehabilitasi dan reklamasi. Ini seharusnya diwajibkan secara jelas. Pemerintah harus bisa memperkirakan kisaran dana tersebut harus sesuai dengan resiko yang ditimbulkan.

Hendrik  juga mengingatkan pemerintah tentang peruntukan dan fungsi dari dana CSR. “Peruntukan dana CSR itu adalah untuk biaya pengembangan ekonomi dan infrastruktur untuk masyarakat sekitar. Jadi CSR itu bukan untuk biaya pengganti kerusakan lingkungan. Sebab, seperti yang saya tegaskan tadi, perusahaan punya kewajiban untuk menyediakan dana rehabilitasi dan reklamasi, Dan itu seharusnya disetor perusahaan sebelum aktivitas pertambangan dimulai,” tegasnya.(Iyet)

Sumber: http://www.tambangnews.com/berita/utama/2646-donggi-senoro-masih-sisakan-setumpuk-masalah-dampak-kerusakan-lingkungan-dan-konflik-perebutan-sumber-daya-alam.html

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah