Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Senin, 30 Desember 2013

4 Tahun , Terjadi 241 Konflik Sosial di Riau Dipicu SDA

Kamis, 28 Juni 2012

241 konflik sosial terjadi di Riau selama 4 tahun terakhir. Hampir semua konflik dipicu persoalan sumber daya alam.

Riauterkini-PEKANBARU-Data Scale Up menyebutkan bahwa konflik sosial di Riau relatif tinggi. Namun trend konflik di Riau menurun di 4 tahun belakangan ini. Tahun 2008 tercatat ada 96 konflik, 2009 sebanyak 67 konflik, 2010 sebanyak 44 konflik dan 2011 sebanyak 34 konflik.

Direktur Eksekutif Scale Up, Ahmad Zazali dalam diskusi penguatan kapasitas jurnalis dengan topik “Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai” di Breaks CafĂ©, Mal Ciputra Pekanbaru Rabu (27/6) menyebutkan, konflik sosial di Riau pada umumnya dipicu faktor sengketa sumber daya alam. Konflik sosial tertinggi terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan.

Menurutnya, tingginya konflik sosial di Riau di picu adanya ketidak teraturan sistem pertanahan di Riau. Banyak sekali terjadi tumpang tindihnya perijinan lahan di lapangan yang memicu konflik sosial. Baik antara perusahaan dengan kelompok masyarakat, pemerintah dengan kelompok masyarakat ataupun antara kelompok masyarakat dengan masyarakat.

"Kita berharap pemerintah bisa menertibkan sistem pertanahan di Riau. Karena dengan sistem yang saat ini digunakan dan berdampak pada tunpang tindihnya perijinan lahan, maka konflik tersebut masih akan terus muncul di Riau," terangnya. ***(H-we)


Sumber:riauterkini.com

Selamat Tahun Baru 2014



Kilas Balik Konflik 2013: dari Protes Tambang Pasir hingga Suku Anak Dalam yang Kehilangan Lahan

Oleh Sapariah Saturi,  December 30, 2013

Warga Suku Anak Dalam, Jambi, yang kini menginap di Komnas HAM, di Jakarta. Mereka menuntut BPN mencabut HGU PT Asiatic Persada, yang telah menguasai lahan mereka. Foto: Sapariah Saturi
Warga Suku Anak Dalam, Jambi, yang kini menginap di Komnas HAM, di Jakarta. Mereka menuntut BPN mencabut HGU PT Asiatic Persada, yang telah menguasai lahan mereka. Foto: Sapariah Saturi

Rosimah, bersandar pada kursi kayu panjang, sore itu. Dia berada di emperan belakang bangunan Komnas HAM, di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat. Tepat, berjarak beberapa meter di depan Ruang Asmara Nababan.
Rosimah berbicara terpatah-patah. Sesekali terdiam. “Susah pikiran. Banyak dipikir. Susah. Tak tau mau apalagi.” Dia berbicara pelan. Tampak jelas menahan air mata. Bibir agak bergetar. “Sampai datang dari Jambi ke sini, mau tuntut hak kami.”
Sejak 10 Desember 2013, perempuan 50 an tahun ini mondok di gedung ini bersama, puluhan Suku Anak Dalam 113, yang lain. Mereka tinggal dan tidur di emperan gedung ini. Dapur darurat dibuat, dengan ditutupi terpal. Ada tungku dan peralatan masak.  Kontras dengan bangunan-bangunan mewah di kawasan elit itu.
Mereka di sana, demi menuntut pengembalian lahan adat yang diklaim perusahaan sawit, PT Asiatic Persada. Mereka menuntut hak guna usaha (HGU), perusahaan ini dicabut.
Rosimah tinggal di Dusun Pinang Tinggi, Batanghari, Jambi. Tempat tinggal dan kebun dia, dianggap masuk hak guna usaha (HGU) perusahaan. “Habis, dua rumah dirobohkan. Karet, durian, rambutan, cempedah, dirobohkan perusahaan.”
Padahal, katanya, dia sudah turun temurun tinggal di sana. “Itu tanah nenek saya, saya lahir di sana, anak saya enam, sudah besar-besar, cucu sudah banyak dan dari tinggal di sana. Sekarang tak ada…”
Ruslan, warga SAD yang juga aksi mengatakan, Komnas HAM sudah mengirimkan surat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pemerintah daerah. Kini, mereka menanti kabar dari BPN. “Kami akan tetap di sini, sampai BPN, menetapkan jadwal gelar perkara,” katanya.
Senada diungkapkan Mahyudin, dari Lembaga Peduli Bangsa, yang mendampingi warga SAD. “Sampai ada jadwal BPN mau gelar perkara di mana, baru kami akan kembali ke Jambi.”
Konflik lahan tak putus-putus di negeri ini. Konflik Suku Adat Dalam, dan PT Asiatic, hanya salah satu dari ratusan yang lain. Aksi mereka menuntut keadilan ke Pusat ini, menjadi suguhan penutup tahun di Ibukota.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperlihatkan, konflik agraria meningkat. Tahun ini, korban jiwa naik drastis, sampai 522%. Tahun 2012, warga tewas tiga orang, tahun ini menjadi 21 orang.  Korban lain,  30 orang tertembak, 130 mengalami penganiayaan dan 239 warga ditahan. Sedang pelaku kekerasan dalam konflik agraria sepanjang 2013 didominasi kepolisian sebanyak 47 kasus, keamanan perusahaan 29 kasus dan TNI sembilan kasus.
Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 (8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.
Rosimah, ikut aksi ke Jakarta. Sejak 10 Desember 2013, dia berumah di emperan belakang kantor Komnas HAM. Foto: Andreas Harsono
Rosimah, ikut aksi ke Jakarta. Sejak 10 Desember 2013, dia berumah di emperan belakang kantor Komnas HAM. Foto: Andreas Harsono
Berikut ini, Mongabay, memutar ulang cuplikan sebagian konflik-konflik lahan dan sumber daya alam (SDA), yang terjadi di negeri ini dari awal hingga akhir 2013.
Diawali pada 9 Januari, warga bersama Aliansi Rakyat Gugat Penambangan Pasir Laut aksi di depan pendopo Bupati Serang, Banten. Mereka menuntut bupati mencabut izin usaha pertambangan pasir laut di pesisir Lontar dan seluruh Kabupaten Serang.
Mereka juga minta penghentian pengeluaran izin pengelolaan wilayah laut dan pesisir dari kepentingan pertambangan.  Setelah protes panjang, warga membuahkan kemenangan kecil.  Bupati Serang, A Taufik Nuriman, menghentikan sementara pertambangan pasir lewat surat Nomor : 540/02-Huk. BPTM/2013 perihal Penghentian Sementara operasional PT. Jetstar, tertanggal 9 Januari 2013.
Menurut surat bupati, penghentian ini guna mengkaji ulang secara bersama-sama melibatkan unsur terkait, pemerintah daerah, pengusaha dan masyarakat.  Sayangnya, aksi perusahaan hanya berhenti sesaat. Evaluasi Pemerintah Serang, tak jelas, kini tambang pasir besi kembali beroperasi.
Masih Januari, konflik antara warga dan PT PN VII Unit Cinta Manis, kembali memanas. Polisi menangkap dan menganiaya warga yang tengah merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW di lahan bersengketa di Desa Betung Kecamatan Lubuk Keliat, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel)  pada Jumat (25/1/13). Dalam insiden itu, satu orang diamankan, Suardi bin Damiri (32) dan lima warga mengalami luka lebam karena pukulan aparat kepolisian yang dibantu preman perusahaan.
Tak selesai sampai di situ. Dalam aksi sekitar 500 orang terdiri dari aktivis berbagai organisasi masyarakat sipil di Sumatera Selatan (Sumsel) dan petani Ogan Ilir di depan Mapolda Sumsel, Selasa(29/1/13) berakhir bentrok dengan polisi.
Serbuan aparat kepada peserta aksi di tengah guyuran hujan itu menyebabkan beberapa aktivis dan petani menderita luka-luka, termasuk Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, bersimbah darah dengan robek di kepala. Dari aksi itu, sekitar 25 orang diamankan, 11 ditahan di Polda Sumsel, 14 di Polresta Palembang.
Memasuki Februari,  konflik lahan antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Sumut), kembali memanas, Senin(25/2/13). Kondisi ini karena TPL mulai menanam kayu putih (eucalyptus) di wilayah Hutan Kemenyan di Dolok Ginjang, padahal sesuai kesepakatan proses tanam menanam dihentikan dahulu. Warga protes hingga terjadi bentrok dengan massa karyawan TPL.
Parahnya, brimob yang menjaga perusahaan  menangkapi sekitar 31 warga, 16 orang ditetapkan tersangka, 15 dibebaskan. Sampai saat ini, keadaan di Humbang Hasundutan, masih memanas. Warga ketakutan dan terus berjaga-jaga.
Mereka yang ditangkap ini antara lain, warga dari Desa Sipituhuta, Hanup Marbun (37), Leo Marbun(40), Onri Marbun (35), Jusman Sinambela (50), Jaman Lumban Batu (40), Roy Marbun (35), Fernando Lumbangaol (30), Filter Lumban Batu (45), Daud Marbun (35). Dari Desa Pandumaan Elister Lumbangaol (45) Janser Lumbangaol (35) Poster Pasaribu (32), Madilaham Lumbangaol (32) Tumpal Pandiangan (40).
Aksi para petani dan organisasi petani didampingi Walhi Sumsel di depan Mapolda Sumsel, sesaat sebelum bentrok, Selasa(29/1/13). Foto: Walhi Sumsel
Pada Maret,  warga bersama Front Perjuangan Masyarakat Korban Tambang Tojo Una-una dan Jatam Sulteng aksi ke pelabuhan PT. Arthaindo Jaya Abadi (PT AJA) di Desa Podi, Kabupaten Tojo Una-una, Sulteng, Senin(4/3/13). Mereka menuntut penghentian aktivitas pertambangan nikel yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah itu.
Massa sekitar seratusan orang. Ada anak-anak, perempuan, pemuda dan pemudi. Mereka berkumpul di Dusun Kayu Nyole pukul 9.26. Dusun Kayu Nyole perumahan relokasi ke dua warga Tojo korban banjir bandang Sungai Podi, tahun 2007.
Penolakan warga beralasan. Pertambangan PT AJA berpotensi menciptakan masalah besar bagi warga Desa Podi dan mengancam lalulintas trans Sulawesi yang menghubungkan Kabupaten Banggai-Pos- Kota Palu-Makassar. Dengan ada tambang ini, perusahaan menggusur hulu kampung yakni Sungai Podi yang diapit dua gunung hingga  mengakibatkan akses air sungai terbendung galian material galian tambang.
Pada Juni, Warga juga menutup jalan yang dibuat PT Weda Bay Nickel dan PT Tekindo, pada Senin (3/6/13), dari pukul 07.00-13.00. Mereka adalah warga Desa Woe Jarana, Woe Kobe dan Kulo Jaya, Kecamatan Weda Tengah, yang ingin memberikan pesan kepada perusahaan tambang agar tak mengganggu lahan adat mereka.
WBN memiliki konsesi tambang seluas 54.874 hektar, terbesar di Indonesia. Sekitar 35.155 hektar berada di hutan lindung!  Tak hanya konflik agraria, kerusakan lingkungan pun di depan mata.
Sejak awal masuk pada 1999, perusahaan sudah berkonflik dengan masyarakat adat Sawai dan Tobelo Dalam. Kini, perusahaan bersiap eksploitasi. Pabrik sudah dibangun. Masyarakat adat terancam tersingkir dari tanah leluhur mereka.
Ancaman sama dialami masyarakat adat di Kalimantan Tengah (Kalteng). Hutan adat terancam berubah menjadi kebun sawit PT Kalimantan Hamparan Sawit (KHS). Masyarakat adat Dayak di Desa Tumbang Mantuhei, Kecamatan Mahuning Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng pun memasang palang atau hinting pali, pada 25 Mei 2013.
Masyarakat adat Dayak tergabung dalam komunitas Badehen Eka Balindung khawatir hutan yang selama ini sebagai tempat hidup dan penyangga lingkungan, habis jadi kebun sawit.
Masyarakat Mantuhei saat ritual hinting pali, palang adat untuk melarang perusahaan membuka hutan di lahan warga. Foto: Save Our Borneo
Masih Juni, Mongabay, merekam bentrok warga dan brimob. Operasi tambang PT Indo Muro Kencana (PT IMK), di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng), berhenti sementara setelah bentrok antara berunak (warga penambang) dan brimob penjaga perusahaan pada Sabtu (29/6/13).
Pada Sabtu sore(29/6/13), ribuan massa yang dikenal sebagai berunak (pencari emas sisa penambangan pabrik) menyerang perusahaan tambang emas PT Indomuro Kencana (IMK) Strait di Desa Mangkahui Kecamatan Siang Selatan Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Empat anggota brimob luka bacok, dan  seorang warga tertembak.
Para brimob ini sehari-hari bertugas sebagai pengaman perusahaan tambang emas milik investor Australia ini. Dikutip dari JPNN Grup, ribuan berunak mengamuk lantaran mendengar kabar salah satu rekan mereka ditembak aparat. Mereka marah. Lalu berkumpul dan menyerang base camp kantor tambang  ini.
Tak hanya camp karyawan dibakar. Pabrik pengolahan emas beserta puluhan mobil operasional perusahaan Amdal keluar maupun perumahan karyawan juga dibakar.  Sempat beredar kabar enam brimob tewas, ternyata hanya luka-luka. Guna membantu Polisi, aparat TNI diterjunkan ke perusahaan penambangan emas ini. Situasi berangsur kondusif.
Pada Juli, sebanyak 27 organisasi masyarakat sipil yang konsern hak asasi manusia dan hak atas lingkungan, berbasis di Indonesia, Inggris dan Jerman, mengajukan surat permohonan 40 paragraf kepada Pemberantasan Diskriminasi dan Rasial (Convention on the Elimination of Racial Discrimination/CERD) di Jenewa, Kamis (25/7/13).
Mereka mendesak dan merekomendasikan kepada Komisi PBB ini untuk memperhatikan dan mempertimbangkan situasi Suku atau Orang Malind dan masyarakat adat lain, di Kabupaten Merauke, Papua, yang terancam karena kehadiran proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Masih Juli, konflik lahan yang sudah berkepanjangan antara warga Desa Pantap, Kecamatan Kuala Kuayan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng), dan PT Bumi Sawit Kencana (BSK),  memanas. Terjadi, bentrokan antara puluhan warga dengan Satpam perkebunan sawit milik anak usaha Wilmar Group ini, Selasa (23/7/13). Dalam kejadian itu, empat warga luka-luka, satu motor warga rusak, dua truk dan satu mobil perusahaan juga rusak. Dua pos penjagaan satpam pun dibakar warga.
Konflik terus terjadi. Memasuki Agustus, masyarakat adat di Kampung Bagaraga, Wardik, Tokas di Distrik Wayer dan Distrik Moswaren, Kabupaten Sorong Selatan, akan menggugat perusahaan HPH, PT Bangun Kayu Irian (BKI) atas perampasan hak ulayat mereka di Nawir dan sekitar. 
Mereka ini dari tujuh marga, yakni, Marga Saman, Yaru Homer, Homer, Tigori, Smur, Fna, dan Wato. Perusahaan ini beroperasi sesuai SK Menteri Kehutanan Nomor 01/KPTS-II/1993, tertanggal 4 Januari 1993 dengan areal konsesi seluas 299.000 hektar selama 20 tahun. 
Operasi tambang PT IMK di Pit Serujan, yang mengancam cagar budaya dan mencermari beberapa sungai. Foto: Perkumpulan Punan Arung Buana (PPAB) Kalteng
Pada September, sekitar 29 warga perwakilan empat desa di Kecamatan Mantangai, menginap di Kantor Bupati Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (12/9/13). Warga dari Desa Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang dan Pulau Kaladan ini protes karena tak kunjung mendapat kepastian tanah adat yang diklaim perusahaan sawit, PT Rezeki Alam Semesta Raya (RASR).
Padahal, sudah ada surat bupati dan gubernur yang memerintahkan pencabutan izin perusahaan skala besar dan yang belum clear and clean. Meski sudah beberapa kali rapat mediasi, belum ada kejelasan mengenai lahan warga  seluas 2.922 hektar.
Masih bulan sama, masyarakat Desa Sungai Bungur, Jambi, protes karena 225 hektar lahan yang harus diserahkan belum dilaksanakan perusahaan hingga kini. Parahnya, mereka harus membayar beban utang dari lahan yang ditahan perusahaan itu hingga miliaran rupiah!
Menyikapi ini, tepat dengan Hari Tani Nasional, Selasa (24/9/13), masyarakat di Desa Sungai BungurKecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi,  akan menduduki lahan mereka yang dikuasai perkebunan sawit,  PT. Puri Hijau Lestari (PHL), anak usaha Makin Group.
Pada bulan ini, di Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut), mencekam. Penolakan masyarakat atas kehadiran perusahaan tambang kembali memanas. Kini, warga mengawasi sejumlah titik untuk menghalangi rencana pembangunan dermaga yang diyakini sebagai sarana pelancar tambang.
Pada Kamis-Jumat (26-27/9/13), warga Desa Kahuku berusaha menghalangi alat bor yang diduga milik PT Mikgro Metal Perdana (MMP). Awalnya, terdengar kabar alat bor ini milik Dinas Pekerjaan Umum. Namun, tak ada sosialisasi dari dinas terkait menyebabkan kecurigaan warga.“Kalau benar alat bor itu milik Dinas PU, seharusnya ada pemberitahuan kepada masyarakat,” kata Merty Katulung, warga setempat, Jumat (27/9/13).
Aksi penghadangan dan pengusiran pun terjadi. Perahu yang mengangkut alat bor dilempari batu. Warga kesal suara mereka selama ini tidak pernah mendapat respon positif.
Aparat kepolisian pun berjaga ketat. Tak pelak, bentrok antara polisi dan warga nyaris terjadi. Merty mengatakan, polisi memaksa alat bor bisa masuk. Sedang warga beranggapan polisi seharusnya bertugas mengamankan keadaan, bukan berpihak pada perusahaan tambang.
Pada Oktober, ratusan petani di Desa Kebun Sei Merah, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara,  Jumat (4/10/13) terlibat kericuhan dengan aparat kepolisian dari Mapolres Deli Serdang. Para petani mempertahankan lahan yang sudah ditinggali keluarga mereka turun menurun yang kini  menjadi ‘milik’ PT London Sumatera (Lonsum). Polisi dibantu sejumlah pasukan TNI dan Satpol PP dari Deli Serdang pun menjaga kebun perusahaan dan berupaya mengusir petani.
Para petani mencoba bertahan di lahan seluas 360 hektar itu dan menghalangi aparat yang akan menghancurkan gubuk mereka. Aksi saling dorong, saling tarik, dan saling pukulpun sempat terjadi. Namun ratusan petani ini kalah kekuatan. Aksi saling dorong dengan petugas Satpol PP, akhirnya kandas, setelah kepolisian masuk dan membubarkan para petani secara paksa. Tiga petani yang mencoba melawan sambil membawa tombak dan cangkul, diamankan lalu dibawa ke Mapolres Deli Serdang.
Gubuk petani di lahan sengketa dengan PT Lonsum yang dirobohkan Satpol PP. Foto: Ayat S Karokaro
Memasuki November, konflik reklamasi Pantai Sario Tumpaan, di Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut), menghangat. Pada 19 Oktober 2013, beberapa nelayan terluka karena bentrok dengan sekuriti PT Kembang Utara. DPRD pun mengadakan dengar pendapat 4 November 2013 dan belum ada titik temu.
Marko Tampi, Sekretaris Komisi A DPRD Kota Manado, usai rapat dengar pendapat di Manado, Senin (4//11/13) mengatakan, batas-batas ruang terbuka pantai dalam dokumen mediasi sebenarnya sudah cukup jelas. Dalam pasal tiga, misal, dijelaskan bagian utara berbatasan dengan PT Kembang Utara, Selatan berbatasan dengan lahan 16 persen pemerintah Kota Manado, Barat berbetasan dengan Teluk Manado dan di Timur dengan Jalan Piere Tendean.
Pada November, di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng), terjadi penangkapan warga karena menolak sawit. Masyarakat di sana khawatir dampak lingkungan dan sosial. Tak pelak, hampir seluruh warga desa di Banggai, ramai-ramai menolak kehadiran perkebunan sawit.
Namun, penolakan petani dijawab intimidasi dari perusahaan, dan berujung penangkapan petani oleh kepolisian. Seperti menimpa dua petani di Desa Honbola, Kecamatan Batui, Yoktan Kinding dan Ham Kinding, kini ditahan Polres Banggai, setelah pemanggilan sebagai tersangka.
Penahanan kepada dua petani ini berdasarkan laporan karyawan PT Delta Subur Permai (DSP), anak usaha PT Kencana Agri. Dua warga ini dutuduh tindak pidana perusakan aset perusahaan.
Kejadian bermula, 16 November 2013, ketika masyarakat memblokir jalan dan mendatangi perusahaan. Sesampainya di kantor, petugas keamanan marah dan menakut-nakuti warga dengan parang. Aksi petugas keamanan memicu kemarahan massa Desa Honbola. Mereka langsung mengamuk mengakibatkan kaca alat berat eskapator pecah dan beberapa bagian kantor rusak.
Buntutnya 26 November 2013, Polres Banggai memanggil empat warga masing-masing; Salmon, Kiki, Nandito, dan Keng, sebagai tersangka dengan tuduhan sama. Dua hari setelah itu, 28 November 2013, Polres Banggai melayangkan surat panggilan kepada satu warga Desa Honbola sebagai tersangka.
Pada akhir tahun, konflik malah makin memanas. Awal Desember, bentrok warga Kecamatan Polongbangkeng Utara, dan Brimob, tak terelakkan pada Senin pagi (2/12/13). Akibatnya, seorang warga, Yunus Daeng Empo,  mendapat hadiah timah panas di paha kanan.
Kejadian ini dipicu rencana PTPN XIV mengelola lahan sengketa dan masih proses kasasi di Mahkamah Agung (MA). Mendengar rencana itu, puluhan warga mendatangi lokasi yang dijaga belasan Brimob dari Polda Sulsel. Situasi makin memanas ketika PTPN IX tak mengindahkan protes warga. Yunus Daeng Empo,  yang mencoba menghentikan aktivitas pengolahan lahan ditembak brimob.
Di Jambi, ratusan personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Brigade Mobil (Brimob) Polri mengawal penggusuran yang dilakukan PT Asiatic Persada, anak perusahaan dari Wilmar Group terhadap warga Suku Bathin Sembilan atau yang dikenal dengan Kelompok Suku Anak Dalam (SAD) 113 di Padang Salak, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, pada 7 Desember 2013 lalu.
Proses penggusuran dimulai sekitar pukul 16.00 WIB. Saat itu sebagian besar warga sedang beraktivitas di ladang. Namun, tiba-tiba datang 1.500-an pasukan gabungan menyerang dan merusak rumah petani menggunakan eskavator dan senjata tajam seperti parang.
Kasus pengusiran masyarakat adat yang tinggal di dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Suku Marga Semende, terjadi sampai hari ini. Setelah pembakaran rumah adat, empat warga adat di Kecamatan Nasal, Kabupaten Kaur, Bengkulu, pagi ini 23 Desember 2013, ditangkap polisi hutan. Merekapun dijerat UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Rumah warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi gabungan TNBBS, di Bengkuku, Senin (23/12/13). Foto: AMAN Bengkulu

Sumber Berita:mongabay.co.id

Menanti Janji KPK Tuntaskan Prahara Kehutanan Riau

31 December 2013


Pekanbaru, (Antarariau.com) - Tindak pidana korupsi di lingkup kehutanan Provinsi Riau dalam beberapa tahun terakhir seakan telah menggurita, dan mencoreng nama baik "Bumi Melayu".
         
Tidak tangung-tanggung, dalam tempo kurang dari tujuh tahun, KPK telah menyeret enam orang pejabat dalam kasus yang dikabarkan mendatangkan kerugian bagi negara hingga triliunan rupiah.
         
Dua di antaranya adalah mantan Bupati Siak, Arwin AS, dan Bupati Tengku Azmun Jaafar dari Kabupaten Pelalawan.
         
Tengku Azmun Jaafar, pada September 2008 telah divonis 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp12,367 miliar subsider empat tahun kurungan.
        
Menurut majelis hakim, perbuatan terdakwa telah merugikan negara senilai Rp1,208 triliun.
         
Ketika itu Azmun dianggap telah menyalahi aturan karena menerbitkan surat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) untuk 15 perusahaan diantaranya CV Alam Lestari, CV Mutiara Lestari, CV Bakti Praja, CV Tuah Negeri, dan CV Putri Lindung Bulan, dengan kayu yang dijual ke PT Perkasa Karya Sejahtera (PKS), anak perusahaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
          
Sementara Arwin AS pada 2011 juga telah dinyatakan bersalah dalam kasus yang sama. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman empat tahun penjara serta denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan. Dia pun diwajibkan membayar denda sebesar Rp850 juta dan 2.000 dolar AS.
         
Mantan Bupati Siak ini dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait penerbitan surat (IUPHHK-HT) kurun waktu April 2002-April 2005 kepada PT Bina Daya Bintara, PT Nasional Timber and Forest Product, PT Seraya Sumber Lestari (ketiganya mitra PT RAPP), PT Balai Kayang Mandiri, PT Rimba Mandau Lestari (Keduanya mitra PT Indah Kiat Pulp and Paper) dengan menyalahi ketentuan.
          
Kemudian juga ada tiga mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau yang juga dihukum atas perkara yang sama, yakni Burhanuddin Husin, Syuhada Tasman, dan Asral Rahman.
         
Terakhir, KPK mencoba menjerat mantan Gubernur Riau, HM Rusli Zainal yang sampai saat ini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Dalam dakwaan Jaksa disebukan bahwa kajahatan sang mantan penguasa ini telah merugikan negara Rp265 miliar.

          
Badai Korupsi
    
Badai korupsi di sektor kehutanan Riau juga disorot berbagai kalangan dari dalam dan luar negeri.
         
Semisal para aktivis "Greenpeace", memandang bahwa kerusakan hutan Riau telah memberi dampak negatif bagi lingkungan, salah satunya "global warming".
         
Isu mengenai fenomena pemanasan global (global warming) semakin mencuat akhir-akhir ini. Hampir semua negara yang ada di muka bumi ini menjadikan isu tersebut sebagai kepentingan bersama.
        
Semua negara merasakan bahwa dampak pemanasan global bisa menimpa siapa saja. Namun kini lebih mendetail seperti permasalahan kebijakan negara, penebangan hutan, polusi udara, dan hal-hal lain yang dianggap sebagai pemicu semakin panasnya suhu bumi yang berujung pada perubahan iklim (climate change).
       
Prof. Shalihuddin Djalal Tandjung, selaku Guru Besar Ekologi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada berpandangan, bahwa ada kekeliruan besar yang dimunculkan oleh isu pemanasan global yang menyalahkan proses penebangan hutan yang dilakukan oleh negara-negara sedang berkembang.
        
Menurut pandangan logika ilmiah, katanya, pemanasan global disebabkan oleh ketidakseimbangan atmosfer, akibat terlalu banyak kadar karbon dioksida (CO2).
        
Persoalannya kemudian adalah, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap banyaknya karbon dioksida di atmosfer?
   
Polutan terbesar di dunia menurut dia tentunya adalah negara maju dengan pabrik-pabrik industrinya, namun mengapa kesalahan justru banyak ditimpakan kepada negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia?
   
Ia mengatakan, ada tiga negara yang memiliki jumlah kawasan hutan yang lebih dari 75 persen, yakni Kongo di Benua Afrika, Brazil di Benua Amerika, dan Indonesia di Asia, di mana ketiga negara itu bukanlah negara industri.
 
Menurut dia, negara-negara industri maju telah sejak lama merusak hutan mereka dan mengabaikan keseimbangan atmosfer di kawasan teritorial yang menjadi tanggung jawab mereka.
         
Ketika negara-negara berkembang seperti Indonesia mencoba mendayagunakan hasil hutan untuk kegiatan perekonomian, negara industri maju justru berteriak-teriak dan menganggap negara sedang berkembang melakukan proses pemanasan global tanpa negara industri itu bercermin terhadap apa yang telah mereka lakukan terhadap hutan di wilayah kedaulatannya.

        
"Jadi pernyataan yang mengungkapkan bahwa global warming saat ini disebabkan oleh kerusakan hutan tropis (di negara berkembang) itu adalah bohong, malah mereka (negara industri) lebih dulu merusak hutannya," kata Djalal dalam surat elektronik yang tersebar di dunia maya.
         
Setidaknya, penjelasan tentang tuntutan aktivis lingkungan global (greenpeace) telah mendapat jawabab seimbang, pembelaan untuk sebuah negara yang kerap tersudutkan isu pemanasan global.

  
Kerusuhan Wewenang
   
Korupsi kehutanan Riau juga dianggap sebagai suatu kejahatan besar oleh para aktivis nasional. Hal itu karena telah mendatangkan potensi kerugian negara mencapai triliunan rupiah.
         
Danang Widoyoko selaku Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kajiannya di buku "Kejahatan Kehutanan di Bumi Lancang Kuning" yang diterbitkan oleh Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau menyatakan, bahwa laju kerusakan hutan alam di Riau setiap tahunnya kian parah.
        
Dari 9,2 juta hektare tutupan hutan alam pada 1982, kini hutan alam hanya tersisa 860 hektare. Sementara data Jikalahari menyebutkan, dalam kurun 28 tahun, ada sekitar 8,3 juta haktare hutan alam habis dibabat dengan tingkat laju deforestasi tertinggi nasional, yakni 169 ribu hektare pertahun.
        
Aktivis ini juga memprediksi di tahun 2015, hutan alam di Riau hanya tersisa enam persen saja bahkan nyaris gundul. Itu diperkuat dengan data Kementerian Kehutanan yang menyatakan, bahwa hingga 2006, sekitar 25 persen atau sekitar 2,4 juta haktera hutan alam Riau dalam kondisi yang kritis.
        
Kondisi tersebut menurut para aktivis dalam bukunya, diperparah dengan 'kerusuhan' wewenang yang dilakukan sejumlah oknum pejabat pemerintah. Semisal praktik korupsi sektor kehutanan, dikalkulasikan telah mendatangkan kerugian bagi negara hingga 1,2 triliun.
        
