Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Senin, 16 Juli 2012

Masa SPI Duduki DPRD Kampar


.
Senin, 16 Juli 2012

Masa SPI Duduki DPRD Kampar



Pekanbaru |Gurindam12.com. sekitar 250 orang massa Serikat Petani Indonesia (SPI) menduduki kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kampar, mereka menuntut lahan yang dikuasi oleh PT RAKA segera dikembalikan. sebab lahan tersebut telah mereka garap selama puluhan tahun. Senin (16/07/2012)

Aksi massa yang telah mereka lakukan tersebut sudah yang ketiga kalinya, sebelumnya tidak ada tanggapan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kampar mengenai aksi tersebut, dan aksi yang kedua berulah mereka mendapatkan tanggapan dari pemerintah. mereka diminta menunggu selama 15 hari, dan beberapa hari yang lalu Dinas Kehutanan (Dishut) Kampar menyatakan bahwa pembukaan perkebunan atas nama PT RAKA di nyatakan ilegal.

Begitu yang disampaikan oleh Sekretaris Wilayah SPI Miswadi, saat dihubungi via seluler. ia menambahkan bahwa Konflik antara PT. Raka dengan 600 Kepala Keluarga (KK) yang merupakan pemilik sah 1200 hektar lahan kebun kelapa sawit yang kini diikuasai PT. Raka, sebenarnya sudah berlangsung sejak lima tahun silam persis sejak tahun 2006.

"Kasus ini berada di Dusun Bukit Desa Pencing Kecamatan Tapung Hilir Kabupaten Kampar. Harapan kami hanya satu bahwa kami hanya ingin kejelasan dari tanah hak kami dan meminta tanah kami dikembalikan," ujar Miswadi.

sementara itu di tempat yang berbeda Walhi Riau menyatakan dukungannya terhadap apa yang sedang diperjuangkan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) di Riau, karena pasca pengumuman yang disampaikan oleh Pemerintah kabupaten Kampar melalui Kepala Dinas Kehutanan yang menyatakan bahwa PT.RAKA Ilegal memang perlu ada tindak lanjut yang mesti segera dilakukan. Karena, dengan pengumuman ini saja tentunya tidak cukup untuk menyelesaikan konflik yang sudah cukup lama berlangsung dan sudah memakan korban jiwa bahkan masih ada petani yang dipenjarakan akibat konflik ini.

“Perlu ada tindakan tegas selanjutnya, yaitu melakukan eksekusi menghentikan segala aktivitas PT.RAKA tersebut dilapangan. Kemudian Pemkab Kampar perlu melakukan dialog dengan masyarakat yang selama ini telah melakukan pengelolaan di lahan tersebut”,

karena berdasarkan pengamatan kami di lapangan banyak sekali masyarakat petani disana yang memang bergantung kepada lahan tersebut sebagai sumber kehidupannya. Kami meyakini bahwa pengelolaan Hutan berbasis masyarakat akan lebih bermanfaat dan membawa kesejahteraan dibandingkan pengelolaan yang berbasis industry atau pengusaha apalagi pengusaha yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di Republik Indonesia seperti PT.RAKA ini.

Berdasarkan catatan kami, kabupaten Kampar merupakan wilayah yang cukup banyak terjadi konflik agraria seperti yang terjadi di wilayah Tapung ini. Sehingga penting pemerintah Kampar baik eksekutif maupun legislative untuk segera merumuskan agenda penyelesaiaan konflik-konflik yang terjadi tersebut. Apalagi untuk mewujudkan visi zero kemiskinan seperti yang pernah disampaikan Bupati, tidak lain adalah dengan memastikan bahwa warga di kabupaten Kampar tidak ada lagi yang tidak memiliki Tanah apalagi mayoritas warganya adalah petani. (don)


Sumber:http://www.gurindam12.com/2012/07/masa-spi-duduki-dprd-kampar.html

Publikasikan ...



  • .: Banner :.
  • .: Banner :.
  • .: Banner :.
  • .: Banner :.

Jumat, 06 Juli 2012

Down to Earth No.80-81, Juni 2009

Down to Earth No.80-81, Juni 2009

Masyarakat adat dan perubahan iklim - kampanye untuk hak dan perwakilan terus bergulir


Masyarakat adat terus menekankan agar hak-hak mereka dihargai dalam semua inisiatif perubahan iklim yang memengaruhi mereka. Mereka juga menginginkan pengakuan atas peran yang telah mereka jalani selama ini dalam penggunaan sumber-sumber bumi secara berkelanjutan dan gaya hidup yang rendah karbon atau netral karbon. Ini adalah pesan dalam pertemuan iklim Bonn, dari Tebtebba, (Indigenous Peoples' International Centre for Policy Research and Education atau Pusat Internasional untuk Riset Kebijakan dan Pendidikan Masyarakat Adat).1 "Kamilah yang telah melindungi hutan kami dari deforestasi yang meraja-lela dan mencegah dikeruknya minyak, gas dan batu bara dari wilayah kami, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga kami," kata Victoria Tauli-Corpuz dalam pernyataannya yang dikeluarkan pada bulan April.
Corpuz mengingatkan bahwa jika hak-hak adat tak diakui dalam upaya untuk memasukkan hutan dalam langkah-langkah mitigasi, maka "kami melihat ancaman serius bagi ketahanan masyarakat hutan dan budaya mereka di masa mendatang."2
Kelompok-kelompok masyarakat adat dan Organisasi Masyarakat Madani (CSO) sebelumnya telah menunjukkan kegusaran mereka di Poznan ketika delegasi pemerintah dari AS, Kanada, Selandia Baru dan Australia bersikeras untuk menghilangkan semua referensi mengenai hak-hak masyarakat adat dalam teks resmi Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), setelah ini dimasukkan ke dalam draft. Mereka menuntut agar hal itu dimasukkan kembali dalam setiap kesepakatan yang akan ditandatangani di Kopenhagen.3
Kelompok-kelompok masyarakat adat telah melakukan konsultasi di seluruh dunia untuk berbagi informasi mengenai dampak perubahan iklim dan hasil riset langkah-langkah mitigasi dan adaptasi masyarakat adat, serta untuk menyepakati strategi guna memastikan bahwa hak-hak mereka dilindungi dalam kesepakatan internasional.
Konsultasi global masyarakat adat mengenai REDD pada bulan November di Baguio City, Filipina,4 telah diikuti oleh pertemuan-pertemuan regional mengenai perubahan iklim, termasuk pertemuan regional Asia di Bali, dengan tuan rumah AMAN, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, pada bulan Februari.5 Pada bulan Maret, konferensi internasional di Manila mengenai industri ekstraktif dan masyarakat adat membahas dampak yang tidak proporsional dari industri ini terhadap masyarakat adat.6
Pada bulan April, Anchorage di Alaska merupakan tempat diadakannya Pertemuan Tingkat Tinggi Masyarakat Adat tentang Perubahan iklim. Deklarasi Anchorage yang dikeluarkan para peserta menegaskan kembali perlunya menghormati hak-hak masyarakat adat dan mengatakan bahwa kesepakatan UNFCCC harus mencerminkan semangat Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
Deklarasi itu mengimbau target pengurangan emisi bagi negara maju sebesar paling sedikit 45% di bawah tingkat emisi tahun 1990 hingga tahun 2020 dan paling sedikit 95% hingga tahun 2050. Di antara hal-hal lainnya adalah imbauan kepada badan pembuat keputusan UNFCCC untuk mengakui dan melibatkan Forum Internasional Masyarakat Adat mengenai Perubahan Iklim dan tempat-tempat fokus regionalnya dalam perannya sebagai penasihat, dan untuk segera menetapkan bagianpemfokusan masyarakat adat dalam mekanisme pendanaan UNFCCC.
Pertemuan tingkat tinggi itu juga mengimbau negara-negara untuk meninggalkan solusi palsu bagi perubahan iklim seperti energi nuklir, bendungan skala besar, teknik geo-engineering, 'batu bara bersih', bahan bakar agro, perkebunan dan mekanisme berbasis pasar seperti perdagangan karbon, CDM dan pengimbangan (ofset) hutan.
Deklarasi ini diakhiri dengan tawaran untuk "berbagi dengan sesama manusia Pengetahuan Tradisional, inovasi dan praktik-praktik kami yang relevan terhadap perubahan iklim, asalkan hak-hak fundamental kami sebagai penjaga antargenerasi pengetahuan ini diakui secara penuh dan dihormati."7

Catatan:
1 www.tebtebba.org. A useful Guide on Masyarakat adat and Climate Change dapat diunduh dari situs webTebtebba di www.tebtebba.org/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=18&Itemid=27
2 Pernyataan Tebtebba pada Contact Group AWG-LCA mengenai mitigasi
3 Lihat FERN-Forest Peoples Programme Special Report on Poznan.
4 Lihat Rangkuman Laporan Konsultasi Masyarakat Adat mengenai REDD di www.tebtebba.org/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=62&Itemid=27
5 Lihat Pertemuan Tingkat Tinggi Asia mengenai Perubahan iklim dan Masyarakat Adat di www.tebtebba.org/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=75&Itemid=27
6 www.tebtebba.org/index.php?option=com_content&view=article&id=46&Itemid=57
7 Deklarasi Anchorage, 24/Apr/09, www.tebtebba.org/index.php?option=com_content&view=article&id=51:the-anchorage-declaration&catid=73:international-conference-on-extractive-industries-

DEKLARASI ANCHORAGE

DEKLARASI ANCHORAGE
Pada tanggal 20 – 24 April, 2009, perwakilan
masyarakat adat dari seluruh dunia berkumpul
di Anchorage, Alaska, untuk saling bertukar
pengetahuan dan pengalaman dalam
menghadapi dampak perubahan iklim, dan untuk
menghasilkan pesan-pesan dan rekomendasirekomendasi
kunci yang akan disuarakan saat
UNFCCC mengadakan konferensi ke-15 (COP15)
di Kopenhagen, Denmark, bulan Desember 2009.
Ini adalah pertama kalinya sebuah pertemuan
perubahan iklim difokuskan sepenuhnya pada
masyarakat adat.
Dalam pertemuan ini, perwakilan masyarakat
adat menghasilkan Deklarasi Anchorage
yang menantang negara-negara dunia untuk
“meninggalkan solusi semu untuk perubahan
iklim yang berdampak negatif terhadap hak,
tanah, udara, lautan, hutan, wilayah dan
perairan masyarakat adat. Solusi semu dimaksud
mencakup energi nuklir, bendungan besar,
teknik rekayasa alam (geo-engineering), batu
bara bersih, bahan bakar nabati, perkebunan
dan mekanisme pasar seperti perdagangan
karbon, Mekanisme Pembangunan Bersih dan
penggantian hutan (forest offsets).”Mereka juga
menyerukan agar “… HAM masyarakat adat
untuk melindungi hutan dan hasil hutan … diakui,
dihormati dan dijamin.”



Rabu, 04 Juli 2012

Hujan Air Mata, Relakan Warga Pulau Padang Bakar Diri

Pekanbaru | Gurindam12.com - Keberangakatan 6 (enam) orang relawan masyarakat pulau padang Kabupaten Kepulauan Meranti Propinsi Riau pada Selasa (03/07/2012)disambut isak tangis oleh beberapa keluarga yang langsung datang dari pulau padang dan sejumlah aktivis lingkungan Riau yang dengan terpaksa merelakan kepergian mereka menuju Jakarta tepatnya di depan Istana Negara Republik Indonesia. Tujuan mereka kali ini tidak main-main, mereka berniat melakukan aksi bakar diri didepan Istana Negara.
Aksi nekat yang dilakukan oleh enam warga pulau padang ini dipicu atas keluarnya surat keputusan Menteri Kehutanan No 327 Tahun 2009 tentang pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kayu untuk PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP)dinilai merugikan bagi masayarakat Pulau Padang.Keenam warga tersebut adalah Muhammad Ridwan, Bagio, Safrudin, Ali Wahyudin, Joni Setiawan dan Jumani. Mereka bertolak menuju jakarta pukul 19.00 WIB dengan menggunakan pesawat Batavia Air YG-562,sebelum berangkat 6 (enam) orang masyarakat tersebut ini menyempatkan diri menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh seluruh awak media Pekanbaru yang saat itu mencoba memberitakan keberangkatan mereka saat berada di depan Kantor Dewan Perwakilan Rayat Daerah (DPRD) Provinsi Riau. Dengan mata yang berkaca-kaca, Ridwan menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak ingin melakukan aksi ini. Namun tidak ada cara lain lagi yang bisa ia tempuh, semua cara sudah pernah ia lakukan dimulai dari aksi Mogok makan, jahit mulut sampai akhirnya berniat untuk melakukan aksi bakar diri. "Sesampainya di Jakarta kami akan menjalin koordinasi dengan Serikat Tani Nasional (STN) setelah itu kami akan langsung menunju Istana Negara untuk mencoba bertemu dengan Presiden. Kami berharap suara kami akan didengar oleh Presiden RI serta berharap beliau mau membantu kami, namun jika sampai sepekan kedatangan kami tidak ditanggapi maka kami akan nekat melakukan aksi ini" ujar Ridwan Sementara itu Nisa istri Ridwan, tak kuasa menaahan harunya. Air mata yang selalu mengalir dipipinya, membuat haru bagi mereka yang melihatnya. Tangisnyapun pecah tatakala Ridwan berpamitan dengannya hendak berangkat menuju Bandara Sultan Syarif kasim II (SSK II). Mereka berpelukan seakan istrinya tak rela melepaskan kepergian Ridwan. "Saya berharap Presiden mendengarkan tuntutan masyarkat pulau padang, kami hanya meminta tolong kembali merevisi SK Menhut No 327 Tahun 2009. Dan suami saya dapat pulang dengan selamat," ujar Nisa terbata-bata saat menjawab pertanyaan dari Gurindam12 mengenai harapannya kepada Pemerintah saat berada dibandara SSK II Pekanbaru.

Sumber : http://www.gurindam12.com/2012/07/hujan-air-mata-relakan-warga-pulau.html

Selasa, 03 Juli 2012

Koalisi PPKRM, Tuntut Pemerintah Selesaikan Kasus Pulau Padang

Jumat, 29 Juni 2012

Pekanbaru | Gurindam12.com - Koalisi Pendukung Perjuangan Rakyat Kepulauan Meranti (PPKRM) mendesak dan menuntut pemerintah untuk segera bertindak menyelesaikan kasus yang terjadi di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti, koalisi ini bertujuan untuk mencegah aksi bakar diri yang akan dilakukan oleh 10 masyarakat setempat.  
Koalisi PPKRM ini terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Serikat Tani Riau (STR), Partai Rakyat Demokratik (PRD) Riau, Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Greenpeace, Kabut, Transparancy Internasional Indonesia (TII) Riau, Scale UP, dan rumah Rumah Pohon. 

Diskusi yang ditaja di sekretariat Bahana Mahasiswa ini membahas mengenai permasalahan masyarakat Pulau Padang yang sampai saat ini tuntutan mereka untuk merevisi ulang kembali SK Mentri kehutanan (Menhut) no 327/2009 tentang Kehutanan belum teralisasi. Perjungan masyarakat Pulau Padang yang telah terjadi selama tiga tahun yang akirnya berakir dengan putusan akan melaksanakan bakar diri didepan istana negara, dinilai koalisi ini tidak patut terjadi. Jum’at (29/06/2012).

"Keputusan untuk bertindak secara ekstrim ini terjadi akibat, tingkat frustasi yang tinggi pada masyarakat yang telah kehilangan harapan. karena tidak berjalannya fungsi pemerintahan untuk melindungi warganya. Presiden harus mengambil alih tanggung jawab untuk menghentikan keputusan masyarakat tersebut. dan ini merupakan kesempatan bagi Presiden untuk menata kembali persoalan di Kementrian Kehutanan," ujar Riko Kurniawan yang merupakan juru bicara Koalisi.

"Ini merupakan momentum permasalahan Pulau Padang dapat diselesaikan secara kasus perkasus, agar seluruh permasalahan yang ada di Pulau padang dapat di tuntaskan," ujar Riko kembali.

Masih dalam keterangan Riko bahwa dalam kasus Pulau Padang ini, banyak sekali aturan-aturan yang dilabrak dalam mengenluarkan perizinan. Pelanggaran tersebut adalah dalam proses kelengkapan administrasi, konfirmasi kawasan, penyusunan AMDAL dan pelanggaran terhadap hukum lainnya. ada beberapa aspek yang nanti akan kita coba untuk menyentuhnya diantaranya adalah monopoli kehutanan. Disini keadilan ekonomi rakyat dikalahkan dengan ekonomi kapital. Kita juga akan  mempermasalahkan SK Menhut 327/2009 yang terjadi di Pulau Padang.

Direktur TI Riau Rafles juga turut menyikapi permasalahan rencana aksi bakar diri dari masyarakat tersebut, ia turut menyayangkan rencana aksi tersebut. Namun Rafles menilai bahwa banyak sekali unsur korupsi yang terjadi atas kasus Pulau Padang tersebut, perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah sepertinya hanya dibiarkan begitu saja, ketika perusahaan yang akan membuka lahan diberikan izin oleh pemerintah secara langsung tanpa ada pertimbangan. Sedangkan ketika masyarakat yang hendak membuka lahan banyak sekali terbentur dengan adanya peraturan-peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah.

"ini jelas banyak sekali oknum-oknum yang bermain disini, dan banyak sekali sarat kepentingan dan tindak korupsi atas kasus pulau padang," ujar Raflis

Dilain sisi, Pimpinan PRD Provinsi Riau Bambang Aswandi menyatakan bahwa aksi yang dilakukan oleh masyarakat ini terjadi karena persoalan yang telah mereka bawa mulai dari tingkat Bupati dan Gubernur bahkan ke tingkat nasional tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah sampai saat ini, sehingga mereka akirnya melakukan aksi ekstrim tersebut. 

"Oleh pemerintah sepertinya tidak terjadi apa-apa dipulau padang tersebut, ditambah lagi dalam pengukuran tapal batas antara lahan yang dimiliki masyarakat dengan kawasan garapan perusahaan yang sampai saat ini tidak ada kejelesan. Artinya Kementrian Kehutanan tidak serius dalam menanggapi kasus ini, perusahaan RAPP meminta kepada Mentri Kehutanan untuk memetakan kawasan stersebut dan meminta waktu selama satu bulan.  apa dalam satu bulan mereka bisa mengukur itu semua, dan mereka bekerja sama dengan badan pemetaan," ujar Bambang Aswandi yang lebih akrab disapa Benmbeng tersebut.

"Pemetaan tersebut dilakukan sebagai legalitas perusahaan untuk mempercepat proses penggarapan di pulau padang, bukan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus," ujar Bembeng kembali.

Diskusi yang berlangsung selama satu jam tersebut meberikan sebah kesimpulan bahwa koalisi ini akan segera mendesak Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) segera menyelesaikan kasus tersebut agar sepuluh nyawa yang hendak melakukakukan aksi ekstrim ini terselamatkan, karena sejauh ini pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Padang telah sering mereka lakukan mulau dari aksi jahit mulut hingga aksi mogok makan di depan istana negara.(don)    
 
Sumber :http://www.gurindam12.com/2012/06/koalisi-ppkrm-tuntut-pemerintah.html
    



6 Relawan Bakar Diri Pulau Padang Berangkat Ke Jakarta

PEKANBARU-Suwagiyo (40) mengungkapkan, istri dan empat orang anaknya belum mengetahui bahwasanya dirinya adalah satu dari enam relawan aksi bakar diri. Pasalnya, ketika warga Desa Mengkirau, Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti ini berpamitan kepada istrinya, dia hanya mengatakan, kalau dirinya hendak pergi ke Pekanbaru.

Istrinya, juga tidak banyak bertanya mengenai kepergiannya ke Pekanbaru. Sang istri mengira, kepergiannya kali ini memang benar ke Pekanbaru untuk turut menyelesaikan konflik antara warga Pulau Padang dengan PT Riau Andalan Pulp And Paper (RAPP).

Namun siapa sangka, ternyata, Suwagiyo malah pergi ke Ibu Kota Jakarta. Bersama lima orang relawan lainnya, dia akan menuju Istana Negara untuk melakukan apa yang menjadi niatnya.

Suwagiyo mengatakan, dia memang sengaja tidak memberitahukan niat sebenarnya. Dia khawatir kalau tidak mendapat restu sang istri.

"Namun, pada akhirnya dia (istri) pasti tahu kalau saya ke Jakarta untuk bakar diri," ucapnya.

Ketika Tribun menanyakan mengenai kesiapan mentalnya, dia menegaskan kalau dirinya sudah siap lahir batin. Apa yang dilakukannya, juga untuk anak-anak dan istrinya.

Dia nekad melakukan aksi ini, dikarenakan lahan miliknya masuk ke areal konsesi. Padahal, lahan itu adalah satu-satu harta yang dimilikinya.

Sebelum berangkat, sambung dia, Suwagiyo sudah sempat berfoto bersama keluarganya. Foto tersebut diambil ketika wisuda anak ketiganya yang baru saja lulus Taman Kanak-kanak.

"Dua anak saya masih SD, satu baru lulus TK, dan yang paling kecil masih 2,5 tahun," ujarnya.

Mengenai keluarga yang ditinggalkan, dia sudah pasrah. Menurut lelaki berkumis tipis ini, apabila perjuangannya berhasil, maka anak dan istrinya lah yang akan menikmatinya. Lahan seluas satu hektar miliknya akan kembali, dan dari situlah dia bisa membesarkan dan mencukupi kebutuhan mereka.

Sementara itu, Anisa, istri dari M. Ridwan tidak bisa membendung air matanya. Suami istri ini berpelukan erat dan mengucurkan air mata, sesaat sebelum Ridwan dan relawan lain masuk mobil Toyota Avanza hitam BM 1763 QG yang membawa mereka menuju Bandara sultan syarif Kasim II, Pekanbaru.

Sambil menyeka air matanya, kepada Tribun dia menceritakan, secara pribadi, pada dasarnya dia tidak setuju dengan aksi ini. Namun di sisi lain, semua jalan sudah ditempuh. Bakar diri, ujarnya, adalah satu-satu aksi yang belum dilakukan oleh suaminya untuk mempertahankan Pulau Padang.

Sebagai istri, wanita berjilbab ini tetap berharap agar suaminya bisa pulang dengan selamat. "Semoga presiden mau memperhatikan aspirasi warga. Sehingga relawan membatalkan niatnya untuk bakar diri," ujarnya.

Secara keseluruhan ada enam orang relawan yang siap melakukan aksi ekstrem ini. Mereka adalah Ali Wahyudi, Joni Setiawan, Jumani, M. Ridwan, Syafrudin, dan Suwagiyo. Mereka berangkat ke Jakarta, setelah sebelumnya sempat menginap dan mendirikan posko di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau, selama satu minggu.

Ketua Umum Serikat Tani Riau (STR) yang juga relawan aksi bakar diri, M. Ridwan mengatakan, sesampainya di Jakarta pihaknya akan menjalin koordinasi dengan Serikat Tani Nasional (STN). Setelah itu, mereka akan langsung menunju Istana Negara untuk mencoba bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam kasus yang melibatkan antara warga Pulau Padang dan PT RAPP, menurut Ridwan, hanya tinggal SBY-lah yang belum menyuarakan sikapnya. Selama ini, kata Ridwan, mereka telah mengadu ke banyak tempat.

"Mulai tingkat RT hingga tingkat Nasional sudah kami datangi," ujarnya.

Menurutnya, dia dan rekan-rekan hanya mau membatalkan aksi ini, apabila tuntutan mereka agar RAPP hengkang dari Pulau Padang dan SK Menteri Kehutanan Nomor 327 Tahun 2009 direvisi. Revisi yang dimaksud Ridwan, adalah dikeluarkannya blok Pulau Padang dari area konsesi.

Namun, apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi, maka mereka akan nekad. "Tapi pada dasarnya kami berjuang untuk mempertahankan hidup," sambungnya.

Mengenai mekanisme pelaksanaan aksi, pihaknya akan memberikan waktu selama satu pekan, pasca kedatangannya ke Istana Negara. Apabila dalam waktu satu pekan tidak ada respon dari pemerintah, Ridwan memastikan, dirinya menjadi orang pertama yang akan dieksekusi.

"Setelah saya, setiap hari satu orang akan dibakar," imbuhnya.

Sementara itu, di Pulau Padang, sekitar 500 orang warga, berhasil memasuki areal konsesi HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP),  Selasa (3/7). Koordinator aksi, Misno ketika dihubungi Tribun menyatakan, mereka nekad menerobos masuk areal konsesi karena RAPP terus melakukan aktifitas.

Hal itu, kata Misno, tidak bisa ditolelir. Pasalnya, aktifitas RAPP di Blok Pulau Padang telah melanggar kesepakatan penghentian oprasional sementara.

Walaupun jengkel dengan perilaku RAPP yang memasang patok pembatas, ujar Misno, pihaknya sama sekali tidak melakukan pengerusakan. Menurutnya, kedatangan warga ke areal konsesi, hanyalah untuk berusaha bertemu dengan manajemen PT milik Sukanto Tanoto itu.

"Namun hingga saat ini, belum ada satupun orang RAPP yang menemui kami," katanya.

Ditambahkan, saat masuk ke areal konsesi, sejumlah pekerja sedang melakukan aktifitas pembibitan dan membangun rumah. Mengetahui kedatangan warga, pekerja yang berjumlah sekitar 20 orang itu pun melarikan diri masuk ke dalam hutan.

Diungkapkan Misno, warga yang masuk ke areal konsesi, memang membawa senjata tajam berupa parang. Namun dia menolak apabila hal itu untuk mempersenjatai diri.

Saat ini, warga juga telah mendirikan tenda untuk menginap. Rencananya, ratusan warga ini akan tetap menduduki areal tersebut sampai ada manajemen RAPP yang menemui mereka.

"Nanti juga akan ada warga yang menyusul ke sini (areal konsesi)," ungkapnya.

Menanggapi rencana aksi bakar diri warga Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat Riau, mengirimkan surat kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Selain kepada presiden, surat juga ditujukan kepada Menteri Kehutanan, Gubernur Riau, dan Bupati Kepulauan Meranti.

Dalam surat tersebut, sejumlah LSM dengan mengatasnamakan masyarakat Riau menyatakan dalam posisi tidak membenarkan rencana aksi bakar diri. Pasalnya, aksi tersebut dinilau terlalu ekstrem.

Namun demikian, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Muslim Rasyid, Selasa (3/7) mengatakan, pihaknya tetap bertanggungjawab untuk mengingatkan semua pihak. Di antaranya adalah Presiden SBY.

"Oleh karena itu, kami mengirimkan surat ini," ujarnya.

Muslim berharap, agar SBY mau mendengarkan aspirasa warga Pulau Padang. Pasalnya, keberadaan RAPP di tempat itu sudah jelas-jelas ditolak warga.

"Jangan sampai ada korban jiwa karena konflik ini," imbuhnya.



Penulis : Galih
Editor : zid
http://pekanbaru.tribunnews.com/2012/07/04/6-relawan-bakar-diri-pulau-padang-berangkat-ke-jakarta

Senin, 02 Juli 2012

Sembilan Warga Ancam Bakar Diri

2 Juli 2012 

Sembilan Warga Ancam Bakar Diri
Ketua DPH LAM Riau, Al azhar menjumpai para demonstran , Ahad (1/7/2012) di depan gedung DPRD Riau. (Foto: didik herwanto/riau pos)

 
 PEKANBARU (RP) - Sembilan orang warga Pulau Padang berniat membakar diri usai menuntut pencabutan SK 327 Menteri Kehutanan tahun 2009. Mereka mengancam hanya dapat dihentikan jika SK tersebut dicabut.

Hal ini disampaikan perwakilan warga Pulau Padang saat menerima kunjungan Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Al azhar, Ahad (1/7) di depan DPRD Provinsi Riau.

‘’Kalau kita melihat langkah yang ditawarkan LAM dengan pertemuan ini, sah-sah saja. Kita harapkan mereka bersama masyarakat, untuk bisa berangkat ke Jakarta untuk menyelesaikan masalah ini. Yang masyarakat inginkan SK 327 direvisi untuk menghentikan pekerjaan di Pulau Padang, itu saja,’’ ujar Bambang Aswandi SE dari PRD yang mendampingi masyarakat.

Apa yang dilakukan masyarakat, diungkapkan Bambang adalah respon setelah tapal batas ditentukan.

‘’Setelah 5 Juli saat tapal batas ditentukan, operasional RAPP akan dimulai lagi. Ini yang tidak diinginkan masyarakat. Sebab operasional di lapangan harus dihentikan,’’ lanjutnya.

Masyarakat Pulau Padang yang menggelar aksi ini menilai pemerintah sengaja mengulur waktu. ‘’Ada tiga bulan penghentian. Ada tiga tim yang diturunkan, tapi tak satupun yang berjalan,’’ katanya.

Dengan pertemuan ini, dikatakan Bambang, masyarakat menaruh harapan besar. ‘’Besar harapan kita kepada orang tua, dan tokoh masyarakat agar segera memberikan solusi. Apalagi yang kita bicarakan adalah tanah Melayu,’’ katanya.

Bambang khawatir jika SK 327 itu tak juga dicabut, aksi bakar diri akan nekat dilakukan.

‘’Senin (2/7) mereka berangkat sembilan orang untuk menemui Menteri Kehutanan dan Presiden, karena mereka adalah pengambil kebijakan. Jika tidak dipenuhi, mereka akan bakar diri di depan istana negara,’’ ujarnya.

Sementara itu, Ketua LAM Riau, Al azhar usai pertemuan kepada Riau Pos mengatakan Sabtu yang lalu pihaknya bersama MUI, FKPMR, dan Kesbangpolinmas bertemu menindaklanjuti pertemuan sebelumnya, yaitu antara massa yang melakukan aksi dengan ketiga lembaga tersebut.

‘’Itu kan belum disampaikan ke kawan-kawan ini. Hasil yang disampaikan ada dua. Pertama, apa yang dilakukan ketiga organisasi ini dalam waktu dekat, yaitu hari selasa besok,’’ jelas Al azhar.

Dikatakannya, dari pertemuan dengan pihak warga Pulau Padang substansi dari pergerakan masyarakat itu bukanlah bakar diri, melainkan SK 327 itu dievaluasi dan direvisi hingga mengeluarkan Pulau Padang dari SK 327 itu.

‘’Atas dasar apa itu dievaluasi, dijelaskan kawan-kawan tadi. Ada beberapa syarat yang sebenarnya di dalam proses itu tidak benar. Karena itu kita ingin melihat syarat-syarat apa itu, dengan fokus kepada evaluasi. Jalan untuk melakukan evaluasi itu apa, lalu akan kita update indikasi-indikasi kesalahannya,’’ lanjutnya.

Indikasi-indikasi ini, lanjut Al azhar akan diverifikasi pada pertemuan hari Selasa.

‘’Atas dasar itulah kita lakukan langkah selanjutnya yang bermuara pada kepastian hukum harus dipatuhi oleh semua pihak,’’ terangnya.(ali)
 
 
Sumber : http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=14011&kat=3
 

Warga Pulau Padang Pertegas Ancam Bakar Diri Jelang Tenggat Waktu Tapal Batas RAPP

     Ketua DPH LAM Riau, Al azhar menjumpai para demonstran , Ahad (1/7/2012) di depan gedung DPRD Riau. (Foto: didik herwanto/riau pos)

Kasus tuntutan sembilan orang warga Pulau Padang, Riau yang berniat membakar diri jika tuntutan mereka tidak dipenuhi oleh Menteri Kehutanan, masih terus berlanjut. Kesembilan warga yang menuntut pencabutan SK 327 Menteri Kehutanan tahun 2009 ini masih terus menanti sikap dari pemerintah pusat terhadap tuntutan mereka. Mereka menilai, pemerintah hanya mengulur waktu terhadap penyelesaian kasus ini.

Seperti diketahui, SK Menhut ini menambah luasan wilayah konsesi RAPP yang sebelumnya sudah diperoleh di Riau, di antara konsesi tambahan ada di hutan gambut Pulau Padang dan Semenanjung Kampar. Mereka mengancam hanya dapat dihentikan jika SK tersebut dicabut. Akibat SK ini, masyarakat dirugikan baik secara ekologis, sosial dan ekonomi.
Hari Minggu, 1 Juli 2012, mereka kembali menegaskan ancaman ini saat menerima kunjungan Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Al Azhar, depan kantor DPRD Provinsi Riau.  ‘’Kalau kita melihat langkah yang ditawarkan LAM dengan pertemuan ini, sah-sah saja. Kita harapkan mereka bersama masyarakat, untuk bisa berangkat ke Jakarta untuk menyelesaikan masalah ini. Yang masyarakat inginkan SK 327 direvisi untuk menghentikan pekerjaan di Pulau Padang, itu saja,’’ ujar Bambang Aswandi SE dari DPRD yang mendampingi masyarakat. Apa yang dilakukan masyarakat, diungkapkan Bambang adalah respon setelah tapal batas ditentukan.
‘’Setelah 5 Juli saat tapal batas ditentukan, operasional RAPP akan dimulai lagi. Ini yang tidak diinginkan masyarakat. Sebab operasional di lapangan harus dihentikan,’’ lanjutnya.
Masyarakat Pulau Padang yang menggelar aksi ini menilai pemerintah sengaja mengulur waktu. ‘’Ada tiga bulan penghentian. Ada tiga tim yang diturunkan, tapi tak satupun yang berjalan,’’ katanya.  Dengan pertemuan ini, dikatakan Bambang, masyarakat menaruh harapan besar. ‘’Besar harapan kita kepada orang tua, dan tokoh masyarakat agar segera memberikan solusi. Apalagi yang kita bicarakan adalah tanah Melayu,’’ katanya.
Bambang khawatir jika SK 327 itu tak juga dicabut, aksi bakar diri akan nekat dilakukan. ‘’Hari ini, Senin 2 Juli, mereka berangkat sembilan orang untuk menemui Menteri Kehutanan dan Presiden, karena mereka adalah pengambil kebijakan. Jika tidak dipenuhi, mereka akan bakar diri di depan istana negara,’’ ujarnya.
Sementara itu, Ketua LAM Riau, Al Azhar usai pertemuan kepada Riau Pos mengatakan Sabtu yang lalu pihaknya bersama MUI, FKPMR, dan Kesbangpolinmas bertemu menindaklanjuti pertemuan sebelumnya, yaitu antara massa yang melakukan aksi dengan ketiga lembaga tersebut.
‘’Itu kan belum disampaikan ke kawan-kawan ini. Hasil yang disampaikan ada dua. Pertama, apa yang dilakukan ketiga organisasi ini dalam waktu dekat, yaitu hari selasa tanggal 3 Juli 2012,’’ jelas Al Azhar.
Dikatakannya, dari pertemuan dengan pihak warga Pulau Padang substansi dari pergerakan masyarakat itu bukanlah bakar diri, melainkan SK 327 itu dievaluasi dan direvisi hingga mengeluarkan Pulau Padang dari SK 327 itu.
‘’Atas dasar apa itu dievaluasi, dijelaskan kawan-kawan tadi. Ada beberapa syarat yang sebenarnya di dalam proses itu tidak benar. Karena itu kita ingin melihat syarat-syarat apa itu, dengan fokus kepada evaluasi. Jalan untuk melakukan evaluasi itu apa, lalu akan kita update indikasi-indikasi kesalahannya,’’ lanjutnya.
Indikasi-indikasi ini, lanjut Al Azhar akan diverifikasi pada pertemuan lebih lanjut hari Selasa tanggal 3 Juli 2012. ‘’Atas dasar itulah kita lakukan langkah selanjutnya yang bermuara pada kepastian hukum harus dipatuhi oleh semua pihak,’’ terangnya.



http://www.scaleup.or.id/publikasi-koran2012/090112-KONFLIK%20PULAU%20PADANG_%20Potret%20Buram%20Tata%20Ruang%20dan%20Tata%20Kelola%20Hutan%20di%20Indonesia.pdf
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2012/07/02/warga-pulau-padang-pertegas-ancam-bakar-diri-jelang-tenggat-waktu-tapal-batas-rapp/

http://www.dephut.go.id/files/IUPHHK_HT_Permohonan_2008_2009.pdf

AKSI BAKAR DIRI DIKECAM: Salahkan SK Menhut dong!!!


JAKARTA: Relawan rencana aksi bakar diri dari Pulau Padang menilai Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 327/2009 tentang IUPHHK-HT untuk RAPP adalah faktor yang membuat mereka menderita hingga ingin melakukan aksi tersebut. Mereka meminta aturan itu dievaluasi kembali.

Ketua Umum Serikat Tani Riau (STR) Muhammad Ridwan mengatakan pihaknya mendapatkan banyak kecaman tentang rencana aksi bakar diri yang akan dilakukan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat itu nanti.

Namun, sambungnya, hal yang membuat mereka melakukan itu adalah SK Menteri Kehutanan No. 327/2009 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) untuk PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

"Jika dengan aksi bakar diri ini kami harus tewas, maka ketahuilah bahwa SK 327 tahun 2009 itulah yang sesungguhnya telah membunuh kami," ujar Ridwan dalam siaran pers yang diterima Bisnis pada Selasa, (26/06/2012).

Dia menuturkan seharusnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak menciptakan penderitaan di mana Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat kaya.  Ridwan memaparkan apa yang mereka lakukan saat ini merupakan upaya untuk mendapatkan kemerdekaan mereka sendiri.

Dia memaparkan dalam setiap kesempatan bahwa sebagian besar warga Pulau Padang mendesak agar pemerintah mengevaluasi SK No.327/2009 dan mengeluarkan hamparan blok milik RAPP di wilayah tersebut. Sejumlah area konsesi RAPP di Pulau Padang mengalami tumpang tindih dengan lokasi permukiman warga.

Konflik itu berawal saat Kementerian Kehutanan menerbitkan  Surat Keputusan No.327/2009 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) kepada RAPP pada pertengahan 2009 di Pulau Padang. Namun Dinas Kehutanan Provinsi Riau  mengirimkan surat keberatannya kepada Kementerian Kehutanan pada September 2009 atau 2 bulan setelah izin RAPP terbit, dengan mengatakan izin  perlu ditinjau ulang. Dinas provinsi itu menemukan area RAPP masih tumpang-tindih, salah satunya adalah dengan suaka marga satwa Tasik Pulau Padang seluas 340,69 hektare. Selain itu, masih terdapat hutan produksi konversi seluas 23.411 hektare.

Laporan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat terhadap Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman di Pulau Padang,  yang dibentuk Kemen¬te¬rian Ke¬¬hutanan pada 27 Desember 2011, menemukan problem tersebut. RAPP memiliki daftar tumpang-tindih lahan pada sejumlah kawasan di Desa Tanjung Padang hingga Desa Lukit per Desember tahun lalu. Ini terdiri atas nama pribadi atau kelompok tani.

Masalah tumpang-tindih itu sedikitnya terdapat pada Dusun Sungai Hiu (enam pihak), Dusun Sungai Labu (empat pihak) dan Dusun Sungai Permata (satu pihak). Wilayah lainnya adalah Desa Lukit (23 pihak) serta kawasan Sungai Kuat (satu pihak), yang juga berada da¬¬lam desa tersebut. RAPP memang telah membuka hutan pada kedua desa itu: Dusun Sungai Hiu dan kawasan Senalit. (faa)

Sumber :http://www.bisnis.com/articles/aksi-bakar-diri-dikecam-salahkan-sk-menhut-dong

http://www.scaleup.or.id/publikasi-koran2012/090112-KONFLIK%20PULAU%20PADANG_%20Potret%20Buram%20Tata%20Ruang%20dan%20Tata%20Kelola%20Hutan%20di%20Indonesia.pdf

http://www.dephut.go.id/files/IUPHHK_HT_Permohonan_2008_2009.pdf

Minggu, 01 Juli 2012

“Menuju tata kelola hutan Pulau Padang berbasis rakyat”


PLATFORM BERSAMA Koalisi Pendukung Perjuangan Rakyat Kepulauan Meranti

“Menuju tata kelola hutan Pulau Padang berbasis rakyat”
Pembangunan kehutanan tahun 2011 secara umum dilatarbelakangi dengan kondisi bahwa perspektif optimalisasi pemanfaatan hutan perlu lebih dikembangkan tidak hanya bertumpu padap roduk kayu tetapi juga hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan sebagai penyedia udara bersih, penyerap karbon, keanekaragaman hayati, penyedia air dan wisata alam. Era sektor kehutanan yang berbasis kayu dan di luar kemampuan hutan untuk memproduksinya sudah saatnya dibatasi dan selanjutnya dilakukan penggalian potensi di luar kayu. Banyak ahli yang berpendapat bahwa kayu berkontribusi hanya sebesar 1% dari seluruh potensi hutan yang ada,dan ketika pohon di eksploitasi, 99% potensi lainnya ikut hilang.
Kementerian kehutanan mencatat, di dalam dan di sekitar kawasan hutan di Indonesia terdapat masyarakat yang kehidupannya terkait erat dengan hutan. Pada tahun 2003 dari 220 juta penduduk Indonesia terdapat 48,8 juta orang diantaranya tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan, dan kurang lebih 10,2 juta secara struktural termasuk kategori miskin/tertinggal. Penduduk tersebut sebagian bermata pencaharian langsung dari hutan yang ada disekitarnya, sedangkan yang bekerja disektor swasta kurang lebih 3,4 juta orang.
Konflik sumber daya alam atau agraria di Indonesia memperlihatkan trend peningkatan yang masif dalam beberapa tahun belakangan ini. Korsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2011 terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. Terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun 2010 sebanyak 106 konflik. Dari sisi korban, terdapat 22 warga yang meinggal dunia akibat kekerasan. Konflik tersebut terjadi diberbagai sektor  yaitu  97 kasus terjadi di sektor perkebunan (60%); 36 kasus di sektor kehutanan (22%); 21 kasus terkait infrastruktur (13%); 8 kasus di sektor tambang (4%); dan 1 kasus terjadi di wilayah tambak/pesisir (1%)[1].
Di antara 4 Provinsi di Sumatera, pada tahun 2011 Provinsi Riau menduduki posisi paling rentan konflik dan wilayah yang berkonflik terluas yaitu seluas 230.492 hektar, diikuti Sumatera Selatan  seluas 192.500 hektar, Jambi seluas 176.335 hektar dan Sumatera Barat 125.924 hektar[2]. Lebih detail, eskalasi konflik di Riau dalam 4 tahun terakhir terjadi konflik sangat tinggi. Tahun 2008, terjadi 96 kasus dengan korban kekerasan 1 korban meninggal dan 76 orang ditangkap/dipenjara. Tahun 2009, terjadi 45 kasus. Pada tahun 2010, terjadi 44 kasus konflik sumberdaya alam. Tahun 2011, terjadi 34 konflik[3].
Konflik antara masyarakat Pulau Padang di Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti dengan PT RAPP (APRIL Grup) adalah salah satu dari konflik yang terjadi sejak 2010 dan masih berlangsung hingga saat ini. Keberadaan PT RAPP disini dikarenakan Pulau Padang menjadi bagian dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 327 tahun 2009 entang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHKT-HT).  Konflik lainnya  yang sedang mengemuka yaitu antara Masyarakat Adat kenegerian Tigo Koto Sebelimbing di Kabupaten Kampar dengan PT. Perawang Sukses Perkasa Industri (PSPI), penyuplai kayu untuk grup APP/Sinar Mas telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan belum menemukan titik terang hingga saat ini.
Kerentanan dan ketergantungan masyarakat Pulau Padang terhadap hutan
Pulau Padang sejatinya masuk dalam kategori pulau kecil dan terbentuk dari kubah gambut yang sangat rentan jika ada aktifitas konversi hutan skala luas. Dengan pola pengelolaan secara tradisional, berdasarkan pengamatan kasat mata di Pulau Padang menunjukkan tingkat penurunan permukaan tanah gambut mencapai 1 meter lebih dalam beberapa tahun terahir. Penurunan permukaan ini terlihat dari jangkar pepohonan yang akarnya sudah di atas permukaan, juga terlihat pada tiang-tiang dan tangga-tangga rumah penduduk yang sudah disampung karena menyesuaikan dengan permukaan gambut yang menurun.
Perkebunan sagu yang menjadi tanaman yang menjadi ciri khas Pulau Padang, karena merupakan penghasil sagu terbesar kedua setelah Pulau Tebing Tinggi, juga sangat tergantung dengan debit air. Pertumbuhan sagu akan terganngu jika gambut terlalu kering atau terlalu tergenang.
Kondisi lain diperparah oleh makin tinggiinya pengikisan tanah di pesisir. Pengikisan air laut terlihat jelas dari tunggul-tunggul  pohon kelapa dan pohon jenis lain sudah berada di laut, dan rumah-rumah penduduk di psisir sudah digeser beberapa kali ke daratan karena terancam gerusan air laut.
Kerentanan lain yaitu masukknya air laut ke daratan sehingga berpotensi  menyebabkan masyarakat lokal akan mengalami kesulitan mendapatkan air tawar di kemudian hari. Di sisi lain masyarakat lokal juga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan karena hampir sebua kebutuhan untuk papan, bangunan rumah, perahu, pagar, dan bahwa untuk kuburan menggunakan kayu. Hal ini dikarenakan di Pulau Padang tidak terdapat bahan pengganti kayu, kecuali dengan mendatangkan bahan dari Kabupaten Tanjung Balai Karimun atau daratan Pulau Sumatera seperti Kabupaten Siak. Namun sudah barang tentu membutuhkan modal yang lebih tinggi karena jarak angkutnya membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kayu dari hutan setempat.
Sumber Masalah di Pulau Padang
Masyarakat Pulau Padang yang pada mulanya hidup tenang dengan pola pertanian dan perkebunan sagu dan karet mulai terusik ketika masuk perusahaan hutan tanaman pulp dan paper yang berencana mengkonversi hutan alam seluas 40.000 hektar dari 110.000 hektar luas Pulau Padang untuk dijadikan tanaman monokultur jenis Akasia. Tanaman akasia yang akan ditanam dimaksudkan untuk memasok bahan baku pabrik pulp dan paper PT. Riau Andalan Pulp dan Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan. PT. RAPP merupakan pemasuk (eksportir) pulp dan paper ke luar negeri lebih dari 80% dari total produksinya, dan berada di bawah bendera grup APRIL yang dimiliki oleh konglomerasi Sukanto Tanoto, yang sempat menjadi buronan BLBI.
Semuanya bermula dari keputusan Kementrian Kehutanan RI Nomor 327 tahun 2009 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHKT-HT) yang diberikan kepada perusahaan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Berdasarkan izin tersebut RAPP akan menghancurkan hutan gambut dan hutan alam di sejumlah kawasan hutan di Riau termasuk Semenanjung Kampar dan Pulau Padang dan menghilangkan mata pencaharian warga yang sangat bergantung pada kelestarian hutan. Hutan gambut dan alam yang akan dihancurkan RAPP dalam izin tersebut seluas 115 ribu hektar.
Izin tersebut dikeluarkan melalui banyak penyimpangan prosedur dan hukum. Di antaranya:
  1. Persyaratan administrasi:
    1. Rekomendasi Gubernur Riau Nomor 522/EKBANG/33.10 tanggal 2 Juli 2004 tidak sesuai dengan RTRWP Perda No. 10 Tahun 1994.
    2. (Kasus Pulau Padang) Rekomendasi Bupati Nomor 552.1/Hut/820 tanggal 11 Oktober 2005 tidak sesuai dengan RTRWK Perda No. 19 Tahun 2004.
    3. (Kasus Pulau Padang) Alih Fungsi Kawasan Dishut/BKPH tidak sesuai dengan TGHK Kepmen 173/1986
    4. Konfirmasi Kawasan: IUPHHK-HT hanya dapat diberikan dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT). IUPHHK-HT di Pulau Padang 100% tidak sesuai dengan TGHK.
    5. Penyusunan Amdal:
      1. (Kasus Semenanjung Kampar dan Pulau Padang) SK Gubernur Nomor Kpts 667/XI/2004 tentang kelayakan lingkungan sudah kadaluarsa. Sesuai PP No. 27 tahun 2999 tentang AMDAL pasal 24 ayat 1 menyatakan bahwa keputusan kelayakan lingkungan dinyatakan kadaluarsa apabila kegiatan usaha tidak dilakukan selama tiga tahun sejak terbitnya kelayakan lingkungan.
Bahkan Keputusan Gubernur Riau tersebut telah dicabut oleh Keputusan Gubernur lainnya  yakni Kpts.326/VII/2006 tanggal 6 Juli 2006.
  1. (Kasus Pulau Padang) Dokumen AMDAL tidak mempertimbangkan dampak subsidensi pada pulau kecil.  Dalam dokumen itu juga tidak ditemukan berita acara sosialisasi konsultasi publik pada desa terdampak padahal sebagaimana telah diatur dalam Kepmen LH No.2 Tahun 2004 dan Keputusan Kepada Bappedal No.8 tahun 2000)
  2. (Kasus Semenanjung Kampar dan Pulau Padang) Kegiatan pada izin berada pada kawasan bergambut yang melanggar Kepres No.32 tahun 1990, PP No.47 tahun 1997 dan PP No.26 tahun 2008.
  3. (Kasus Pulau Padang) Berita Acara Rapat Penilai AMDAL tanggal 20 Oktober 2004 belum menyetujui Dokumen Amdal dan tidak terdapat berita acara rapat tim penilai lainnya. Sehingga ini cacat proses.
  4. Aturan hukum lainnya:
    1. (Kasus Pulau Padang) Dalam UU No.27 tahun 2007 menegaskan bahwa luas Pulau Padang 111.500 hektar atau 1.115 km2 termasuk dalam kategori pulau kecil. Dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa pemanfaatan pulau kecail dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya. Pemanfaatnya diprioritaskan untuk kepentingan  1) konservasi, 2) pendidikan dan pelatihan, 3)  penelitan dan pengembangan, 4) budidaya laut, 5) pariwisata, 6) usaha perikanan dan keluatan dan industri kelautan secara lestari, 7)  pertanian organik dan atau 7) peternakan. Artinya Pulau Padang tidak diprioritaskan untuk kegiatan kehutanan.
DAMPAK SK 327 TAHUN 2009
Izin yang diterbitkan Kemenhut pada 2009 tersebut dilakukan dengan banyak melanggar peraturan telah berdampak secara serius terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial.
Lingkungan:
  1. Subsidensi dataran gambut adalah dampak utama dari izin tersebut. Dokumen RPL halaman III-6 menyatakan pembuatan kanal dan dan saluran drainase dalam menimbulkan subsidensi tanah gambut mencapai 50 cm pada tahun pertama dan rata-rata 10 cm pada tahun-tahun berikutnya.
  2. Penghancuran hutan alam dan gambut akan menghilangkan keanekaragaman hayati yang merupakan kekayaan alam Indonesia.
  3. Pelepasan emisi karbon dari pembukaan hutan dan gambut akan menyumbang pemanasan global.
Ekonomi:
  1. Masyarakat di sekitar hutan akan kehilangan mata pencaharian yang selama turun-temurun menggantungkan hidup pada kelestarian hutan.
  2. Perubahan dan beralihnya kepemilikan hak tanah akan lebih menyengsarakan masyarakat dan generasi berikutnya.
  3. Pembukaan hutan alam dan pengeringan gambut akan merusak ekosistem perairan seperti sungai yang selama ini menjadi mata pencaharian bagi nelayan.
Sosial:
  1. Sejumlah protes telah dilakukan berulang kali oleh masyarakat di sekitar hutan gambut Semenanjung Kampar dan Pulau Padang.  Bahkan protes dilakukan secara berkelanjutan hingga protes ekstrim dengan menjahit mulut oleh warga Pulau Padang. Protes dilakukan karena masyarakat tidak dilibatkan sebelum dan setelah izin diberikan kepada perusahaan sebagaimana diatur dalam ketentuannya.
  2. Penangangan protes dan penyelesaian konflik akibat SK 327 tersebut dilakukan secara sepihak dan tidak merata kepada masyarakat terdampak. Sehingga menimbulkan keresahan sosial.
  3. Pertaruhan pengambil-alihan kepemilikan faktor-faktor produksi oleh perusahaan telah memicu gejolak sosial dan keamanan bagi warga. Tidak adanya penyelesaian mendasar terhadap masalah ini akan mendorong tingkat frustasi masyarakat pada titik ekstrim dalam membela hak-hak hidup mereka.

SOLUSI
Kembalikan tata kelola hutan berbasis industri  kepada tata kelola hutan berbasis masyarakat
Menyerahkan pengelolaan hutan Pulau Padang  pada PT. RAPP bukan solusi yang tepat dan tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Contoh-contoh di tempat lain di Riau menunjukkan bahwa masuknya perusahaan hutan tanaman justru menghilangkan sumber-sumber penghidupan masyarakat lokal, baik karena hilangnya jasa lingkungan akibat kerusakan ekologi seperti sungai mengering, susahnya mendapatkan air bersih, ikan-ikan sebagai mata pencaharian musnah, munculnya hama-hama pengganggu pertanian dan perkebunan karena hutan sebagai habitatnya hilang. Tanaman Akasia terbukti tidak memberi ruang bagi kehidupan keragaman flora fauna, sehingga eksodus menyerang pertanian dan perkebunan masyarakat lokal.
Karena itu, Koalisi ini menyerukan pada pemerintah untuk tidak lagi menyerahkan pengelolaan hutan pada industri eksploitatif seperti PT RAPP, dan sesuai dengan visi pembangunan kehutanan semestinya pengelolaan hutan lebih dititik-beratkan pada tata kelola hutan berbasis masyarakat (community base forest management). Memberikan kesempatan pada masyarakat mengelola hutan bukan saja sejalan dengan agenda pemberantasan kemiskinan tapi juga sejalan dengan semangat Internasional melalui program PBB tentang MDGs (Millenium Development Goal).
Untuk menuju tercapainya tujuan  di atas maka langkah yang harus segera diambil oleh pemerintah Indonesia adalah dengan melakukan  “Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009 dengan mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari area konsesi”.
Dan tahapan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
  1. Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Biro Hukum Kemenhut, Dirjen BUK, NGO)
  1. Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang dilakukan tim independen (Ahli, LSM, Masyarakat)
  1. Menyiapkan langkah antisipasi terhadap konsekuensi hukum antara lain gugatan perdata dan gugatan PTUN.
  1. Menegosiasikan ganti rugi kepada pemegang perizinan.
Untuk detail kegiatan sebagai berikut :
  1. Kementrian Kehutanan membuat rencana pemanfaatan hutan Pulau Padang.
  2. Mempercepat proses padu serasi RTRWP dengan TGHK terkait keberadaan desa desa yang berada di Pulau Padang dengan menerbitkan SK Penetapan Sementara oleh Menteri Kehutanan terhadap areal yang tidak bermasalah.
  1. Melakukan analisis tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan dan hutan sebagai dasar penyelesaian konflik dan model pemberdayaan masyarakat di Pulau Padang.
Nilai-nilai perjuangan Koalisi
Koalisi ini akan bekerja secara sistematis dan berkelanjutan dengan mengacu pada nilai-nilai perjuangan yang tidak keluar dari norma-norma hukum, norma-norma agama, norma-norma kesusilaan dan norma-norma adat yang berlaku secara universal maupun yang berlaku di masyarakat lokal. Secara eksplisit nilai-nilai perjuangan koalisi ini yaitu :
  1. Menhormati Hak Asasi Manusia termasuk hak-hak komunitas untuk menentukan nasib sendiri (self detemination).
  2. Menjunjung tinggi keadilan
  3. Mempromosikan pendekatan anti kekerasan dan perdamaian
  4. Menentang diskriminasi atas nama gender, suku, ras dan agama
  5. Mendorong pengelolaan sumber daya alam yang lestari secara sosial maupun ekologi
  6. Memperjuangkan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat
  7. Menentang industri skala besar yang merusak dengan cara-cara yang kreatif menuju perubahan kebijakan
Pekanbaru, 29 Juni 2012
Koalisi Pendukung Perjuangan Rakyat Kepulauan Meranti
(Walhi Riau, STR, PRD Riau, JMGR, Jikalahari, Greenpeace, Kabut, TII Riau, Scale Up, Rumah Pohon)

[1] Catatan Akhir Tahun 2011, Korsorsium Pembaharuan Agraria, 2011.
[2] Laporan Monitoring posko pengaduan konflik Sumber Daya Alam di Riau, Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Selatan, Scale Up dan Mitra kerja (Walhi Riau, Qbar, Cappa, Walhi Sumatera Selatan), 2011.
[3] Laporan tahunan Scale Up, 2008, 2009, 2010, 2011, dapat diakses pada http://scaleup.or.id/publikasi-akhirthn.html

SENGKETA LAHAN: 600 Petani akan 'Kepung' Jakarta

SENGKETA LAHAN: 600 Petani akan 'Kepung' Jakarta

Large_hutan-fw_dc
 
JAKARTA: Sebanyak 600 petani dari 20 desa di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan akan 'mengepung' Jakarta untuk sedikitnya empat hari ke depan dengan melakukan unjuk rasa akibat sengketa lahan dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Unit Usaha Cinta Manis.
 
Mereka  juga akan melaporkan dugaan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sektor perkebunan tebu. 
 
Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan para petani menuntut pengembalian lahan mereka yang diserobot PTPN VII unit Cinta Manis dan meminta  kejelasan  atas konflik lahan yang sudah terjadi sejak 30 tahun silam.
 
Para petani itu diangkut dengan 14 bis besar dan sepuluh mobil pribadi dengan biaya sendiri menuju ibukota. 
 
"Sekarang mereka sudah di Jakarta. Ini merupakan  kelanjutan rangkaian aksi – aksi yang sudah dilakukan sebelumnya mulai tingkat lokal, daerah dan tingkat propinsi," kata Iwan di Jakarta hari ini, Minggu (1/06/2012). "Aksi penguasaan lapangan juga sudah dilakukan di tingkat desa."
 
Rencananya, aksi demonstrasi, termasuk  menemui perwakilan setiap lembaga negara, akan dilakukan pada 2 Juli-5 Juli . Aksi mereka dimulai dari Senin yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Mabes Polri (kawasan Kebayoran Baru); Selasa mendatangi Kementerian Keuangan (kawasan Lapangan Banteng Timur) dan Kementerian Negara BUMN (kawasan Medan Merdeka Selatan); Rabu mendatangi Istana Negara (kawasan Medan Merdeka Utara); Kamis mendatangi KPK (kawasan Rasuna Said) dan DPR RI (kawasan Senayan).
 
Rencananya, mereka akan menginap di Kementerian Negara BUMN setelah melakukan aksi unjuk rasa tersebut. 
 
"Kami juga akan melaporkan kasus dugaan korupsi di sektor perkebunan ke KPK, karena  pajak yang dilaporkan lebih kecil dari pendapatan sebenarnya," kata Iwan. "Ini dikarenakan lahan yang dikuasai dan dikerjakan lebih besar dibandingkan dengan lahan yang tercatat di Hak Guna Usaha."
 
Anwar Sadath, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan, mengatakan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN VII unit Cinta Manis hanya mencapai 6.500 hektar, sedangkan izin prinsip yakni terkait dengan inventarisasi lahan mencapai 20.000 hektar. Walhi menilai sekitar 13.500 lahan yang dikerjakan oleh PTPN VII tak memiliki alas hak karena belum mendapatkan sertifkat dari BPN.
 
"Ini belum lagi dengan pengerjaan lahannya di lapangan yang bisa mencapai sekitar 30.000 hektar.  PTPN juga melakukan perampasan lahan milik warga dan melakukan kriminalisasi sebagai salah satu upaya represif," kata Anwar. "Tuntutan petani adalah pemerintah pusat mengevaluasi kembali HGU PTPN 6.500 hektar dan sisa lahan dikembalikan kepada petani."
 
Anwar mengatakan pengaduan mereka ke Kementerian Negara BUMN terkait dengan dugaan kerugian negara akibat pembayaran pajak hanya berbasiskan berapa HGU yang dimiliki oleh PTPN VII. Mereka juga meminta agar kementerian itu bersama-sama dengan Kementerian Keuangan dapat melakukan audit terhadap pendapatan perusahaan negara itu.
 
Aksi yang akan dilakukan oleh Gabungan Petani Penesak Bersatu (GPPB) juga mendesak kepolisian tak terlibat dalam konflik pertanahan karena seringnya terjadi kriminalisasi terhadap warga. Padahal, kata Anwar, mereka melakukan hal itu untuk memperjuangkan tanahnya sendiri. (sut)
 
Sumber : http://www.bisnis.com/articles/sengketa-lahan-600-petani-akan-kepung-jakarta
 

Ketua LAM Riau Temui Demonstran Pulau Padang




 
Senin, 02 Juli 2012 -
Sembilan orang warga Pulau Padang berniat membakar diri usai menuntut pencabutan SK 327 Menteri Kehutanan tahun 2009. Mereka mengancam hanya dapat dihentikan jika SK tersebut dicabut.

Hal ini disampaikan perwakilan warga Pulau Padang saat menerima kunjungan Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Al azhar, Minggu (1/7/12) di depan DPRD Provinsi Riau.

"Kalau kita melihat langkah yang ditawarkan LAM dengan pertemuan ini, sah-sah saja. Kita harapkan mereka bersama masyarakat, untuk bisa berangkat ke Jakarta untuk menyelesaikan masalah ini. Yang masyarakat inginkan SK 327 direvisi untuk menghentikan pekerjaan di Pulau Padang, itu saja," ujar Bambang Aswandi SE dari PRD yang mendampingi masyarakat.

Apa yang dilakukan masyarakat, diungkapkan Bambang adalah respon setelah tapal batas ditentukan.

"Setelah 5 Juli saat tapal batas ditentukan, operasional RAPP akan dimulai lagi. Ini yang tidak diinginkan masyarakat. Sebab operasional di lapangan harus dihentikan," lanjutnya.

Masyarakat Pulau Padang yang menggelar aksi ini menilai pemerintah sengaja mengulur waktu. "Ada tiga bulan penghentian. Ada tiga tim yang diturunkan, tapi tak satupun yang berjalan," katanya.

Dengan pertemuan ini, dikatakan Bambang, masyarakat menaruh harapan besar. "Besar harapan kita kepada orang tua, dan tokoh masyarakat agar segera memberikan solusi. Apalagi yang kita bicarakan adalah tanah Melayu," katanya.

Bambang khawatir jika SK 327 itu tak juga dicabut, aksi bakar diri akan nekat dilakukan.

"Senin (2/7) mereka berangkat sembilan orang untuk menemui Menteri Kehutanan dan Presiden, karena mereka adalah pengambil kebijakan. Jika tidak dipenuhi, mereka akan bakar diri di depan istana negara," ujarnya.

Sementara itu, Ketua LAM Riau, Al azhar usai pertemuan mengatakan Sabtu yang lalu pihaknya bersama MUI, FKPMR, dan Kesbangpolinmas bertemu menindaklanjuti pertemuan sebelumnya, yaitu antara massa yang melakukan aksi dengan ketiga lembaga tersebut.

"Itu kan belum disampaikan ke kawan-kawan ini. Hasil yang disampaikan ada dua. Pertama, apa yang dilakukan ketiga organisasi ini dalam waktu dekat, yaitu hari selasa besok," jelas Al azhar.

Dikatakannya, dari pertemuan dengan pihak warga Pulau Padang substansi dari pergerakan masyarakat itu bukanlah bakar diri, melainkan SK 327 itu dievaluasi dan direvisi hingga mengeluarkan Pulau Padang dari SK 327 itu.

"Atas dasar apa itu dievaluasi, dijelaskan kawan-kawan tadi. Ada beberapa syarat yang sebenarnya di dalam proses itu tidak benar. Karena itu kita ingin melihat syarat-syarat apa itu, dengan fokus kepada evaluasi. Jalan untuk melakukan evaluasi itu apa, lalu akan kita update indikasi-indikasi kesalahannya," lanjutnya.

Indikasi-indikasi ini, lanjut Al azhar akan diverifikasi pada pertemuan hari Selasa.

"Atas dasar itulah kita lakukan langkah selanjutnya yang bermuara pada kepastian hukum harus dipatuhi oleh semua pihak," terangnya.**rpo


Sumber : http://www.metroterkini.com/read-2809-2012-07-02-ketua-lam-riau-temui-demonstran-pulau-padang.html

SK 327 Terindikasi Bermasalah

SK 327 Terindikasi Bermasalah
LAM, MUI, FKMR Akan Ajukan Uji Materi SK 327 ke MK


 
Minggu, 01 Juli 2012 - 22:16:34 WIB
Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau, dan Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKMR), menilai bahwa surat keputusan Menhut No.327/2009 tentang izin tanaman industri PT RAPP di Pulau Padang, Merbau Kepulauan Meranti Riau terindikasi bermasalah. Untuk itu ketiga pihak segera membahas SK tersebut, bahkan berancang-ancang untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Hari Selasa nanti (3/7), kami akan membahas SK itu dengan instansi terkait terutama Dinas Kehutanan Riau, sekaligus memutakhirkan indikasi permasalahan dimaksud,’’ kata Ketua Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAMR yang juga Ketua Harian FKMR, Al azhar, kepada pers Sabtu (30/6). Langkah ini diperlukan karena indikasi bermasalahnya SK 327 tersebut sudah dinyatakan berbagai pihak baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Kehutanan-nya sejak 2009.

Al Azhar belum bersedia menyebutkan secara rinci soal masalah apa-apa saja yang terkait dengan SK itu karena akan dimutakhirkan. Jumlahnya lebih dari 12 pasal yang setidak-tidaknya tergambar dengan adanya konflik di Pulau Padang akibat turunnya SK tersebut.

secara terpisah, warga Pulau Padang yang dipimpin M Ridwan, Sabtu (30/6/12) lalu mendatangi balai LAMR, jalan Diponegoro Pekanbaru. Mereka menyampaikan segala permasalahan yang hadapi di depan LAMR, MUI Riau, dan FKMR.

"Bakar diri tersebut kami lakukan untuk memperkecil korban akibat SK tersebut," katanya seraya menambahkan, kalau tidak demikian, bisa saja terjadi kasus Bima di Pulau Padang yang ditandai berbagai tindakan fisik sehingga menimbulkan korban jiwa maupun fisik yang tidak sedikit.

Sehubungan dengan hal itu, baik LAMR, MUI Riau, dan FKMR, meminta agar warga tidak melakukan tindakan bakar diri. Sebab, masih ada jalan lain yang dapat ditempuh termasuk dengan apa-apa yang hendak dilakukan ketiga lembaga tersebut.

"Tiga tahun ananda-ananda telah bersabar dengan hal ini, kami selaku orang tua meminta agar kesabaran itu diperpanjang sedikit saja, sementara kami akan menindaklanjuti kasus ini sesuai dengan kemampuan kami," kata Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) Riau, H Tenas Efendi yang didampingi Ketua MUI Riau, Prof Dr H Mahdini MA.**rpo 


Sumber :http://www.metroterkini.com/read-2800-2012-07-01-lam-mui-fkmr-akan-ajukan-uji-materi-sk-327-ke-mk.html

Koalisi NGO: Presiden Harus Selesaikan Kasus Pulau Padang

KOALISI  Pendukung Perjuangan Rakyat Kepulauan Meranti mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera bertindak menyelesaikan kasus kehutanan di Riau terutama di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti.  Presiden harus bergerak cepat untuk mencegah aksi bakar diri 10  warga setempat.

Penangguhan izin terhadap PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) solusi cepat yang bisa diambil pemerintah guna memberi waktu bagi penyelesaian konflik antara perusahaan dengan masyarakat.
Riko Kurniawan, jurubicara koalisi mengatakan, koalisi menilai aksi bakar diri masyarakat tidak patut terjadi. Namun, keputusan bertindak ekstrim ini terjadi akibat frustasi tinggi karena masyarakat telah kehilangan harapan. Sebab, fungsi pemerintah dalam melindungi warga tak berjalan.
“Upaya penyelesaian konflik yang telah dan sedang dilakukan pemerintah selalu mengedepankan kepentingan industri dan memposisikan masyarakat pada ketidakadilan,” katanya, Jumat(29/6/12).
Untuk itu, Presiden harus mengambil-alih tanggung jawab menghentikan keputusan ekstrim dari masyarakat korban konflik kehutanan di Riau dan di sejumlah daerah lain.  “Ini kesempatan baik bagi presiden memulai menata kembali persoalan di Kementerian Kehutanan,” ujar dia.

Warga Pulau Padang yang membentuk Posko Bakar Diri di DPRD Riau. Jika pemerintah cenderung mengakomodir keinginan pengusaha besar, dan masyarakat lokal makin terpinggirkan, konflik antara warga dan perusahaan tak akan pernah usai. Foto: Ahlul Fadli
Konflik masyarakat dengan perusahaan di Pulau Padang, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti dengan PT RAPP (APRIL Grup) terjadi sejak SK Menhut nomor 327 tahun 2009 keluar. SK ini menambah luasan wilayah konsesi RAPP yang sebelumnya sudah diperoleh di Riau, di antara konsesi tambahan ada di hutan gambut Pulau Padang dan Semenanjung Kampar.
Penyimpangan hukum atas terbit SK 327 ini setidaknya ada pada proses kelengkapan administrasi, konfirmasi kawasan, penyusunan Amdal dan pelanggaran terhadap aturan hukum lain.
“Dari pelanggaran proses perizinan ini wajar saja protes dari masyarakat terus terjadi karena ini menyangkut pengambil-alihan hak penguasaan tanah dari generasi mereka.”
Pulau Padang sejatinya masuk kategori pulau kecil dan terbentuk dari kubah gambut yang sangat rentan jika ada aktivitas konversi hutan skala luas. Dengan pola pengelolaan tradisional, berdasarkan pengamatan kasat mata di Pulau Padang menunjukkan penurunan permukaan tanah gambut mencapai satu meter lebih dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, perkebunan sagu yang menjadi sektor andalan masyarakat Pulau Padang akan terganggu karena konversi hutan gambut dan akan membuat lahan terlalu kering. Kondisi lain diperparah makin tinggi pengikisan tanah di pesisir. Masyarakat lokal juga memiliki ketergantungan tinggi terhadap hutan.
Bukan saja sektor lingkungan dan ekonomi, dampak sosial dari SK 327 ini jauh lebih merugikan. Sejak SK ini diterbitkan, keutuhan sosial masyarakat tidak lagi ada. Penyelesaian konflik secara sepihak dan pro-industri meningkatkan keresahan sosial.
Masyarakat Pulau Padang, mulanya hidup tenang dengan pola pertanian dan perkebunan sagu dan karet mulai terusik ketika RAPP masuk. Perusahaan ini akan mengubah hutan alam seluas 40.000 hektare (ha) dari 110.000 ha luas Pulau Padang untuk tanaman monokultur akasia.
Koalisi Pendukung Perjuangan Rakyat Kepulauan Meranti ini terdiri dari Walhi Riau, Serikat tani Riau, PRD Riau, JMGR, Jikalahari, Greenpeace, Kabut, TII Riau, Scale Up, Rumah Pohon.
Merasa Diabaikan
Sementara, warga Pulau Padang di Posko 10 Nyawa untuk SBY merasa sampai saat ini, pemerintah mengabaikan perjuangan dan tuntutan mereka.
Ridwan Ketua Tani Riau (STR) mengatakan, pemerintah masih saja menjalankan keinginan dan tak mau mendengar suara warga.  “Perjuangan ini untuk menuntut keadilan agar Presiden melakukan evaluasi terhadap SK 327,” katanya, Jumat(29/6/12).
Mereka meminta, pemerintah mengeluarkan seluruh Blok PT RAPP seluas 41.205 hektare dari Pulau Padang. Namun, katanya, saat ini, di Pulau Padang, malah Badan Pemetaan Hutan Kawasan (BPHK) Tanjung Pinang, bersama PT RAPP dan tim terpadu Kabupaten Kepulauan Meranti tetap pemetaan tapal batas.
“Apakah mereka tak mengetahui seakan tak ada masalah.  Hingga mereka tetap membuat tapal batas untuk melanjutkan operasional.” “Senin 2 Juli, kami pasti tetap ke Jakarta.”

Oleh Sapariah Saturi,  June 29, 2012
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2012/06/29/koalisi-ngo-presiden-harus-selesaikan-kasus-pulau-padang/

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah