Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Selasa, 09 Oktober 2012

Massa Tutup Paksa Pabrik PT CRS

TELUK KUANTAN- Ratusan warga Kecamatan Pengean melakukan aksi demo dan menutup paksa Pabrik Kelapa Sawit Citra 3 milik PT Citra Riau Sarana di Pangean, Selasa (9/10. Mereka menuntut pihak perusahaan segera mencabut laporannya di Polres Kuansing dan membebaskan Boton Cs yang ditangkap pihak kepolisian setempat, Senin (8/10) lalu. Seperti diketahui, Boton Cs ditangkap pihak kepolisian atas laporan dari pihak PT Citra Riau Sarana (CRS) dengan sangkaan telah melakukan pencurian dengan kekerasan (curat). Sangkaan ini dilaporkan pihak PT CRS karena Boton Cs sebelumnya bersama masyarakat Pangean melakukan aksi panen bersama di lahan yang dikuasai PT CRS yang hingga saat ini masih bersengketa dengan masyarakat Pangean.
Pantauan Haluan Riau di lapangan, ratusan massa terlihat mendatangi salah satu Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik PT CRS, yaitu PKS Citra 3. Kedatangan ratusan massa ini ternyata telah diantisipasi pihak perusahaan sehingga saat mereka datang terlihat puluhan anggota kepolisian sudah berjaga-jaga di sekitar PKS Citra 3 tersebut.
Mendapat penjagaan ketat dari pihak kepolisian, akhirnya massa yang datang tertahan di gerbang masuk pabrik. Setelah dilakukan negosiasi, pihak manajemen pabrik bersedia menerima beberapa orang perwakilan massa untuk melakukan perundingan. Beberapa orang perwakilan masyarakat Pangean dipimpin Datuak Topo dan Asri Salim masuk ke pabrik menyampaikan tuntutannya kepada pihak manajemen PT CRS.
Pabrik Ditutup
Hampir dua jam perundingan dilakukan kedua belah pihak. Perwakilan pendemo akhirnya keluar menemui massa yang tetap bertahan di depan gerbang masuk perusahaan. Di hadapan massa yang ada, Datuk Topo menyampaikan hasil perundingan yang telah mereka sepakati dengan menggunakan pengeras suara. Dia mengungkapkan tuntutan agar pihak PT CRS segera mencabut laporan dan membebaskan Boton Cs telah mereka sampaikan.
"Tuntutan sudah kita sampaikan. Karena pihak manajemen di sini beralasan belum bisa mengambil kebijakan, maka tadi kita minta agar pabrik Citra 3 ini tidak boleh beroperasi alias ditutup sampai tuntutan masyarakat Pangean dipenuhi," ujar Datuk Topo menjelaskan.
Meski tidak ada kesepakatan tertulis, permintaan agar pabrik ditutup itu telah disetujui. "Kalau sampai sore nanti (kemaren-red), Boton Cs tidak dibebaskan, maka besok (hari ini-red) kita akan membawa massa lebih banyak lagi untuk menutup pabrik Citra 2, kalau perlu seluruh pabrik milik PT Citra ini tidak boleh beroperasi dulu sebelum permasalahan ini selesai," ujar Datuk Topo lantang.

Kemudian salah seorang dari pendemo menanyakan bagaimana seandainya pihak perusahaan mengabaikan kesepakatan itu dengan tetap mengoperasikan pabrik tanpa sepengetahuan masyarakat. Dengan tegas Datuk Topo menyatakan pihak perusahaan akan menanggung resikonya. "Kalau mereka mengabaikan kesepakatan ini, kita lihat saja nanti seperti apa resiko yang akan mereka terima," ujarnya.

Usai mendapat penjelasan tersebut, kemudian ratusan pendemo akhirnya membubarkan diri. Di tempat terpisah, salah seorang manajemen PT CRS, Azura kepada Haluan Riau mengatakan terkait masalah itu pihak manajemen pabrik belum bisa mengambil keputusan. "Untuk sementara permintaan warga untuk menghentikan aktivitas pabrik kita akomodir demi meredam aksi massa. Sementara untuk tuntutan pembebasan Boton Cs dan kelanjutannya, itu wewenang top manajemen, bukan level kita itu, yang jelas sudah kita laporkan semua ke kantor pusat," ujarnya.

Rugi Miliaran Rupiah
Dihentikannya aktivitas pabrik, menurut Azura,  yang merupakan Kepala Tata Usaha (KTU) Pabrik, pihaknya mengalami kerugian yang cukup besar. "Satu hari saja ditutup, kerugiannya bisa mencapai miliaran rupiah, karena satu jam saja itu produksinya mencapai 20 ton," paparnya.

Penangkapan Boton Cs
Sementara itu, Kapolres Kuansing, AKBP Wendry Purbiantoro, melalui Kasubag Humas, AKP Azhari membenarkan pihaknya telah menahan Boton Cs. Menurut Azhari, penangkapan Boton Cs atas dasar laporan dari pihak PT CRS dengan sangkaan telah melakukan pencurian dengan pemberatan (curat).

"Mereka kita tangkap Senin sore lalu di Simpang Koran, Desa Tanjung Pauh, Kecamatan Singingi Hilir saat dalam perjalanan pulang dari Pekanbaru. Mereka kita tangkap atas dasar 3 laporan PT CRS yaitu pada 24 April 2012, 9 Agustus 2012 dan 27 September 2012. Dari laporan tersebut kita kembangkan sehingga sore kemaren, tersangka berhasil kita bekuk dan sekarang ditahan di tahanan Mapolres Kuansing," ujar Azhari.

Sedangkan terkait desakan masyarakat Pangean untuk membebaskan Boton Cs ini, Azhari secara tegas mengatakan kasus itu tetap akan mereka proses sesuai aturan perundang-undangan. "Sementara tersangka kita jerat dengan pasal 363 KUHP dengan sangkaan pencurian dengan pemberatan," tuturnya.

Selanjutnya terkait aksi demo yang dilakukan masyarakat ke perusahaan sehingga aktivitas pabrik terhenti, Azhari mengatakan pihaknya tetap mengawal aksi tersebut dan mencegah perbuatan anarkis.(uta)

Sumber :http://haluanriaupress.com/index.php/news/halaman-01/7828-massa-tutup-paksa-pabrik-pt-crs.html

Pangean Vs PT CSR

PEKANBARU (RP)- Masyarakat Pangean, Kuansing yang tergabung dalam Tim Penyelesaian Masalah Nagori Pangean (TPMNP) mengadu ke Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Senin (8/10) pagi.

Pengaduan yang dilakukan Mulbustomi dan rekan-rekannya terkait adanya ancaman penangkapan yang saat ini tersebar di tengah-tengah masyarakat Pangean. Selain itu, TPMNP juga mengadukan pembubaran tim ini yang dinilai tidak sah.

Desas-desus akan ada penangkapan itu sudah sejak Senin pekan lalu. Menurut informasi yang didapatkannya, pernah datang beberapa mobil tanpa plat ke Desa Pauh Angit, Pangean.

Ketika masyarakat bertanya, orang-orang yang tidak dikenal ini mengatakan kepada masyarakat sekitar bahwa mereka akan menangkap Ketua TPMNP Mulbustomi.

‘’Ada usaha menakut-nakuti tim ini. Kami takut ada mafia-mafia yang berpihak ke perusahaan hingga membuat kami tidak tenang. Kami meminta jaminan keamanan, kantor aman. Apalagi yang kami lakukan selama ini tidak bertentangan dengan hukum, murni membela hak-hak masyarakat Pangean,’’ ungkap Armilusdas, Humas TPMNP yang dibenarkan Mulbustomi.

TPMNP adalah tim yang dibentuk berdasarkan SK yang disahkan oleh Kelembagaan Adat, Panghulu Nen Barompek Nagori Pangean.

Tugas tim ini menuntut hak-hak masyarakat Pangean atas lahan yang kini merupakan bagian dari yang dikelola oleh PT Citra Riau Sarana (CRS).

Tim ini menuntut hak mereka atas dasar surat Bupati Inhu Drs H Anwar Abbas ditetapkan 25 Nop 1999 dengan nomor 279/XI/1999, mengenai izin prinsip pengolahan lahan.

Kini, lahan yang dirintis oleh masyarakat dan memiliki kekuatan hukum ini sudah berubah menjadi kebun sawit milik PT CRS. TPMNP mengaku, sudah mengusahakan mediasi dengan perusahaan di Kecamatan Pangean, Kuantan Singingi ini sejak 1999 lalu. Namun belakangan, TPMNP dibubarkan melalui SK juga dari Panghulu Nen Barompek Nagori Pangean.