Kasus ini telah menyeret sejumlah oknum pejabat daerah, mulai dari tingkat bupati, kepala dinas hingga gubernur (masih dalam proses persidangan).
        
Namun, pihak terkait lainnya dari kalangan perusahaan yang selama ini menikmati hasilnya, justru masih terus beroperasi, tanpa sentuhan hukum.
        
Pihak KPK telah berjanji akan terus mengusut kasus itu hingga tuntas, dengan melibas siapa pun yang terlibat.
Fazar Muhardi

Selasa, 24 Desember 2013

Ahli Nyatakan Izin Kehutanan Pelalawan Cacat Hukum

24 December 2013

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Saksi ahli Suhariyanto mengatakan izin pemanfaatan hasil hutan di Kabupaten Pelalawan, Riau, merupakan cacat hukum karena bertentangan dengan peraturan yang ada.
       
"Izin tersebut menyalahi Kementerian Kehutanan No. 45 tahun 2004 pasal 4 ayat 3," kata Suhariyanto pada sidang di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, yang dipimpin hakim Bachtiar Sitompul, Selasa.
       
Suhariyanto dihadirkan jaksa Andi Suharlis dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi ahli dengan terdakwa mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal.
       
Menurut mantan Dirjen Bina Produksi Kementerian Kehutanan itu bahwa setelah 30 hari sejak permohonan Rencana Kerja Tahunan (RKT) diajukan perusahaan dan tidak disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi, maka akan sah dengan sendirinya.
       
Dia menyebutkan aturan tersebut sering dijadikan pembenaran bagi pejabat dalam pengesah RKT meskipun si pemohon melanggar aturan.
       
KPK menjerat Rusli Zainal pasal berlapis, yakni pasal 12 huruf a atau b atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
       
Kasus dugaan tindak pidana korupsi tersebut mengenai Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) periode 2001-2006.
       
Rusli juga dikenakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 tentang penyelenggara negara yang menyalahgunakan kewenangannya.
       
Dalam perhitungan jaksa KPK bahwa memperkirakan akibat penyalahgunaan kewenangan Rusli tersebut maka negara dirugikan mencapai Rp 265 miliar.
       
Keterangan Suhariyanto bahwa dirinya pernah terlibat dalam penyusunan dan penerbitan Keputusan Menteri Kehutanan No. 151 tahun 2003, jadi mengetahui soal SK tersebut.
       
Namun peraturan Menteri Kehutanan tersebut yang mengatur tentang RKT ini juga menyebutkan lahan yang diberi izin berupa lahan kosong, padang alang-alang dan semak belukar.
       
Padahal, katanya, jika tidak sesuai ketentuan yang berlaku, maka Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau dapat menolak mengesahkan RKT tersebut.
       
Jaksa KPK juga menghadirkan Dr. Wardoyo, sebagai ahli penginderaan jauh mengunakan citra satelit dan mengetahui apakah areal milik perusahaan dari kayu alam atau tanaman.
Adityawarman
COPYRIGHT © 2013

Sumber: antarariau.com

Senin, 23 Desember 2013

PT MAN Dukung Polisi Usut Bentrokan Berdarah

23 December 2013 16:39 WIB
Pekanbaru, (Antarariau.com) - Manajemen PT Merangkai Artha Nusantara (MAN) mendukung kepolisian untuk mengusut aktor intelektual dalam bentrokan berdarah antara petugas keamanan dengan massa di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, yang mengakibatkan jatuh tiga korban jiwa.

    "Kalau ini terlalu lama dibiarkan, kami tidak bisa bekerja dengan tenang karena pegawai juga akan terus merasa terancam," kata Komisaris PT MAN Kananda Saputra, di Pekanbaru, Senin.

    Bentrokan pecah pada Jumat lalu (20/12) di Desa Mahato Sakti setelah massa yang terdiri dari ratusan orang melakukan penyerangan ke barak dan petugas pengamanan (PAM Swakarsa) yang dipicu klaim kebun kelapa sawit seluas 300 hektare di daerah itu.

    Tiga anggota PAM Swakarsa perusahaan terkena tembakan, satu diantaranya tewas bernama Lukas Barus. Sedangkan, dua korban lainnya terluka yakni Indra dan Suwandi Ginting kini masih dirawat di RS Eka Hospital, Pekanbaru.

    Kananda mengatakan ada pihak yang ingin sengaja membuat kerusuhan dan menjadi provokator sehingga masyarakat setempat berani melakukan penyerangan. Menurut dia, masalah tersebut dipicu ada pihak yang ingin mendapatkan bagian lahan dari pola kerjasama kredit koperasi primer anggota (KKPA) antara warga dan PT MAN.

    Ia menjelaskan, ada 300 hektare lahan sawit dengan KKPA di Desa Mahato Sakti yang dikelola dengan bagi hasil sebesar 40 untuk perusahaan dan 60 untuk warga pemilik lahan yang resmi. Menurut dia, ada pihak yang tetap mengklaim memiliki lahan namun tidak punya surat-surat yang jelas.

    "Yang tidak punya surat inilah yang saya duga menjadi dalang kerusuhan," ujarnya.

    Humas PT MAN, Budi Kaban, mengatakan saat kejadian ratusan warga yang datang lebih banyak orang dari luar daerah tersebut. Mereka melakukan penyerangan dengan senapan rakitan, senjata tajam, batu, parang, tombak dan bom molotov.

    "Awalnya kami kira bunyi petasan, tapi ternyata korban Lukas langsung tersungkur karena kena tambak dan tidak bisa tertolong lagi," ujarnya.  

    Selain itu, ia membantah bahwa perusahaan menyewa preman-preman sebagai anggota PAM Swakarsa untuk meneror masyarakat setempat. Saat kejadian itu, ia mengatakan jumlah petugas yang hanya sebanyak 15 orang kalah jumlah dengan warga yang diperkirakan mencapai 300 orang.

    "Waktu pecah bentrokan, kami tidak melawan sama sekali dan kami malah mundur," ujarnya.

    Kuasa Hukum PT MAN, Suharmasnyah, mengatakan dari salah satu korban terluka yakni Indra, ditemukan proyektil peluru dari dadanya yang terkana tembak. Karena itu, ia meminta agar polisi mengusut tuntas kasus penyerangan tersebut dengan mengungkap dalang sesungguhnya dalam bentrokan tersebut.

    "Proyektilnya jelas ada, kalau polisi katakan itu peluru senapan angin, saya menyangsikannya dan tolong diteliti lagi," ujarnya.

    Sementara itu, Kapolres Rohul AKBP Onny Trimurti Nugroho sebelumnya mengatakan sudah ada delapan orang yang dijadikan tersangka sebagai imbas dari aksi penyerangan itu.

    "Delapan tersangka ini dari kelompok warga," katanya.

    Dalam kasus tersebut ia mengatakan polisi sudah memeriksa 27 orang saksi dari PAM Swakarsa perusahaan dan warga.
 

Konflik Dengan Masyarakat 5 Perusahaan di Inhu Jadi Incaran Komnas HAM

Kamis, 26 September 2013 17:30 WIB
Penulis: Jefri RENGAT, Sepertinya konflik antara perusahaan dengan masyarakat disekitarnya di Provinsi Riau tidak ada habisnya, seperti halnya di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), sedikitnya ada lima perusahaan yang saat ini sedang mengalami konflik dengan masyarakat di sekitar perusahaan tersebut, baik itu konflik karena penyerobotan lahan, tuntutan pola KKPA atau Plasma ataupun terkait persoalan CSR. Akibat konflik yang berkepanjangan tersebut, mengundang perhatian banyak pihak, seperti halnya Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) RI.

Saat ini Komnas HAM RI sedang melirik atau mengincar lima perusahaan perkebunan di Kabupaten Inhu yang terlibat konflik sosial dengan masyarakat, terutama konflik sengketa lahan. Ketua LSM MPR Ber-Nas Hatta Munir kepada wartawan mengatakan, terkait beberapa konflik antara masyarakat dengan pihak perusahan, terutama akibat lahan, rencananya tim Komnas HAM akan turun ke kabupaten Inhu pada tanggal 7 Oktober mendatang, ujarnya. “berdasarkan hasil konfirmasi tindak lanjut laporan LSM MPR Ber-Nas Inhu tentang konflik lahan antara perusahaan perkebunan dan masyarakat desa di Inhu, tim Komnas HAM RI akan turun ke Inhu untuk mengecek lansung laporan yang kita masukan tersebut", sebut Hatta Munir Kamis (26/9/2013).

Dikatakanhya, Lima perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat tersebut yaitu, PT Palma Satu (Group PT.Duta Palma Nusantara) dengan warga Desa Pancur, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir. Konflik tersebut disebabkan adanya sengketa batas wilayah antara Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir. Selanjutnya, PT Panca Agro Lestari (Group PT.Duta Palma Nusantara) dengan masyarakat Desa Danau Rambai, Kecamatan Batang Gansal, PT.Regunas Agri Utama (Group PT.Asian Agri) dengan masyarakat 5 Desa di Kecamatan Kelayang dan Kecamatan Rakit Kulim. PT Tunggal Perkasa Plantations (PT Astra Agro Lestari Tbk) dengan masyarakat Kecamatan Pasir Penyu, Kecamatan Sungai Lala dan Kecamatan Lirik. PT.Sawit Bertuah Lestari (SBL) dengan masyarakat Desa Pulau Gelang, Kecamatan Kuala Cenaku dan masyarakat Desa Sungai Raya, Kecamatan Rengat, bebernya.

Dijelaskan mantan Anggota DPRD Inhu itu, sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan ini beberapa waktu lalu telah menelan dua korban jiwa, seperti peristiwa pembunuhan dua orang pekerja PT Palma Satu Andi Tattak dan Andi Rusli yang terjadi Sabtu (6/4/2013) lalu dan satu orang warga desa Pancur Zakaria (40). Maka dari itu, saat ini Komnas HAM sedang melirik prersoalan tersebut, karena kasus tersebut diduga dipicu oleh Peraturan Gubernur Riau nomor 28 tahun 2005, dan penerbitan izin lokasi PT Palma Satu oleh Pemkab Indragiri Hulu (Inhu) tahun 2010, serta penerbitan Surat Keterangan Kepemilikan Lahan oleh Pemerintah Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) mulai tahun 2011 hingga tahun 2012 kemaren. Selain itu, kasus sengketa lahan antara masyarakat lima desa di Kecamatan Kelayang dan Kecamatan Rakit Kulim dengan PT Rigunas Agri Utama (Asian Agri) juga menjadi perhatian Komnas HAM RI. Dalam kasus ini, PT Rigunas Agri Utama tidak merealisasikan tuntutan warga atas lahan plasma dalam program Trans PIR seluas 1402 hektar. Sengketa lahan ini terjadi sejak tahun 1996 dan hingga saat ini belum diselesaikan Pemkab Inhu.

Tidak hanya itu, PT. Tunggal Perkasa Plantations juga dilaporkan oleh LSM MPR Ber-Nas, sebab tuntutan masyarakat terhadap lahan atau areal kebun exs hak Guna Usaha (HGU) ke PT. TPP terhadap lahan plasma sebanyak 20 persen dari luasan HGU perusahaan tersebut belum kunjung terealisasi. Serta kasus sengketa lahan antara warga desa Danau Rambai, Kecamatan Batang Gansal dengan PT Panca Agro Lestari dan sengeketa lahan antara warga desa Sungai Raya dengan desa Pulau Gelang yang diakibatkan keberadaan PT Sawit Bertuah Lestari, pungkas Hatta tegas. (Jef). -

 Sumber:goriau.com

Minggu, 22 Desember 2013

1,5 Juta Hektar Hutan Riau Dikelola Ilegal

19 December 2013
Pekanbaru, (Antarariau.com) - Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf mengungkapkan ada sekitar 1,5 juta hektare (ha) kawasan hutan di daerah itu dikelola secara ilegal untuk usaha perkebunan dan pertambangan.

        "Ada 1,5 juta hektare kawasan hutan dikelola secara ilegal tanpa ada pelepasan kawasan hutan dan izin pinjam pakai lebih dahulu," kata Zulkifli Yusuf pada Seminar "Menuju Nol Deforestasi" yang diselenggarakan Greenpeace di Pekanbaru, Kamis.

        Ia mengatakan, masalah tersebut muncul karena adanya regulasi yang tumpang tindih dan saling bertentangan, baik internal Kementerian Kehutanan maupun dengan kementerian lain terutama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

        Ia mengatakan cukup banyak perkebunan kelapa sawit hingga pertambangan yang menggunakan Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan dan Izin Usaha Pertambangan yang diterbitkan bupati/wali kota untuk melakukan kegiatan operasional di lapangan. Sebelum adanya pelepasan kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut, berpotensi masuk dalam kategori penggunaan penggunaan kawasan hutan tidak prosedural.

        "Salah satu contoh nyatanya ada di Kabupaten Kuantan Singingi yang akibatnya banyak tumbuh subur tambang emas tanpa izin atau Peti," katanya.

        Menurut dia, Pemprov Riau melalui Dinas Kehutanan Riau telah melaksanakan inventarisasi dan identifikasi penggunaan kawasan hutan kawasan hutan tidak prosedural untuk kegiatan perkebunan, pertambangan dan lainnya dalam kawasan hutan.

        Hasilnya telah disampaikan oleh Gubernur Riau dalam acara ekpose Bupati/Walikota Provinsi Riau tanggal 17 November 2011 di Pekanbaru di hadapan Tim Gabungan Kejaksaan Agung, Bareskrim Mabes Polri, KPK, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Kemenhut dan Kementerian LH.

        Ia mengatakan, pihaknya juga sudah mendorong penegakan hukum oleh aparat hukum baik di tingkat pusat, provinsi maupun tingkat kabupaten/kota bagi pelaku tindak pidana kehutanan di Provinsi Riau bagi setiap pelanggaran hukum di kawasan hutan.

        "Saya sendiri sudah melayangkan surat teguran, tapi tidak digubris malah balik mengatakan Anda siapa, saya Bupati disini," kata Zulkifli menirukan tanggapan salah satu bupati.

        Menuru Zulkifli, perlu ada sinkronisasi regulasi antar Kementerian terkait terhadap peraturan perundang-undangan dan turunannya yang menyangkut penggunaan dan pemanfaatan lahan, guna menghindari tumpang tindih dan saling bertentangan regulasi antar Kementerian.

        "Pemerintah Provinsi Riau sendiri sejak 2007 telah memoratorium izin penebangan hutan alam dan rekomendasi izin baru terhadap permohonan izin untuk hutan tanaman industri kecuali untuk restorasi ekosistem, jauh sebelum terbitnya Instruksi Presiden RI Nomor 10 Tahun 2011 jo Nomor 6 tahun 2013 tentang tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut," ujarnya.

        Ia mengatakan, izin pinjam pakai kawasan hutan di Riau hingga kini hanya mencapai 423.260 ha. Penggunaannya paling banyak untuk sekitar 90 persen untuk sektor minyak dan gas bumi.

   
FB Rian Anggoro
COPYRIGHT © 2013

Sumber:antarariau.com

Mahato Sakti Berdarah 2013 Polres Rohul Tetapkan Puluhan Tersangka

Minggu, 22/12/2013 - 18:33:45 WIB
Tersangka pelaku pembunuhan pamswakarsa PT MAN




BERITA RIAU (ROKAN HULU),situsriau.com.Pasca Mahato Sakti Berdara antara ratusan masyarakat Desa Mahato Sakti dengan Pam Swakarsa PT MAN, Ahad, (22/12), Polres Rohul telah menetapkan 28 orang tersangka. Delapan tersangka menyebkan tewasnya satu orang Pam Swakarsa dan pengrusakan serta pembakaran Barak, kendaraan roda dua dan kenderaan bermotor, kini telah meringkuk di sel Mapoles Rohul

Kapolres Rokan Hulu AKBP H Onny Trimurti Nugroho SE SIK MH melalui Kasat Reskrim Polres Rohul AKP S Tanjung, (22/12), terkait kasus bentrok fisik Warga Mahato Sakti dengan Pam Swakarsa PT MAN, tersangka telah ditahan, satu orang di antaranya Kepala Desa Mahato Sakti berinisial MA, tujuh orang di antaranya warga Desa Mahato Sakti berinisial SU, TR, SO, ST, SW, SS, SD.

Pengembangan kasus, dilakukan penyidik Polres Rohul, menurutnya, berdasarkan keterangan sejumlah saksi dan para tersangka kini diamankan di Mapolres Rohul, masih ada sekitar 20 lagi tersangka baru telah di identifikasi. Namun puluhan tersangka tersebut tidak berada ditempat.

"Kita masih melakukan pengejaran terhadap 20 orang lebih tersangka baru dalam kasus bentrok fisik di Mahato Sakti.Karena dari pengakuan 8 tersangka itu, mereka tidak ingin sendiri saja ditahan, harus ikut tersangka lainnya," Kata S. Tanjung.

Terjadinya bentrok fisik antara masyarakat Desa Mahato Sakti dengan Pam Swakarsa PT MAN, diduga diprovokasi tersangka MA sesuai dengan keterangan dari para saksi, berharap 20 orang tersangka lainnya  kini kabur agar bertanggungjawab atas perbuataannya dengan menyerahkan diri kepihak kepolisian.

"Kita sudah ingatkan perusahaan kepada seluruh karyawannya, agar kasus ini diserahkan kepada pihak hukum, memang dalam kasus ini, jadi korban adalah karyawan (Pam swakarsa PT MAN)," jelasnya.

Tanjung mengaku telah berkoordinasi dengan Kapolres Rohul, paska penangkanpan Kades Mahato Sakti, melakukan pembinaan terhadap masyarakat Mahato Sakti, bersama Kapolsek, Camat dan Danramel Tambusai Utara, agar tidak menimbulkan keresahaan ditengah masyarakat.

"Kita tetap proses secara hukum dan mengejar tersangka lainnya.paska penangkapan Kades Mahato Sakti, kita lakukan upaya preventif kepada masyarakat.Penyidik berharap puluhan tersangka lainnya yang kabur, agar menyerahkan diri, karena identitas sudah teridenfikasi," tuturnya.

Tambah Kasat Reskrim untuk bantuan pengamanan dan terciptanya situasi aman dan kondusif antara kedua belah pihak di Desa Mahato Sakti, saat ini 1 pleton Anggota Brimob Polda Riau standby di Polsek Tambusai Utara.

Ditanya sampai kapan Anggota Brimob Polda Riau bertahan di apolsek Tambusai Utara, ia menjelaskan, saat ini standby untuk back-up pengamanan di Polsek Tambusai Utara. "Pengamanan dari Anggota Brimob Polda Ria dilihat dari kebutuhan, tidak bisa ditentukan sampai kapan mereka Pam di Mapolsek. Perannya memback-up keamananan kedua belah pihak, agar tidak ada terjadi lagi kasus yang sama," jelsnya


Roda Pemerintahan Desa Tetap Jalan

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPBD) Rohul Drs Budhia Kasino yang dikonfirmasi mengaku, belum mendapatkan informasi penahanan Kades Mahato Sakti berinisial MA, diduga terlibat dalam kasus bentrok fisik antara masyarakat Mahato Sakti dengan Pam Swakarsa PT MAN.

"Kita tidak menghambat proses hukum, namun untuk penahanan seorang Kades, seharusnya ada peberitahuan pihak kepolisiain kepada Pemkab Rohul, sehingga pemerintah daerah bisa bersikap.Selama ini komunikasi kita bagus dengan Polres Rohul, tapi saya beum tau, apakah Kapolres sudah koordinasi dengan Pak Bupati, saya belum dapatkan  informasi," tutur Budi.

Meski Kades telah ditahan, Budia Kasino mengaku roda pemerintahan desa Mahato Sakti tetap berjalan sebagaimana biasanya.Karena belum mempunyai keputusan hukum tetap, maka untuk sementara tidak ada penunjukan Plt Kades. Untuk tetap jalannya roda pemerintahan Desa Mahato Sakti, nanti akan dilaksanakan Sekdes, berharap pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu, tetap berjalan seperti biasa, paska ditahannya Kades Mahato Sakti.


 
DPRD Rohul Minta Pemda Bijak dan Tegas


Terkait bentrok berdarah di Desa Mahato Sakti, Annggota DPRD Rohul dari Partai PPP Drs. Sudirman meminta Pemda Rohul bijak dan tegas, terkait peristiwa itu,  supaya tidak terjadi peristiwa serupa, apalagi perusahaan-perusahan tidak memiliki izin itu harus ditindak tegas.

"Ini kita heran, jika masyarakat mencari kayu untuk sesuap nasi, malah ditangkapi, kalau perusahaan membuka lahan-lahan ber hektar-hektar tanpa izin dibiarkan begitu saja," kata Sudirman.

Jadi ketidakajelasan pengeoperasian perusahaan di Rohul akan memicu konflik berkelanjutan, Kata Sudirman, semua elemen terkait harus secepat melakukan tindakan termasuk intansi terkait, supaya tidak ada lagi korban-korban berikutnya apalagi sempat menghilangkan nyawa masyarakat.    

Terang Sudirman, untuk korban baik itu meninggal dunia dan luka serius, pihak perusahaan harus bertanggung jawab, khususnya anak dan istri dari korban meninggal dunia harus ada jaminan dari perusahaan, begitu juga dengan korban luka serius, perusahaan harus memenuhi semua biaya perobatannya.

"Perusahaan jangan lepas tangan terkait kejadian ini, perusahan harus bertangung jawab, jika ada kesepakatan atau MoU tanah masyarakat harus dikonversi, maka Pemda Rohul harus secepatnya memfasilitasi itu, begitu dengan pihak perusahaan harus melaksanakan kesepakatan tersebut," tegas Sudirman. (pal)

Sumber:
situsriau.com
 

Konflik Agraria 2013 Meningkat, 21 Warga Tewas, 30 Tertembak



Oleh Indra Nugraha, Jakarta,  December 22, 2013



Salah satu rumah warga Suku Anak Dalam yang rata dengan tanah. Mereka berkonflik dengan PT Asiatic Persada. Foto: Feri Irawan

Laporan akhir tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperlihatkan dalam dua periode kepemimpinan SBY, konflik agraria cenderung mengalami peningkatan.  Bahkan, tahun ini KPA mencatat korban jiwa naik drastis, sampai 522%. Tahun 2012, warga tewas tiga orang, tahun ini menjadi 21 orang.  Korban lain,  30 orang tertembak, 130 mengalami penganiayaan dan 239 warga ditahan.
Sedang pelaku kekerasan dalam konflik agraria sepanjang 2013 didominasi kepolisian sebanyak 47 kasus, keamanan perusahaan 29 kasus dan TNI sembilan kasus.  “Selama kepemimpinan SBY ada ketimpangan struktural makin luas. Jumlah petani menurun. Bukan berarti ekonomi meningkat tetapi kepemilikan petani atas lahan menurun. Kontrol pengelolaan sumber daya alam hilang. Pengusaha makin masif mengeksploitasi SDA,” kata Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal KPA, saat konferensi pers di Cikini Jakarta, Kamis (19/12/13).
Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 (8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.
Iwan mengatakan,  konflik terbesar di sektor perkebunan tetapi luasan wilayah terbesar sektor kehutanan. “Ini karena seluruh kawasan perkebunan hasil konversi hutan. Jadi asal muasal konflik ada di sektor kehutanan.”
Sektor kehutanan, area konflik agraria terluas sekitar 545.258 hektar disusul perkebunan 527.939,27 hektar dan pertambangan 197.365,90 hektar. Dibandingkan 2012, ada peningkatan areal konflik 318.248,89 atau naik 33,03 persen. Dari sisi jumlah kasus naik 198 atau 86,36 persen. “Kebijakan SBY tahun 2013 cenderung pro investasi besar.”
Rekaman Konflik Agraria 2013, per sektor. Grafis: Konsorsium Pembaruan Agraria
Rekaman Konflik Agraria 2013, per sektor. Grafis: Konsorsium Pembaruan Agraria
Pandangan KPA, pemerintah tak ada itikad baik mempercepat implementasi putusan MK Nomor 35. Proses pengukuhan kawasan hutan sangat lambat menyebabkan konflik makin marak.
Selama lima tahun terakhir (2009-2013) terjadi peningkatan konflik sebanyak 314% atau tiga kali lipat jika dibandingkan 2009.  Areal konflik meningkat drastis mencapai 861% dan keluarga terlibat konflik naik tajam sebesar 1.744%. “Jika menganalisa kebijakan agraria sepanjang kekuasaan SBY hal ini bisa dipahami. Prioritas dia tidak untuk rakyat tetapi pengusaha skala besar.”
Sepuluh besar provinsi dengan konflik terbesar diantaranya Sumatera utara (10,84%), Jawa Timur (10,57%), Jawa Barat (8,94%), Riau (8,67%), Sumatera Selatan (26 kasus), Jambi (5,96%), DKI Jakarta (5,69%), Jawa Tengah (4,61%), Sulawesi Tengah (3,52%), dan Lampung (2,98%).
“Sepanjang tahun 2013 konflik didominasi sektor perkebunan. Ini menunjukan konflik agraria terjadi akibat kebijakan agraria masa kolonial  hingga orde baru sebagian besar menjadi PTPN belum terselesaikan. Masih menyisakan bara panas, seperti Sumatera Utara dan Jawa.”
Konflik juga terjadi di kawasan ekspansi perkebunan sawit seperti di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah hingga Lampung. Keadaan ini memperlihatkan, ekspansi perkebunan, pertambangan skala besar bersamaan dengan perampasan tanah yang dikelola masyarakat.
Menurut dia, konflik makin tajam saat memasuki tahun politik, pada 2014. KPA menilai, secara garis besar komitmen partai politik terhadap usaha pengembalian hak dan kedaulatan rakyat atas tanah sangat minim.
Iwan mengatakan,  mesti dilakukan dalam tiga bulan ke depan adalah mengumumkan caleg-caleg tak layak. Lalu, memetakan daerah dan daerah pemilihan yang berpotensi perampasan tanah. “Supaya masyarakat bisa tahu dan tak salah memilih caleg yang tidak memperjuangkan hak masyarakat.”
Grafis: Konsorsium Pembaruan Agraria
Grafis: Konsorsium Pembaruan Agraria
Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan,  laporan KPA makin mempertegas posisi SBY bukan membawa rakyat Indonesia menuju kesejahteraan.
Menurut dia, banyak kebijakan-kebijakan pemerintah baik dalam konteks perundang-undangan, maupun turunan-turunannya seperti perpres, permen dan lain-lain tak mengakomodir hak-hak nelayan.  Bahkan,  secara gamblang justru memperlihatkan sikap pro pengusaha asing. “Ada banyak  kasus berimplikasi pada kehidupan nelayan. Baik di pesisir mau pun pulau-pulau kecil. DPR baru mengesahkan revisi UU nomor 27 tahun  2007 justru merugikan nelayan.”  Seharusnya, jika Presiden mempunyai kepedulian kepada nelayan, putusan Mahkamah Konstitusi Juli 2011 menjadi rujukan revisi UU itu.
Selamet juga menyebut proyek PLTU Batang, bagian MP3EI yang merugikan masyarakat nelayan.“Proyek itu akan mengusir sekitar 2.000 nelayan.  Mereka hanya mengandalkan Batang sebagai kawasan paling produktif menangkap ikan. Karena di beberapa tempat seperti Indramayu dan Situbondo sudah ada PLTU,”  ucap Selamet.
Laut di sepanjang Pantai Utara sudah rusak karena dibangun beberapa PLTU. Satu-satunya, yang tersisa  di Batang.  “Nelayan dari Banten sampai Banyuwangi  mencari ikan ke Batang. Jika ini dibiarkan terjadi dan PLTU dibangun, satu-satunya tempat mencari ikan akan hilang.” Ke depan, katanya, kehidupan nelayan akan makin sulit. Saat ini, rakyat miskin nelayan mencapai 7,8 juta jiwa.
Ahmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch mengatakan, kebijakan negara jika ditelisik, cenderung mengakomodir kepentingan pengusaha. Dalam Permenag no 98 tahun 2013, pemerintah mencoba membatasi lahan dan mengatakan maksimal penguasaan lahan itu 100 ribu hektar, namun ada pengecualian bagi perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas atau go public.
Aturan ini dinilai aneh karena semua perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, berbentuk perseoran terbatas. “Jadi sebenarnya tidak ada yang dibatasi dengan peraturan itu.” Begitu juga dalam Permentan. Perusahaan wajib melibatkan masyarakat mengelola kawasan minimal 20 persen dari luas konsesi. Saat orde baru, justru masyarakat punya konsesi 60%, pengusaha hanya 40%.
Tak jauh beda diungkapkan Hendrik Siegar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Menurut dia, data konflik pertambangan KPA jauh lebih besar dari Jatam. “Konflik makin meningkat karena ini terus dibiarkan pemerintah. Ini bisa jadi alasan mempermudah perampasan tanah milik masyarakat. Daripada negosiasi dan jual beli dengan masyarakt, pemerintah memilih membiarkan konflik lahan terus terjadi.”
Dia memperkirakan, konflik pertanahan makin meningkat seiring proyek-proyek MP3EI, terlebih tahun depan segera memasuki tahun politik. “Pejabat mengumpulkan uang untuk kampanye. Salah satu cara dengan menjual izin pemanfaatan lahan. Sedang skenario penyelesaian konflik tak ada.”
Luas areal konflik menurut sektor tahun 2013. Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria
Luas areal konflik menurut sektor tahun 2013. Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria
Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria
Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria
Sumber: KPA
Sumber: KPA

Rabu, 18 Desember 2013

Satu Peta untuk Lahan Gambut

Created on Monday, 02 December 2013
Kebijakan one map memiliki andil yang besar dalam mendukung pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Semua kementerian dan lembaga diharapkan menggunakan satu peta lahan gambut ini yang sama.
Luas lahan gambut Indonesia mencapai sekitar 20 juta hektare. Terluas keempat di dunia setelah Kanada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Namun sayangnya, lahan gambut yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua tersebut belum memiliki satu peta yang terintegrasi dan digunakan secara bersama antar institusi. Padahal, inventarisasi dan pemetaan lahan gambut di Indonesia telah banyak dilakukan oleh berbagai institusi nasional maupun lokal, bahkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 

Jika melihat potensi tersebut, koordinasi dan sinergi antar institusi penghasil informasi geospasial untuk memutakhirkan dan membakukan hasil inventarisasi serta pemetaan lahan gambut tropis nasional sangatlah penting dilakukan. Terutama untuk mengkaji lahan gambut tropis ke dalam satu peta lahan gambut.

Kebijakan one map memiliki peran yang besar dalam mendukung pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. “Diharapkan, semua kementerian/lembaga dapat menggunakan satu peta yang sama, sehingga kelak hanya ada satu peta lahan gambut yang disetujui dan digunakan bersama,” kata Kepala BIG, Asep Karsidi ditemui Majalah Sains Indonesia, di sela-sela workshop Internasional Informasi Geospasial Tematik Lahan Gambut Tropis untuk Pertanian di Bogor, baru-baru ini.
BIG bahkan telah membuat peta lahan gambut skala 1:250.000 untuk semua provinsi. Untuk mendorong kebijakan satu peta dan mengoptimalisasi pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, BIG juga telah menyiapkan peta dasar berskala 1:50.000.  “Target kita pada tahun 2014 adalah menyelesaikan peta lahan gambut 1:50.000,” kata Asep.

Peta skala 1:50.000, kata Asep, ditargetkan untuk wilayah Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua Barat. Pembuat-an peta dengan skala yang lebih rinci ini untuk menjawab tantangan pemantauan gambut yang berada di dalam tanah atau pun hutan lebat yang sulit dijangkau tanpa pemetaan rinci.

Terkait perubahan iklim global, Asep menilai lahan gambut dipercaya memiliki kontribusi signifikan dalam emisi gas rumah kaca. Komitmen yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun ditetapkan bahwa Indonesia akan menurunkan emisi karbon 26% hingga tahun 2020.
Artikel selengkapnya bisa anda baca di Majalah SAINS Indonesia Edisi 24

Kamis, 05 Desember 2013

Rusli Zainal Penyebab Hutan Riau Gundul

04 December 2013
Pekanbaru, 4/12 (antarariau.com) - Fakta persidangan dengan saksi Tengku Zuhelmi di Pengadilan Tipikor Pekanbaru menyatakan terdakwa mantan Gubernur Riau Rusli Zainal dituduh telah menyebabkan 50 ribu hektare hutan alam di Pelalawan gundul.
         
Dalam sidang lanjutan yang dipimpin oleh majelis hakim Bachtiar Sitompul, Rabu siang, Zuhelmi yang merupakan mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan (2002-2004) mengatakan sepanjang dua tahun itu dirinya telah merekomendasikan delapan perusahaan untuk mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT).
         
Delapan perusahaan yang dimaksud adalah CV Putri Lindung Bulan, CV Bhakti Praja Mulya, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Selaras Abadi Utama, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Hutani Jaya, dan PT Satria Perkasa Agung.
        
"Tolok ukur rekomendari tersebut adalah hasil survei di lapangan terkait kawasan lahan hutan yang dimohonkan," kata Zuhelmi dihadapan majelis hakim.
         
Saksi menjelaskan, bahwa rekomendari yang diberikan ketika itu untuk CV Putri Lindung Bulan adalah sebanyak 2.500 hektare, CV Bhakti Praja Mulya (5.800 hektare), PT Rimba Mutiara Permai (9.000 hektare), PT Mitra Tani Nusa Sejati (7.300 hekare), PT Selaras Abadi Utama (13.600 hektare), PT Merbau Pelalawan Lestari (5.900 hektare), serta PT Mitra Hutani Jaya (10.000 hektare) dan PT Satria Perkasa Agung (masih dalam kalkulasi yang belum tuntas).
         
Menurut Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), itu juga sesuai dengan keterangan saksi di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Nomor 26.
        
Dengan demikian, jaksa mengkalkulasikan bahwa kerusakan hutan akibat rekomendasi atau izin pemanfaatan itu adalah lebih dari 50 ribu hektare.
         
Saksi mengakui, rekomendasi yang diberikannya itu adalah hal yang salah mengingat rata-rata kawasan merupakan hutan alam yang memiliki potensi kayu diluar batas maksimal seperti yang tertera dalam Pertauran Menteri Kehutanan.
         
"Tetapi waktu itu, saya memang diperintahkan oleh bupati (yang ketika itu adalah tengku Azmun Jaafar) untuk tetap memberikan rekomendasi. Alasannya adalah agar kawasan yang sebagian besar bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tidak dialihfungikan menjadi kawasan perkebunan," katanya.
        
Saat itu, demikian saksi, bupati memerintahkan pemberian rekomendasi juga agar lahan dijadikan sebagai kawasan Hutan Tanam Industri (HTI).
         
Kemudian, kata Zuhelmi, baru pada tahun 2004 Gubernur Riau (waktu itu) Rusli Zainal mengesahkan Bagan Kerja Usaha (BKU)  dan menandatangani Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang didalamnya telah masuk delapan perusahaan itu.
        
Menurut jaksa, hal itu yang kemudian disangkakan bahwa Rusli Zainal telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, tanggal 8 Juni 2002.
        
Kemudian Rusli juga disangkakan telah melanggar dua Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6652/Kpts-II/2002 dan Nomor 151/Kpts-II/2003 yang menyebutkan kewenangan pengesahan dan penerbitan RKT merupakan kewenangan Menteri Kehutanan.
        
Hasil pendalaman terkait kasus tersebut, bahwa ternyata kayu-kayu hasil hutan alam itu dijual oleh delapan perusahaan ke PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) selaku industri pengelola kertas dan bubur kertas di Riau.
        
KPK sebelumnya juga telah "mencium" adanya modus pencucian uang terkait kasus tersebut yang melibatkan langsung PT RAPP.
         
Hal itu diperkuat dengan sejumlah fakta persidangan yang menyebut bahwa kebanyakan perusahaan penerima IUPHHK-HT adalah milik para pejabat daerah.
Fazar Muhardi
COPYRIGHT © 2013

Sumber:antarariau.com

Perusahaan RPI Rugikan Masyarakat Kelayang

04 December 2013

Rengat, 4/12 (antarariau.com) - Perusahaan Rimba Pranap Indah (RPI) yang bergerak dibidang perkebunan sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau terkesan tidak peduli dan mengabaikan keluhan warga Selanjut Kelayang.
       
"Janji hanya tinggal janji, masyarakat hanya penonton tetap berada dipihak yang dirugikan," kata Jafrizal salah satu Anggota DPRD Kabupaten Indragiri Hulu dari Partai Golkar di Rengat, Rabu.
       
Ia mengatakan, seharusnya setiap perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan sawit yang beroperasi di wiliayah Inhu sebaiknya bukan saja taat hukum, akan tetapi juga peduli dengan masyarakat sehingga tujuan investasi itu jelas.
       
Apalagi lahan areal milik perusahaan RPI itu berada di perbatasan Inhu dan pelalawan, jika perusahaan ini tetap tidak peduli dengan warga tempatan maka diperkirakan akan terjadi polemik yang berkepanjangan, karena masyarakat Indragiri Hulu sudah muali berani dan siap untuk melakukan reaksi.
       
"Namun demikian semua pihak terkait hendaknya tetap konsisten untuk membela nasib warga," tegas Jafrizal yang juga sebagai tokoh masyarakat kelayang ini.
       
Menurut Jarfizal, semua berharap investor bermunculan di daerah Indragiri Hulu untuk melakukan investasi secara besar- besaran, akan tetapi semuanya harus melalui prosedur yang benar, perusahaan mesti taat hukum sehingga tidak ada yang dirugikan.
       
Bupati Indragiri Hulu H Yopi Arianto dalam setiap kesempata selalu meminta agar semua perusahaan yang berinvestasi akan diberikan kemudahan oleh pemerintah daerah sesuai dengan tujuan dibentuknya pelayanan One Top Service atau disebut dengan istilah pelayanan satu atap.
       
Akan tetapi jangan sampai perusahaan merugiakan banyak pihak terutama masyarakat tempatan, sehingga tujuan untuk mensejahterakan masyarakat dapat terealisasi dengan baik. baru- baru ini,  Selain itu  juga terkait mengenai tak kunjung tuntasnya persoalan RPI dengan warga Desa Simpang Koto Medan Kecamatan Kelayang. Tak jauh berbeda dengan warga desa Sei Pasir putih, akar persoalan tersebut juga terkait ingkar janjinya perusahaan soal realisasi kebun sawit.
0
COPYRIGHT © 2013
Sumber:antarariau.com

Polda Riau Sita empat Ton Kayu Ilegal

05 December 2013
Pekanbaru,  (Antarariau.com) - Kepolisian Daerah Riau menyita lebih dari 4 ton kayu olahan yang diduga ilegal yang diangkut sebuah truk berbadan besar saat melintas di sekitar Kecamatan Bangko Pusako, Rokan Hilir.


"Dalam penangkapan itu, anggota juga berhasil mengamankan sopir truk, yakni Srm. Dia diketahui sebagai warga Dusun Aekbatu, Kecamatan Torgamba, Sumatera Utara," kata Kapolres Rokan Hilir AKBP Tonny Hermawan lewat pesan elektronik kepada Antara di Pekanbaru, Kamis.


Penangkapan itu, menurut dia, dilakukan pada Selasa (3/12) malam setelah anggota di lokasi kejadian mencurigai satu unit truk bernomol polisi BM 9080 YF.


Waktu itu, demikian Tonny, anggota melihat truk tersebut begitu lambat jalannya akibat kepadatan barang yang diangkut.


"Ternyata setelah dicek isinya kayu olahan. Ketika dimintai untuk menunjukkan dokumen kepemilikan, sopirnya tidak bisa menunjukkannya sehingga patut diduga kayu-kayu tersebut adalah ilegal," katanya.


Anggota ketika itu, menurut dia, kemudian mengamankan truk beserta sopirnya ke pos polisi.


Saat diintrogasi, kata dia, pelaku mengaku kayu-kayu tersebut diangkut dari kawasan hutan alam di Kecamatan Rangau, Kabupaten Rokan Hilir dan hendak dijual di Sumatera Utara.


"Saat ini sopirnya telah kami amankan dan terus menjelani pemeriksaan. Sementara barang bukti kayu dan truk masih dalam pengawasan anggota," katanya.


Ia mengatakan kasusnya masih akan dikembangkan untuk mencari tahu siapa penerima atau penadah kayu-kayu tersebut di Sumatera Utara.


"Temasuk juga pelaku pembalakan liar di areal hutan juga akan dilacak," katanya.


Kasus pembalakan ilegal di Riau, menurut catatan kepolisian selalu marak terjadi dengan berbagai modus.


Bahkan pembalakan kerap disertai dengan parambahan dengan mengalihfungsikan kawasan hutan alam menjadi lahan perkebunan dan hutan tanam industri.


Sebelumnya, beberapa aktivis pecinta lingkungan menengrahai bahwa terjadi pemetaan kawasan hutan di Riau yang bertujuan untuk menguntungkan para pelaku usaha.
Fazar Muhardi
COPYRIGHT © 2013
Sumber:antarariau.com

Bupati Sergei, Sumut Ir H Soekirman Belajar Sagu

6 Desember 2013
”Saya Kira Sagu Hanya Ada di Timur,  di Meranti Malah Terbaik’’

SELATPANJANG (RP) - Memang perkebunan sagu di Kepulauan Meranti bukanlah yang terluas di Indonesia.

Namun dengan sudah dikelola dengan baik sejak masa kerajaan (sebelum Indonesia merdeka) maka kualitas sagu di Kepulauan Meranti menjadi yang terbaik.

Pasalnya tanaman sagu di Kepulauan Meranti sudah dilakukan dengan pola tanam sejak bibit, bukan lagi sagu hutan yang tumbuh sendiri seperti di wilayah timur Indonesia.

Bahkan dengan kualitas sagu di Kepulauan Meranti sendiri, jajaran Pemerintah Provinsi Papua saja yang memiliki lahan sagu terbesar di Indonesia, bahkan di dunia beberapa bulan lalu melakukan studi di Kepulauan Meranti bagaimana melakukan pengolahan sagu sehingga ekonomis. Ini membuktikan bahwa sagu di Kepulauan Meranti menjadi yang terbaik di Indonesia saat ini.

Rabu (4/12) lalu Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti juga kedatangan rombongan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai (Sergei) Sumatera Utara.

Tujuan mereka datang ke Meranti hanya untuk belajar bagaimana mengolah sagu agar lebih ekonomis seperti yang digaungkan selama ini. Mereka juga tidak pernah menyangka bahwa salah satu daerah di Provinsi Riau yakni Kepulauan Meranti memiliki sagu yang luas dengan kualitas terbaik.

Bahkan Bupati Sergei, Ir H Soekirman mengaku selama ini tak pernah menyangka Kepulauan Meranti sebuah daerah kepulauan memiliki perkebunan sagu terbaik di Indonesia.

Setelah tahu makanya dia datang dan belajar bagaimana mengembangkan perkebunan sagu.   Sehingga nantinya dia bisa mengembangkan perkebunan sagu di Sergei.

Dia mengaku dari 150 ribu hektare lahan di Sergei, seluas 100 ribu hektare sudah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit dan karet. Sisanya 50 ribu hektare yang merupakan lahan masih kosong.

‘’Kita akan coba tawarkan kepada masyarakat kita terlebih dahulu. Jika nantinya masyarakat berminat mengembangkan perkebunan sagu, maka 50 ribu hektare tersebut akan kita manfaatkan untuk pengembangan perkebunan sagu,’’ ungkapnya usai kegiatan silaturahmi, Rabu malam (4/12) di lobi Grand Meranti Hotel, Jalan Kartini Selatpanjang.

Dikatakannya di Sergei terdapat tanaman sagu, namun tidak dikelola. Tanaman sagu di Sergei sendiri, tambahnya merupakan tanaman yang dianggap tidak ekonomis.

‘’Di Sergei tanaman sagu ditanam di samping jalan dan tidak dirawat. Namun ternyata di sini (Kepulauan Meranti) tanaman sagu menjadi sumber ekonomi kerakyatan,’’ sebutnya.

Sebelumnya, Rabu siang (4/12) Bupati Sergei bersama rombongan setelah diterima Bupati Kepulauan Meranti, Drs Irwan Nasir MSi didampingi Asisten III Setdakab Tengku Akhrial, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Kadishutbun), Ir Mamun Murod MM MH dan pejabat lainnya di lingkungan Pemkab Meranti.

Setelah mendapatkan penjelasan, rombongan Pemkab Sergei yang dipimpin Bupatinya diajak melihat perkebunan sagu di wilayah Kecamatan Tebing Tinggi Barat termasuk melihat industri pengolahan dari batang sagu sampai menjadi tepung sagu atau mie.

Dalam tinjauan tersebut Bupati Sergei sempat takjub dan tak menyangka bahwa dari tual sagu dapat dijadikan berbagai jenis panganan. Walaupun mengaku menunggu lama untuk masa panen, namun dia melihat jika memiliki perkebunan sagu sangat baik untuk investasi jangka panjang. Sebab tanaman sagu tidak memerlukan perawatan yang banyak seperti layaknya kelapa sawit atau karet.

‘’Masa panen cukup lama. Tapi tidak seperti sawit dan karet di mana harus dirawat dan dijaga, termasuk memberikan pupuk setiap waktu. Sagu ini sepertinya sangat baik dan sangat ekonomis,’’ katanya.

Belum lagi turunan makanan yang dihasilkan dari sagu yang beraneka ragam mulai dari mie sagu, bihun sagu, brownis sagu, sempolet, gobak dan lainnya. ‘’Sempolet dari sagu lebih enak ternyata dari sup sirip hiu. Ini perlu diperkenalkan ke seluruh dunia, sebab sangat enak,’’ akunya.

Dengan perkebunan sagu yang luas dengan kualitas terbaik, masyarakat di Kepulauan Meranti perlu berbangga memiliki bupati yang energik dan sangat peduli dengan masyarakatnya. Apalagi Bupati Irwan kata Bupati Sergei itu mampu menjaga kearifan lokal masyarakatnya. ‘’Masyarakat patut bangga kepada Irwan sebagai bupatinya karena mampu mengangkat ekonomi masyarakat dengan mengembangkan perkebunan sagu yang merupakan perkebunan rakyat,’’ kata Ir H Soekirman.

Bupati Sergei mengatakan jika masyarakatnya sepakat agar sebagian lahan di Sergei dijadikan perkebunan sagu, maka nantinya dia akan kembali lagi ke Meranti dengan sejumlah masyarakat. Sehingga masyarakatnya bisa dititipkan ke Meranti untuk belajar bagaimana mengelola perkebunan sagu.

Sejak 1723
Pengembangan sagu di Kepulauan Meranti telah dilakukan masyarakat sejak tahun 1723 masehi. Ketika itu wilayah Kepulauan Meranti masih di bawah bendera Kerajaan Siak.

Di mana tanaman sagu milik masyarakat yang luas itu dari pengembangan penanaman melalui pola anakan atau pembibitan. Kondisi sejak lama itu juga yang membuat kualitas sagu di kabupaten termuda di Riau itu menjadi yang terbaik.

Bupati Kepulauan Meranti, Drs Irwan Nasir MSi sampai tidak memberikan izin kepada salah satu perusahaan HTI untuk mengelola tanaman akasia di wilayah Kecamatan Tebing Tinggi Timur di mana di wilayah kecamatan yang juga dari pemekaran Kecamatan Tebing Tinggi itu terdapat tanaman sagu yang luas.

Artinya perkebunan sagu yang sudah terbangun sejak dulu diinginkan Irwan dapat terus bertahan dan terus dikembangkan.

‘’Kalau perusahaan mau mengelola sagu maka akan kita dukung dan berikan rekomendasi dari kabupaten, namun jika harus menghilangkan sagu dan menggantinya dengan akasia, maka kita akan tolak keras,’’ sebut Irwan.

Ketegasan itu dilakukan bupati pertama defenitif Kepulauan Meranti itu untuk menjaga kearifan lokal yang selama ini sudah terbangun.

Bagaimana mau mengalihkan tanaman sagu yang sudah terbukti ekonomis selama ini, tiba-tiba diubah menjadi HTI akasia. Pertentangan yang dilakukan Bupati Kepulauan Meranti itu sangat mendapatkan dukungan masyarakat.

Sejarah panjang akan perkebunan sagu membuat Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti tidak gegabah untuk mengalih fungsi perkebunan. Karena nenek moyang daerah ini telah mengajarkan bagaimana bertahan hidup dengan perkebunan sagu.

‘’Seharusnya terus didorong, bukan malah diganti. Oleh sebab itulah kita akan terus mendorong perkebunan sagu ini sehingga nantinya menjadi sumber yang mampu menghidupi masyarakat dan menjadi sumber pendapatan bagi daerah,’’ terangnya.

Perjuangan Bupati Irwan bersama Dinas Kehutanan dan Perkebunannya akan terus dilakukan untuk menjadikan sagu Meranti menjadi yang terbaik di dunia.

Perjuangan itu terus menanjak naik seiring dengan bertambahnya umur Kepulauan Meranti menjadi sebuah kabupaten. Saat ini varietas sagua telah dilepaskan dan bernama sagu Selatpanjang Kepulauan Meranti.

Kerja sama untuk mengembangkan teknologinya pun telah dilakukan.

‘’Kita akan terus dorong sehingga nilai jual sagu menjadi tinggi. Upaya ini semua untuk menyejahterakan masyarakat kita di Meranti,’’ sebut Irwan.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Ir Mamun Murod menambahkan, Rabu malam (4/12) sagu yang ada di Kepulauan Meranti akan terus diangkat ke permukaan. Perjuangan panjang yang dilakukannya untuk mengangkat perkebunan sagu di Meranti belum berakhir.

Selain dari hulu, untuk sisi hilirnya pun masih banyak yang perlu dikembangkan lagi. Tanaman spesifik daerah itu akan terus dijadikan sebuah ‘’emas’’ yang nilai dan harganya bisa membuat masyarakat sejahtera.

Bukan hanya cerita saja, secara matematis Murod merincikan dengan perhitungan secara ekonomi, usaha budidaya sagu sangat memberikan harapan sebagai salah satu pilihan usaha yang dapat dikembangkan untuk masyarakat dan diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan yang cukup baik.

‘’Hal ini kami kemukakan berdasarkan perhitungan makro usaha tani sagu yaitu pada kebun yang sudah memasuki usia panen akan dapat dipanen lebih kurang 170 batang setiap tahun atau 1.352 tual dengan harga di lapangan Rp45 ribu per tualnya. Maka akan diperoleh pendapatan Rp60.840.000 per hektare per tahun atau per bulan rata-rata diperoleh hasil Rp5.070.000,’’ rinci Murod.(adv)

Sumber :riaupos.co
 

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah