Rabu, 27 June 2012
Kepala Adat Besar Dayak, Elisason melaporkan Kepala Polda Kalimantan
Timur dan Kapolres Kabupaten Paser kepada Divisi Profesi dan Pengamanan
(Divpropam) Mabes Polri, terkait dugaan mengkriminalisasikan masyarakat
setempat.
"Kami melaporkan perlakuan polisi yang mengkriminalisasi masyarakat, disebabkan masyarakat menuntut hak mereka terhadap PT Kriya Jaya Agung sejak 1990 hingga sekarang yang tidak mau membayar," kata Elisason di Jakarta, Rabu (27/6).
Ketua Adat Besar Dayak Kalimantan Timur mengadukan pimpinan Polda Kalimantan Timur dengan laporan Nomor : STPL/196/VI/2012/YANDUAN tertanggal 27 Juni 2012.
Elisason menduga aparat kepolisian menghambat keinginan masyarakat setempat yang menduduki lahan sengketa tersebut, guna menuntut hak dengan cara mmebubarkan paksa sebanyak dua kali.
Selain Divpropam Mabes Polri, Keluarga Besar Adat Dayak Kalimantan Timur sudah mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Elisason mengungkapkan masyarakat mengandalkan kehidupan dari garapan lahan tanah seluas 1.000 hektar, kemudian PT Karya Jaya Agung mengambil alih status lahan tanah selama bertahun-tahun, namun tanpa memberikan ganti rugi sejak 1990 hingga saat ini.
Elisason menuturkan masyarakat setempat bernegosiasi dengan pihak perusahaan hingga memberikan kuasa kepada lembaga perlindungan dan pembelaan masyarakat hukum adat dayak Kalimantan Timur, namun manajemen PT Karya Jaya Agung selalu mengelak.
"Bahkan perjuangan masyarakat mendapatkan hambatan dari petugas kepolisian yang selalu menyalahkan warga," ungkap Elisason.
Usai tidak mendapatkan tanggapan dari perusahaan, masyarakat memutuskan untuk menduduki lahan garapan yang belum dibayar.
Namun, aksi masyarakat mendapatkan perlawanan dari anggota Brigade Mobil (Brimob) Balilkpapan dengan cara membubarkan paksa.
Elisason mengungkapkan petugas kepolisian juga menangkap lima orang warga yang membawa alat kerja dan senjata tradisional seperti mandau sebagai kebiasaan adat warga sekitar saat berada dekat lokasi lahan yang sengketa pada sehari sebelum terjadi pembubaran paksa.
Kelima orang warga tersebut mendapatkan intimidasi dan menjalani penahanan, padahal tidak ada alasan untuk diproses secara hukum, karena warga tersebut membawa senjata tajam, namun tidak bermaksud untuk mengancam seseorang, tutur Elisason.
Kelompok Adat Besar Dayak Kalimantan Timur menuntut pihak kepolisian setempat melepaskan kelima warga tersebut, serta meminta perusahaan menarik gugatan perdata lahan sengketa dan membayar gantu rugi kepada masyarakat.
"Kami melaporkan perlakuan polisi yang mengkriminalisasi masyarakat, disebabkan masyarakat menuntut hak mereka terhadap PT Kriya Jaya Agung sejak 1990 hingga sekarang yang tidak mau membayar," kata Elisason di Jakarta, Rabu (27/6).
Ketua Adat Besar Dayak Kalimantan Timur mengadukan pimpinan Polda Kalimantan Timur dengan laporan Nomor : STPL/196/VI/2012/YANDUAN tertanggal 27 Juni 2012.
Elisason menduga aparat kepolisian menghambat keinginan masyarakat setempat yang menduduki lahan sengketa tersebut, guna menuntut hak dengan cara mmebubarkan paksa sebanyak dua kali.
Selain Divpropam Mabes Polri, Keluarga Besar Adat Dayak Kalimantan Timur sudah mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Elisason mengungkapkan masyarakat mengandalkan kehidupan dari garapan lahan tanah seluas 1.000 hektar, kemudian PT Karya Jaya Agung mengambil alih status lahan tanah selama bertahun-tahun, namun tanpa memberikan ganti rugi sejak 1990 hingga saat ini.
Elisason menuturkan masyarakat setempat bernegosiasi dengan pihak perusahaan hingga memberikan kuasa kepada lembaga perlindungan dan pembelaan masyarakat hukum adat dayak Kalimantan Timur, namun manajemen PT Karya Jaya Agung selalu mengelak.
"Bahkan perjuangan masyarakat mendapatkan hambatan dari petugas kepolisian yang selalu menyalahkan warga," ungkap Elisason.
Usai tidak mendapatkan tanggapan dari perusahaan, masyarakat memutuskan untuk menduduki lahan garapan yang belum dibayar.
Namun, aksi masyarakat mendapatkan perlawanan dari anggota Brigade Mobil (Brimob) Balilkpapan dengan cara membubarkan paksa.
Elisason mengungkapkan petugas kepolisian juga menangkap lima orang warga yang membawa alat kerja dan senjata tradisional seperti mandau sebagai kebiasaan adat warga sekitar saat berada dekat lokasi lahan yang sengketa pada sehari sebelum terjadi pembubaran paksa.
Kelima orang warga tersebut mendapatkan intimidasi dan menjalani penahanan, padahal tidak ada alasan untuk diproses secara hukum, karena warga tersebut membawa senjata tajam, namun tidak bermaksud untuk mengancam seseorang, tutur Elisason.
Kelompok Adat Besar Dayak Kalimantan Timur menuntut pihak kepolisian setempat melepaskan kelima warga tersebut, serta meminta perusahaan menarik gugatan perdata lahan sengketa dan membayar gantu rugi kepada masyarakat.