‘’Kami menolak surat Pembatalan Tim Penyelesaian Masalah Nagori Pangean. Karena yang melakukan pencabutan sebagian bukan orang yang mengeluarkan SK ini,’’ ungkap Mulbustomi saat mengadu ke hadapan Ketua FKPMR, Kol (Purn) Abbas Jamil yang didampingi tokoh Riau asal Pangean, Mardianto Manan.

Abbas Jamil sendiri bersedia membantu menyelesaikan masalah ini, terutama soal pembatalan TPMNP. Abbas juga siap mengkomunikasikan sengketa masyarakat dengan perusahaan ini hingga ke Bupati.

‘’Selesaikanlah dulu permasalahan yang terjadi,’’ ungkap Abbas terkait SK pembatalan TPMNP tersebut.(h)  

Petani Tuntut Pembaruan Agraria

Padang, Trans - Konflik agraria di seluruh Indonesia, termasuk Sumatera Barat, semakin tajam. Bom waktu ini dipicu sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di Indonesia dikuasai segelintir orang dan korporasi. Puluhan juta rakyat hanya bertanah sempit bahkan tak bertanah.
Ironisnya, di tengah ketimpangan tersebut, perampasan tanah-tanah rakyat masih terus terjadi. Karena itu, menjadi memaknai peringatan Hari Tani Nasional pada 24 September lalu. Sebab, Hari Tani Nasional ini ditetapkan Presiden Soekarno pada Agustus 1963, pertanda pentingnya peran dan posisi petani sebagai identitas bangsa.
Latar belakang ditetapkan 24 September menjadi Hari Tani Nasional karena pada tanggal 24 September itu, dibuat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa.
Namun, sekarang perampasan tanah terjadi karena persekongkolan jahat antara pemerintah, DPR dan korporasi. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk mengesahkan berbagai undang-undang seperti: UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU 18/2004 tentang Perkebunan, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No 4/2009 Mineral dan Batu Bara, dan yang terbaru pengesahan UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Semua undang-undang tersebut seolah-olah melegalkan perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa atau nagari. Sebab, semuanya hanya untuk kepentingan para pemodal.
Janji Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mendistribusikan tanah kepada rakyat miskin melalui Program Pembaruan Agraria Nasional, hingga kini belum juga terwujud.
Tercatat 7,3 juta hektare tanah telantar yang akan didistribusikan kepada rakyat miskin sesuai amanat PP 11/2010. Faktanya, petani berlahan sempit, petani tak bertanah dan rakyat kecil dibiarkan saling berebut lahan dengan korporasi yang didukung penguasa.
Tidak berpihaknya pemerintah terhadap rakyat kecil telah memicu konflik agraria berkepanjangan, bahkan terjadi tindak kekerasan terhadap petani. Perampasan tanah berjalan dengan mudah dikarenakan oknum dari pemerintah pusat dan daerah serta korporasi tidak segan-segan mengerahkan aparat kepolisian dan pam swakarsa untuk membunuh, menembak, menangkap dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya jika ada rakyat yang berani menolak dan melawan perampasan tanah.
Kasus yang terjadi di Mesuji, Bima, Ogan komering Ilir dan pemukulan petani perempuan di Maligi Pasaman Barat,  adalah bukti bahwa Polri tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap rakyat yang menolak perampasan tanah.
Untuk itu, SPI Sumbar menuntut agar dihentikan segala bentuk perampasan tanah rakyat dan mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas. Kemudian, melaksanakan pembaruan agraria sejati sesuai konstitusi 1945 dan UUPA 1960 untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan keadilan sosial.
Pemerintah dan pihak terkait diminta menarik TNI/Polri dari konflik agraria, membebaskan para pejuang rakyat yang ditahan dalam melawan perampasan tanah. Penegakan hak asasi petani dengan cara mengesahkan RUU Perlindungan Hak Asasi Petani dan RUU Kedaulatan Pangan sesuai tuntutan rakyat tani.
Kemudian menuntaskan segera konflik agraria dan hentikan perampasan tanah ulayat. Dan mendistribusikan tanah telantar kepada anak cucu kemanakan.
Di seluruh Indonesia masalah yang dihadapi petani relatif sama. Tanah mereka diambil dan diserahkan pada perusahaan perkebunan, kemudian dijadikan perkebunan sawit. Karena itu, seluruh petani harus bersatu dan terus mendesak pemerintah melakukan reforma agraria yang selama ini dijanjikan. | Tim NCW Sumbar


Sumber:http:/http://korantransaksi.com/trans-nusantara/trans-sumbar/petani-tuntut-pembaruan-agraria/

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah