
Jakarta,
Tambangnews.com.- Pembangunan kilang LNG Donggi Senoro di wilayah
Banggai, Sulawesi Tengah, masih menyisakan setumpuk masalah. Dua hal
yang menjadi keprihatinan sejumlah pihak akibat aktivitas pembangunan
kilang Donggi Senoro tersebut adalah dampak kerusakan lingkungan dan
konflik perebutan sumber daya alam.
Beberapa waktu lalu, aktivis
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah mendesak Gubernur
Longky Djanggola melakukan moratorium aktivitas pertambangan di wilayah
itu menyusul tingginya potensi dampak kerusakan lingkungan.
Manager
Riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Andika, mengatakan
laju investasi pertambangan berpotensi meningkatkan dampak kerusakan
lingkungan dan konflik perebutan sumber daya alam antara pihak
perusahaan dan masyarkaat setempat.
“Pada akhir Juli kami sudah
mengimbau Gubernur Sulteng mengeluarkan keputusan politik dengan
melakukan moratorium [penundaan sementara, red] aktifitas pertambangan
dan mendesak pembentukan tim independen penyelesaian masalah agraria
serta kajian kelayakan pertambangan,” ujar Andika.
Dia mengatakan
hingga saat ini terdapat 365 perusahaan tambang yang memiliki izin
usaha pertambangan [IUP], ditambah satu mega proyek LNG Donggi Senoro.
Salah satu kabupaten yang memiliki areal pertambangan terluas adalah
Kabupaten Morowali, dengan 149 IUP.
Lebih ironisnya lagi, semua
perusahaan itu beroperasi sebelum ada penetapan Wilayah Pertambangan,
dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan. Dengan demikian perusahaan tak
ubahnya sekedar penjual tanah mentah (orb) yang bersengketa dengan
petani untuk kepentingan industri negara—negara maju, terutama China dan
Jepang. “Selain volume kerusakan lingkungan per satuan konsesi
meningkat, juga sudah merambah kawasan hutan lindung termasuk upaya
mengkriminalisasikan rakyat dalam berbagai macam bentuk untuk
kepentingan perusahaan pertambangan,” tegasnya.
Baginya dampak
itu lalu memicu pula aksi kekerasan bersenjata terhadap rakyat yang
menolak pertambangan. Kekerasan itu dilakukan oleh aparat keamanan
negara, dalam hal ini kepolisian, yang dalam setiap upaya pengamanan
melakukan tindakan represif.
Secara khusus Jatam Sulteng menyorot
persoalan Donggi Senoro (DS), yang dianggap tidak concern terhadap
tanggung jawab sosial. “Kami sudah melakukan beberapa kajian studi
lapangan di Banggai, dan kami mengkhawatirkan proyek DS tidak punya
hubungan pertanggung jawaban terhadap masa depan komunitas di wilayah
itu, khususnya komunitas petani yang kehilangan tanah produksi akibat
pembebasan lahan untuk areal pertambangan,” kata Andika.
“Mayoritas
masyarakat di sana adalah petani. Mereka butuh tanah. Kemana masyarakat
ini akan pergi? Apakah pemerintah dan perusahaan pengelola Donggi
Senoro akan bertanggung jawab. Saya belum melihat ada skema
penyelamatannya. Misalnya dalam bentuk program transmigrasi lokal,”
tegas Andika. Hal inilah yang menurut dia merupakan proses pemiskinan
yang absolut, dimana seseorang hanya diberikan ganti rugi berupa uang
yang hanya bersifat sesaat, tapi tidak diberikan solusi untuk
keberlangsungan hidup ke depan.
Dana CSR Kekecewaan terhadap perusahaan pertambangan juga disuarakan Nurmawati Bantilan, Ketua DPD Sulawesi Tengah.
"Pembangunan
Donggi-Senoro yang sedang terjadi saat ini membuat masyarakat Banggai
sengsara akibat kerusakan yang terjadi akibat penambangan gas tersebut,"
ujar anggota DPD Sulawesi Tengah, Nurmawati Dewi Bantilan, dalam sebuah
Seminar di Gedung DPD RI Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pembangunan
kilang Donggi-Senoro menurut Dotty, Humas PT DS LNG, saat ini telah
mencapai 53%. Tapi, dalam proses pembangunan itu, menurut Nurmawati
menuai beberapa masalah.
Masalah awal yang timbul terutama pada
pembebasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. "Pola
kepemilikan lahan ini menjadi potensi konflik yang sangat luar biasa,
jauh berbeda dengan realita,” katanya.
Selain itu proyek tersebut menimbulkkan dampak buruk pada lingkungan. “Terjadi
kerusakan lingkungan dalam hal penurunan kualitas udara, tingkat
kebisingan, kualitas air permukaan, gangguan drainase, transportasi
darat," paparnya.
Janji yang diungkapkan pihak PT DSLNG tidak
sebanding dengan dana CSR yang dikeluarkan. Menurut Nurmawati, ia
mendapat informasi bahwa dana (Corporate Social Responsibility) CSR PT
DSLNG hanya Rp.1 Milyar dibandingkan dengan jumlah investasi yang sudah
mencapai US$ 2,8 Milyar.
"CSR-nya tidak cukup untuk memperbaiki
kerusakan lingkungan, ini benar-benar tidak sesuai yang jadi harapan.
Jangankan sesuai yang bisa mensejahterakan rakyat, belum beroperasi saja
sudah menyusahkan rakyat," paparnya. Selain itu, peraturan bagi
hasil penerimaan pertambangan Gas Bumi antara pemerintah pusat dan
Daerah tidak adil. "Bupati Banggai pernah menyampaikan secara lisan
kepada Pertamina agar daerah memiliki saham sebesar 10%, namun sampai
sekarang tidak jelas," tuturnya. Menurut Nurmawati, bagi hasil yang
diterima daerah ternyata tidak cukup untuk membiayai kerusakan alam
akibat penambangan tersebut.
Kondisi riil yang terjadi saat ini,
menurut Dewi membuat masyarakat Banggai kecewa. Janji konsorsium PT
Donggi Senoro LNG, yang diwakili oleh GM PT Pertamina Indra Kusuma
tahun 2008, bahwa pembangunan kilang gas Donggi Sonoro akan memberikan
kontribusi, ternyata jauh dari harapan. Itu sebabnya masyarakat di
Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah,
mengeluarkan ultimatum terhadap kelangsungan proyek Donggi Senoro. Ia
menjelaskan, pada bulan bulan Agustus 2008 GM PT Pertamina Indra Kusuma
telah berjanji kepada masyarakat setempat bahwa keberadaan kilang gas
Donggi- Senoro akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat,
"Faktanya hingga saat ini janji tersebut tidak terealisasi." jelasnya. Untuk
itu, Dewi mengusulkan perlu dilakukannya renegosiasi kontrak karya dan
sejenisnya atas sumber daya alam khususnya gas bumi, perlu regulasi
mengenai bagi hasil dari penerimaan sumber daya alam gas bumi serta
harus sesuai amanat UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi
agar pengelolaan minyak dan gas bumi melibatkan pemerintahan daerah.
"Perlu dilakukan renegosiasi, karena ada kerugian untuk harga dll, karena membuat masyarakat dirugikan dan terpuruk," tambahnya.
Sementara
itu, menurut aktivis Jatam, Hendrik Siregar, seharusnya semua
perusahaan pertambangan yang melakukan aktivitas pertambangan
menyetorkan dana Reklamasi. “Kalau kita mengikuti aturan yang ada,
perusahaan wajib untuk memberi jaminan rehabilitasi dan reklamasi. Ini
seharusnya diwajibkan secara jelas. Pemerintah harus bisa memperkirakan
kisaran dana tersebut harus sesuai dengan resiko yang ditimbulkan.
Hendrik
juga mengingatkan pemerintah tentang peruntukan dan fungsi dari dana
CSR. “Peruntukan dana CSR itu adalah untuk biaya pengembangan ekonomi
dan infrastruktur untuk masyarakat sekitar. Jadi CSR itu bukan untuk
biaya pengganti kerusakan lingkungan. Sebab, seperti yang saya tegaskan
tadi, perusahaan punya kewajiban untuk menyediakan dana rehabilitasi dan
reklamasi, Dan itu seharusnya disetor perusahaan sebelum aktivitas
pertambangan dimulai,” tegasnya.(Iyet)
Sumber: http://www.tambangnews.com/berita/utama/2646-donggi-senoro-masih-sisakan-setumpuk-masalah-dampak-kerusakan-lingkungan-dan-konflik-perebutan-sumber-daya-alam.html
|