Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Rabu, 27 November 2013

PTPN IV Sepakat Dilakukan Pengukuran

28 November 2013

BAGANSIAPI-API (RP) - Komisi I DPRD Rokan Hilir kembali hearing dengan pihak PTPN IV, Senin (25/11) lalu.

Dalam kegiatan itu turut dihadiri Asisten I Pemkab Rusli Syarief, Kabag Tata Pemerintahan A Arslan, Kepala Dinas Perkebunan Syahril sementara dari pihak komisi I hadir Ketua Komisi Dedi Humadi, dan anggota Bahktiar SH, HM Bachid Madjid dan Rasmali SH.

Pada kesempatan itu, Kepala Urusan Bagian Hukum dan Pertanahan PTPN IV Jimi didampingi Manajer M Simarmata mengakui masuknya operasionalisasi yang dilakukan hingga ke wilayah Rohil tepatnya di sejumlah lahan milik warga di Kepenghuluan Panipahan Laut dan Kepenghuluan Panipahan Darat, Kecamatan Pasir Limau Kapas (Palika).

‘’Namun untuk tindak lanjut berapa luas areal yang terkena itu kita masih tunggu klarifikasi untuk pengukuran, taat hukum kita. Sama di negara ini, di mana pun sama aja, bagaimana agar ada win-win solution,’’ kata Jimi.

Dia menyebutkan belum ditetapkan untuk tindak lanjut atas kejadian tersebut karena masih menunggu dilakukan pengukuran oleh pihak BPN Rohil setelah pilgubri putaran II dilaksanakan. Ia mengakui tidak tertutup kemungkinan bila perlu dilakukan ganti rugi nantinya.

Menyusul dengan terungkapnya persoalan yang terjadi, Jimi mengeluhkan adanya LSM yang berdatangan ke kantor PTPN IV di Sumut.

‘’Kami sering di demo, kami sudah diskusikan ini kami ingin ditindak lanjuti, biar lebih nyambung kita perlu cari tahu itu sah atau tidak, punya hak atau tidak,’’ ujarnya.

Anggota DPRD Bahktiar SH mengatakan, dari dua wilayah kepenghuluan, terbanyak dialami warga di Panipahan Darat.

Lahan yang terkena perluasan kebun PTPN IV, umumnya telah dikerjakan oleh warga dengan kegiatan cocok tanam kelapa, sawit, pisang dan sebagainya.

Ketua Komisi I DPRD Rokan Hilir Dedi Humadi menyerahkan kesimpulan mengenai luas lahan yang dipersoalkan itu diserahkan pengukuran ke pihak BPN.

‘’Kami selanjutnya menunggu hasil perundingan secara intern dari Pemkab melalui instansi terkait,’’ ujarnya.(fad)

Sumber:riaupos.co

Kamis, 21 November 2013

HGU PTPN V di Sinama Nenek Riau Diragukan

22 November 2013 

Pekanbaru, (antarariau.com) - Pakar Hukum dari Universitas Riau, DR Firdaus SH meragukan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) telah memperoleh HGU terhadap lahan seluas  2.800 hektare  di Desa Sinama Nenek, Tapung Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
       
"Kuat dugaan PTPN V belum memiliki HGU itu dan jika belum apa dasar hukumnya sehingga PTPN V tetap mengelola tanah tersebut untuk perkebunan kelapa sawit," kata dia di Pekanbaru.
       
Tanggapan tersebut disampaikannya berkaitan dengan kasus perampasan 2.800 hektare lahan yang dianggap sebagai warisan nenek moyang warga Desa Sinama Nenek Tapung Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Dan hal itu  menjadi akar sengketa agraria yang sempat berujung bentrokan berdarah beberapa waktu lalu dengan masyarakat Desa Sinama Nenek itu.
       
Namun manajemen PTPN) V Riau akhirnya berjanji mengganti lahan seluas 2.800 hektare yang menjadi hak ulayat warga  Desa Sinama Nenek, Tapung Hulu, Kabupaten Kampar itu.
       
Menurut Ketua Magister Ilmu Hukum Unri itu, dalam kasus tersebut pertama yang harus diteliti adalah aspek jaminan kepastian hukum terhadap tanah ulayat.
       
Politik hukum di negeri ini, katanya, belum berpihak kepada masyarakat lokal, hukum memberikan persyaratan-persyaratan yang secara akademik masih menimbulkan problem.
       
"Misalnya tanah ulayat diakui jika masyarakat adat dianggap masih ada," katanya lalu apakah masyarakat adat pernah tidak ada, jika pernah tidak ada, apa yang menyebabkan ia menjadi tidak ada seperti kejahatan kemanusia atau musibah alam?.
       
Ia memandang bahwa tidak ada suatu penelitian yang dilakukan dan menghasilkan temuan bahwa masyarakat adat di Indonesia pernah tidak ada.
       
Sebaliknya, katanya lagi, hukum memberikan persyaratan bahwa tanah ulayat diakui apabila ditetapkan melalui peraturan daerah (perda).    
  
"Pertanyaannya apakah mungkin secara politik pemerintah daerah membuat perda yang menentukan tanah ulayat masyarakat tertentu," katanya.
       
Berikutnya, apakah tanah ulayat yang telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan dan bahkan ada yang telah berstatus HGU dapat ditetapkan Perdanya oleh DPRD, tanpa status HGUnya dicabut, dan siapa yang bersedia mencabut atau membatalkannya.
       
"Ketiga terkait kasus tanah ulayat Sinamanenek, apakah PTPN V telah memperoleh HGU terhadap tanah tersebut, jika belum apa dasar hukum sehingga PTPN V tetap mengelola tanah tersebut untuk perkebunan kelapa sawit," katanya.
       
Merujuk tersebut, ia mengatakan, apakah sebuah perusahaan dapat melaksanakan kegiatan usaha perkebunan  jika hanya bersandarkan pada izin prinsip, izin lokasi, tanpa ada HGU.
Frislidia
COPYRIGHT © 2013

Sumber:antarariau.com

Warga Inuman Ancam Duduki Lahan PT WJT

21 November 2013 
Berita Terkait:karupuaksagu.blogspot.com/2013/11/


Pekanbaru, (antarariau.com) - Warga Kecamatan Inuman Kabupaten Kuantan Singingi Riau mengancam akan menduduki lahan yang menurut mereka telah diserobot oleh PT. Wanna Jingga Timur (WJT), perusahaan grup Duta Palma.
   
"Jika PT WJT juga tidak mengindahkan panggilan pertemuan oleh DPRD Riau sampai tiga kali, kami warga Inuman akan mengambil tindakan, tapi tetap tidak anarkis," kata salah seorang warga Kecamatan Inuman Muhardi Pendekar Lama Datuk Gindo Lano di Pekanbaru, Rabu.
   
Ia mengaku kecewa dengan pihak PT WJT yang juga tidak mengindahkan panggilan DPRD dalam pertemuan penyelesaian konflik lahan antar kedua pihak. Warga meminta DPRD Riau memanggil PT WJT karena panggilan DPRD Kabupaten Kuansing sebanyak beberapa kali juga tidak diindahkan.
   
Sebelumnya warga melaporkan ke DPRD Riau mengingat posisi tawar DPRD Riau yang lebih tinggi dari DPRD Kabupaten Kuansing. Namun hal itu tak terbukti ketika pada pertemuan barusan, PT WJT kembali tidak mengindahkan panggilan.
   
Permasalahan antara PT WJT dan warga Kecamatan Inuman telah berlangsung sejak 2002. Namun sampai saat ini tuntutan masyarakat yang menganggap PT WJT menyerobot lahan mereka belum terselesaikan, bahkan mediasipun tidak pernah terealisasi.
   
PT WJT dituding oleh warga menyerobot lahan di empat Kecamatan. Diantaranya Kecamatan Kuantan Hilir, Kecamatan Cirenti, Kecamatan Basra, dan Kecamatan Inuman sendiri.
   
Luas lahan yang menjadi konflik adalah 1500 Hektare dan di Kecamatan Cirenti sendiri sejumlah 750 Hektare. Selama ini pihak PT WJT menurut Muhardi tak pernah transparan memeberikan bukti Hak Guna Usaha (HGU) lahan tanaman industri ke masyarakat.
   
Warga menganggap tanah yang diduduki tersebut adalah tanah ulayat masyarakat sehingga tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan Industri Kayu. Saat ini menurut warga perusahaan tersebut terus melakukan operasi penanaman pohon industri.
   
Gumpita, salah seorang anggota DPRD Riau yang menerima laporan tersebut menyatakan saat ini data dari masyarakat masih kurang dan ditambah lagi perbedaan data dari Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan baik tingkat Provinsi dan Kabupaten.
   
"Saran kita supaya dilengkapi dulu data secara komprehensif, sambil menunggu pertemuan berikutnya dengan kembali memanggi PT WJT," kata Gumpita.
0
COPYRIGHT © 2013

Sumber:antarariau.com

Konflik Lahan PT WJT Berlarut-larut Sejak 2002

21 November 2013

Pekanbaru, 21/11 (Antara) - Sejumlah warga Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) mengadukan permasalahan konflik lahan tanah ulayatnya dengan PT Wanna Jingga Timur (WJT) dari grup Duta Palma ke DPRD Riau.
   
"Kita terpaksa mengadukan masalah ini ke DPRD Riau karena sejak tahun 2002 baik DPRD Kuansing tidak ada hasilnya. Meraka tetap gagal menyelesaikan masalah ini bahkan tidak bisa memanggil pihak perusahaan," kata warga dari salah satu kecamatan berkonflik Muhardi Pendekar Lama di Pekanbaru.
   
Menurutnya konflik lahan ini terjadi di tiga kecamatan diantaranya Kecamatan Inuman, Kecamatan Cerenti, dan Kecamatan Kuantan Hilir. Ia sendiri berasal dari kecamatan Inuman. Satu-satunya kecamatan berkonflik yang menemui DPRD Riau.
   
Dalam tuntutannya ia meminta kepada PT Wanna Jingga Timur untuk beranjak dari lahan yang dianggap tanah ulayatnya. Konflik lahan tersebut memiliki luas 1500 hektare dan di Kecamatan Inuman sekitar 750 hektare.
   
Muhardi Pendekar Lama yang menamakan kelompoknya Badan Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (BPPK) menyesalkan tindakan perusahaan WJT yang tidak terbuka kepada masyarakat.
   
"Sampai sekarang kami tidak pernah diberitahukan berapa HGU sebenarnya, sehingga konflik ini jadi berlarut-larut," katanya.
   
Di Kuansing sendiri usaha untuk itu juga tidak ada. Terhitung sejak 2002 telah ada pertemuan dengan DPRD Kuansing membahas masalah ini, namun tak kungjung menujukkan hasil.
   
Sementara itu ikut dalam pertemuan tersebut anggota DPRD Kabupaten Kuansing, mengatakan jika masalah ini baru mengemuka sekarang. Sebelum 2004 telah dilakukan mediasi namun tetap gagal menghadirkan pihak WJT.
   
Ia sendri mengakui pada saat itu belum menjadi anggota DPRD Kuansing. Menyangkut masalah ini telah ditangani oleh DPRD Provinsi Riau, ia menilai bahwa DPRD Kuansing tidak akan menangani ini lagi namun tetap ikut membantu proses penyelesaian masalah.
   
"Ya kalau sudah di DPRD Riau kenapa harus balik lagi ke DPRD Kuansing. Kita tentu tak ingin mengambil permasalahan yang telah ditangani DPRD Riau," katanya.


COPYRIGHT © 2013

Sumber: antarariau.com

PT MAL Mangkir dari Pemeriksaan

Rabu, 20 November2013

Berita Terkait:
.Penguasaan Lahan ilegal
.

TRIBUNPEKANBARU.COM Direktur Keuangan PT Mekar Alam Lestari (MAL), Pelalawan, Rabu (20/11) mangkir atau tidak datang dipanggil Tim Penyidik Pidsus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau untuk menjalani pemeriksaan terkait dugaan penguasaan lahan sejak 2007 tanpa izin di Pelalawan.
Sebagai tindak lanjutnya Penyidik akan memanggil ulang Direktur Keuangan PT MAL tersebut. "Panggilan ualangnya kita agendakan Jumat (22/11) nanti," ujar Kasi Penyidikan Pidsus Kejati Riau Rachmat Lubis SH kepada wartawan, Rabu (20/11).

Menurut Rachmat, Direktur Kuangan PT MAL dipanggil sebagai saksi. "Tapi hingga pukul 15.00 Direktur Kuangan itu tidak hadir tanpa alasan yang jelas. Atas dasar itulah kita lakukan pemanggilan ulang," ucap Rachmat.(31/10/13).

Dalam kasus tersebut kata Rachmat lagi, pihaknya sudah memeriksa Kepala Dinas Kehutanan (Kadishuta) Pelalawan dan Direktur Utama (Dirut) PT MAL, Jupen.

Menurut Rachmat, PT MAL yang berlokasi di kawasan Kerumutan Kabupaten Pelalawan telah menguasai lahan 1.900 hektar tanpa memiliki surat resmi pada tahun 2007 lalu. "Atas hal itu masyarakat melapor ke kita, sebagai tindaklanjutnya kita lakukan pengumpulan bukti dan keterangan (Pulbaket)," ujar Rachmat. (*)
Penulis: Rino Syahril
Editor: zid

Rabu, 20 November 2013

Kades Berkomplot Jual Lahan Ilegal Bila Tak Hati-hati Menerima izin Penguasaan Lahan dari Kades, Ini Akibatnya

Minggu, 17 November 2013
PEKANBARU, GORIAU.COM - Kejahatan perambahan lahan hutan untuk dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan agaknya memang selalu melibatkan oknum pejabat pemerintah.

Tidak hanya di level gubernur atau bupati/wali kota, bahkan setingkat Kepala Desa pun terbukti berkomplot untuk meraup keuntungan dari hasil kejahatan hutan tersebut.

Terakhir, Kepolisian Daerah Riau bersama jajaran menangkap S, seorang Kepala Desa Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis karena diindikasi telah menjual lahan di kawasan cagar biosfer. "Sudah jelas, kalau lahan di kawasan cagar biosfer itu tidak dibenarkan diperjual belikan," kata Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo kepada wartawan di Pekanbaru, Minggu malam (17/11/2013).

Lewat telekomunikasi selular, Guntur menjelaskan, S disebut oleh sejumlah tersangka sebelumnya turut terlibat dalam pemberian izin secara ilegal.

Pelaku menurut Guntur, telah beberapa kali menerbitkan surat keterangan hak kuasa lahan di kawasan cagar biosfer. "Jadi total tersangka pada kasus perambahan ilegal dan penjualan lahan di kawasan cagar biosfer ini menjadi tujuh orang. Kasusnya masih akan terus dikembangkan," katanya.

Sebelumnya Polda Riau melalui Polres Bengkalis juga telah menetapkan enam orang sebagai tersangka, satu diantaranya telah berumur lebih 68 tahun sehingga tidak dilakukan penahanan.

Sementara lima orang lainnya adalah dari Koperasi SPTI yang menggarap kawasan cagar biosfer secara ilegal dan mengalihfungsinya menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Polisi juga mengamankan barang bukti sejumlah sampel bibit kelapa sawit yang telah ditanam di kawasan terlarang, serta kayu dengan taksiran takaran mencapai 20 ton.

Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, diresmikan pada 26 Mei 2009 di Korea Selatan. Penetapan kawasan yang terletak di antara Kabupaten Siak dan Bengkalis itu sebagai cagar biosfer melengkapi enam cagar biosfer Indonesia lainnya, yaitu cagar biosfer Gunung Leuser, Pulau Siberut, Cibodas, Tanjung Puting, Pulau Komodo, dan Lore Lindu.

Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu menjadi bagian World Network of Biosphere (WNBR) UNESCO yang terdiri dari 553 lokasi cagar biosfer di 107 negara sejak 2009.

Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu dibagi menjadi tiga zonasi, yaitu zona inti (178.722 hektare), zona penyangga (222,425 hektare), dan zona transisi (304.123 hektare). Namun, menurut catatan kepolisian dan pemerintah daerah, perambahan hutan cagar biosfer di Giam Siak Kecil dan Bukit Batu kian marak sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan kawasan.(fzr/ant)
Sumber:goriau.com
Kades Berkomplot Jual Lahan Ilegal
Bila Tak Hati-hati Menerima izin Penguasaan Lahan dari Kades, Ini Akibatnya
print
 0 0Share0 0

Cagar Biosfer
PEKANBARU, GORIAU.COM - Kejahatan perambahan lahan hutan untuk dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan agaknya memang selalu melibatkan oknum pejabat pemerintah.

Tidak hanya di level gubernur atau bupati/wali kota, bahkan setingkat Kepala Desa pun terbukti berkomplot untuk meraup keuntungan dari hasil kejahatan hutan tersebut.

Terakhir, Kepolisian Daerah Riau bersama jajaran menangkap S, seorang Kepala Desa Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis karena diindikasi telah menjual lahan di kawasan cagar biosfer. "Sudah jelas, kalau lahan di kawasan cagar biosfer itu tidak dibenarkan diperjual belikan," kata Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo kepada wartawan di Pekanbaru, Minggu malam (17/11/2013).

Lewat telekomunikasi selular, Guntur menjelaskan, S disebut oleh sejumlah tersangka sebelumnya turut terlibat dalam pemberian izin secara ilegal.

Pelaku menurut Guntur, telah beberapa kali menerbitkan surat keterangan hak kuasa lahan di kawasan cagar biosfer. "Jadi total tersangka pada kasus perambahan ilegal dan penjualan lahan di kawasan cagar biosfer ini menjadi tujuh orang. Kasusnya masih akan terus dikembangkan," katanya.

Sebelumnya Polda Riau melalui Polres Bengkalis juga telah menetapkan enam orang sebagai tersangka, satu diantaranya telah berumur lebih 68 tahun sehingga tidak dilakukan penahanan.

Sementara lima orang lainnya adalah dari Koperasi SPTI yang menggarap kawasan cagar biosfer secara ilegal dan mengalihfungsinya menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Polisi juga mengamankan barang bukti sejumlah sampel bibit kelapa sawit yang telah ditanam di kawasan terlarang, serta kayu dengan taksiran takaran mencapai 20 ton.

Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, diresmikan pada 26 Mei 2009 di Korea Selatan. Penetapan kawasan yang terletak di antara Kabupaten Siak dan Bengkalis itu sebagai cagar biosfer melengkapi enam cagar biosfer Indonesia lainnya, yaitu cagar biosfer Gunung Leuser, Pulau Siberut, Cibodas, Tanjung Puting, Pulau Komodo, dan Lore Lindu.

Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu menjadi bagian World Network of Biosphere (WNBR) UNESCO yang terdiri dari 553 lokasi cagar biosfer di 107 negara sejak 2009.

Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu dibagi menjadi tiga zonasi, yaitu zona inti (178.722 hektare), zona penyangga (222,425 hektare), dan zona transisi (304.123 hektare). Namun, menurut catatan kepolisian dan pemerintah daerah, perambahan hutan cagar biosfer di Giam Siak Kecil dan Bukit Batu kian marak sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan kawasan.(fzr/ant)
- See more at: http://www.goriau.com/berita/lingkungan/bila-tak-hati-hati-menerima-izin-penguasaan-lahan-dari-kades-ini-akibatnya.html#sthash.qZgOu9a0.dpuf
Kades Berkomplot Jual Lahan Ilegal
Bila Tak Hati-hati Menerima izin Penguasaan Lahan dari Kades, Ini Akibatnya
print
 0 0Share0 0

Cagar Biosfer
PEKANBARU, GORIAU.COM - Kejahatan perambahan lahan hutan untuk dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan agaknya memang selalu melibatkan oknum pejabat pemerintah.

Tidak hanya di level gubernur atau bupati/wali kota, bahkan setingkat Kepala Desa pun terbukti berkomplot untuk meraup keuntungan dari hasil kejahatan hutan tersebut.

Terakhir, Kepolisian Daerah Riau bersama jajaran menangkap S, seorang Kepala Desa Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis karena diindikasi telah menjual lahan di kawasan cagar biosfer. "Sudah jelas, kalau lahan di kawasan cagar biosfer itu tidak dibenarkan diperjual belikan," kata Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo kepada wartawan di Pekanbaru, Minggu malam (17/11/2013).

Lewat telekomunikasi selular, Guntur menjelaskan, S disebut oleh sejumlah tersangka sebelumnya turut terlibat dalam pemberian izin secara ilegal.

Pelaku menurut Guntur, telah beberapa kali menerbitkan surat keterangan hak kuasa lahan di kawasan cagar biosfer. "Jadi total tersangka pada kasus perambahan ilegal dan penjualan lahan di kawasan cagar biosfer ini menjadi tujuh orang. Kasusnya masih akan terus dikembangkan," katanya.

Sebelumnya Polda Riau melalui Polres Bengkalis juga telah menetapkan enam orang sebagai tersangka, satu diantaranya telah berumur lebih 68 tahun sehingga tidak dilakukan penahanan.

Sementara lima orang lainnya adalah dari Koperasi SPTI yang menggarap kawasan cagar biosfer secara ilegal dan mengalihfungsinya menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Polisi juga mengamankan barang bukti sejumlah sampel bibit kelapa sawit yang telah ditanam di kawasan terlarang, serta kayu dengan taksiran takaran mencapai 20 ton.

Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, diresmikan pada 26 Mei 2009 di Korea Selatan. Penetapan kawasan yang terletak di antara Kabupaten Siak dan Bengkalis itu sebagai cagar biosfer melengkapi enam cagar biosfer Indonesia lainnya, yaitu cagar biosfer Gunung Leuser, Pulau Siberut, Cibodas, Tanjung Puting, Pulau Komodo, dan Lore Lindu.

Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu menjadi bagian World Network of Biosphere (WNBR) UNESCO yang terdiri dari 553 lokasi cagar biosfer di 107 negara sejak 2009.

Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu dibagi menjadi tiga zonasi, yaitu zona inti (178.722 hektare), zona penyangga (222,425 hektare), dan zona transisi (304.123 hektare). Namun, menurut catatan kepolisian dan pemerintah daerah, perambahan hutan cagar biosfer di Giam Siak Kecil dan Bukit Batu kian marak sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan kawasan.(fzr/ant)
- See more at: http://www.goriau.com/berita/lingkungan/bila-tak-hati-hati-menerima-izin-penguasaan-lahan-dari-kades-ini-akibatnya.html#sthash.qZgOu9a0.dpuf

Senin, 18 November 2013

Wajah Menyedihkan Hutan Indonesia dalam Peta Google Earth

Penulis :Yunanto Wiji Utomo

Jumat, 15 November 2013 |
Wajah hutan Indonesia berdasarkan pemetaan Google Earth dan University of Maryland. | Google Earth

KOMPAS.com — Peta resolusi tinggi tentang hilang dan bertambahnya lahan hutan di dunia telah dibuat oleh Google Earth.

Peta interaktif tersebut tersedia untuk publik dan bisa diperbesar hingga resolusi yang sangat mengagumkan, 30 meter.

Peta Google Earth menyuguhkan perubahan pada tajuk hutan selama 2000 hingga 2012 berdasarkan 650.000 citra yang ditangkap oleh satelit Landsat 7.

Selama periode itu, peta mengungkap bahwa Bumi kehilangan hutan sebesar wilayah Mongolia, atau 6 kali luas wilayah Inggris.

Tercatat, total kehilangan lahan hutan di Bumi adalah 2,3 miliar kilometer persegi. Lahan hutan hilang karena pembabatan, api, badai, serta penyakit.

"Ini adalah peta pertama perubahan hutan yang konsisten secara global dan revelan secara lokal," kata Matthews Hansen, pimpinan proyek pengembangan peta, dari University of Maryland.

"Sesuatu yang harus dilakukan selama 15 tahun dengan satu komputer bisa diselesaikan selama beberapa hari dengan komputasi Google Earth Engine," imbuhnya seperti dikutip BBC, Kamis (14/11/2013).

Menurut peta itu, Indonesia punya kenaikan laju deforestasi terbesar di dunia. Jumlah hutan yang hilang antara 2011-2012 hampir 20.000 kilometer persegi.

Wilayah Indonesia yang hutannya banyak hilang adalah Sumatera dan Kalimantan. Hilangnya hutan di Jawa antara 2000-2012 memang tak tampak, tetapi itu karena memang hutan di Jawa sudah banyak berkurang pada periode jauh sebelumnya.

Di sisi lain, tampak bahwa hilangnya hutan mulai tampak di wilayah Sulawesi bagian barat. Daerah Papua memang masih hijau, tetapi ada titik-titik merah yang menunjukkan sudah dimulainya aktivitas membabat hutan.

Selain Indonesia, negara yang tingkat berkurang lahan hutannya tinggi adalah Malaysia, Paraguay, dan Kamboja.

Sementara itu, secara global, Brasil adalah negara yang paling menunjukkan perbaikan.

Secara global, hilangnya hutan hujan tropis meningkat sekitar 2.100 kilometer persegi per tahunnya.

Peta ini berguna untuk membangun kesadaran publik akan banyaknya perusakan hutan dan konsekuensinya. Peta juga berguna bagi para pegiat konservasi untuk terus memonitor hutan.
Editor : Yunanto Wiji Utomo 

Dosen UNRI Agar Ceritakan Fenomena Riau di Jurnal Internasional

19 November 2013


Pekanbaru, 18/11 (Antara) - Pakar Hukum UI Prof Hikmahanto Juwana SH, LLM, Phd, mengingatkan pentingnya para dosen Universitas Riau mengirimkan hasil penelitian mereka ke jurnal-jurnal internasional agar dapat menceritakan fenomena dan kejadian di Indonesia.
       
"Akan sangat relevan jika hasil penelitian para dosen Indonesia khususnya dari UNRI bisa disuarakan atau diceritakan pada jurnal internasional itu. Banyak kejadian dan fenomena di sini yang bisa diceritakan," kata dia di Pekanbaru, Senin.
       
Di hadapan para dosesn dan mahasiswa S2 serta S3 UNRI, dengan topik bagaimana kiat menulis di jurnal internasional bidang hukum, ia mengatakan, tidak relevan jika kita melirik jurnal-jurnal hasil penelitian para dosen negara maju.
       
Sebab, katanya, akan lebih bermanfaat jika fenomena yang terdapat di Indonesia bisa menjadi informasi dan dipelajari oleh negara-negara berkembang seperti Vietnam dan Afrika.
       
"Menjadi suatu kebanggaan bila tulisan pengajar di jurnal internasional dibaca, bahkan dikutip oleh peneliti mancanegara," katanya dan menambahkan disamping itu, tulisan dalam jurnal internasional akan mendorong prestise Universitas dari para penulisnya.
       
Tidak heran, katanya lagi, bila dalam rangka mencapai status 'world class' pengelola universitas mendorong pengajarnya untuk melakukan publikasi di jurnal internasional.
       
Namun demikian untuk dapat menembus jurnal internasional bidang hukum diperlukan sejumlah kiat yakni dengan memilih topik yang sangat penting dan menentukan agar tulisan dapat diterima di jurnal internasional.
       
Terkadang dalam pemilihan topik penulis harus menyesuaikan dengan jurnal internasional yang dituju atau bila topik telah dipilih maka harus mencari jurnal internasional yang mungkin akan menerima karyanya.
       
"Bagi mereka yang belum memilih topik maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, topik yang dipilih sebaiknya tidak yang harus bersaing dengan peneliti mancanegara. Hal ini karena peneliti dan penulis mancanegara akan mempunyai banyak kelebihan. Di antara kelebihan ini adalah koleksi buku dan jurnal asing di Indonesia yang masih sangat minim," katanya.
       
Kedua, ada baiknya topik tidak yang bersifat teoritis mengingat dibutuhkan pengalaman yang panjang dan referensi yang banyak untuk sampai pada tahap ini.
       
Terakhir, ada baiknya topik yang dipilih sesuatu yang ada kaitannya dengan Indonesia. Hal ini karena peneliti Indonesia memiliki banyak kelebihan meskipun ada peneliti asing yang memfokuskan pada topik Indonesia.
        
Misalnya saja peneliti Indonesia lebih sensitif terhadap konteks Indonesia. Apalagi peneliti Indonesia bisa mencari data lebih dalam karena tidak memiliki kendala bahasa. Bahkan sumber-sumber bahasa Indonesia bisa digali.amatan Seberida dibagian barat dan penghubung ke lintas selatan, sekaligus  merupakan jalan elak dari lintas timur.
       
Ruas jalan tersebut memiliki multi fungsi yang membuka arus ekonomi masyarakat Indragiri ke Provinsi Jambi.
Frislidia.
 

BPN Tidak Akan Keluarkan Sertifikat Tanah PTPN V yang Bersengketa

Dr. Ronsen Pasaribu SH.MM
PEKANBARU, RIAUGREEN.COM - Ditemui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional provinsi Riau, Dr Ronsen Pasaribu, SH, MM. di sela Kegiatan pengambilan sumpah jabatan dan pelantikan pejabat eselon IV yang bertempat di Pustaka Wilayah Soeman Hs Pekanbaru, Kamis,(14/11/2013.)

Dalam wawancara kami Terkait konflik Sinama Nenek yang Hingga hari ini masih terus berlangsung hingga memakan korban dan kerugian, Dr Ronsen Pasaribu mengungkapkan bahwa hingga saat ini Pihak Badan Pertanahan Provinsi Riau belum mengeluarkan sertifikat tanah yang luasnya 2800 Ha milik PTPN V.

"Kita dari BPN memang berprinsip "Clean dan Clear" dari dulu. Kalau memang ada konflik yang belum terselesaikan atau sengketa Lahan, kami tidak akan mengeluarkan sertifikat tanah tersebut, kami tidak mau ambil resiko" Tegas Ronsen kepada RiauGreen.com

Ditegaskan lagi oleh Ronsen, walaupun tanah 2800 Ha itu milik PTPN V dan disitu terjadi konflik yang bergejolak dengan masyarakat, BPN tidak akan mengeluarkan sertifikat tanah tersebut.

Menurut Ronsen, antara PTPN V dan masyarakat Sinama Nenek harus mempunyai ukuran yang sama dalam penyelesaian konflik ini. Dari pandangan PTPN V kalau lahan 2800 Ha itu merupakan aset mereka dan mereka mempunyai bukti atas pembebasan lahan tersebut.

"Sedangkan masyarakat senama Nenek beranggapan tanah tersebut masih merupakan milik mereka yang di klaim sebagai tanah ninik mamak atau moyang mereka." Kata Ronsen.

Jadi, terang Ronsen, Bagaimana antara pengakuan masyarakat Senama nenek dan bukti administrasi yang di miliki PTPN V tersebut bisa kita sandingkan. Karena itu yang belum nyambung hingga saat ini." Papar Ronsen.

"Dan andaikan diberi lahan pengganti oleh PTPN V, apakan Problem solving tersebut dapat diterima oleh warga senama nenek. Kan belum tentu."

Jadi saya menghimbau kepada kedua belah pihak agar mau duduk bersama dan mencari titik tengah konflik ini dan Jangan adanya ego sepihak dengan mengatakan "pokok e pokok e" tidak akan ada titik ketemunya" Tutup Ronsen.(Rby)

Sumber:riaugreen.com

Diduga Miliki Lahan GSKBB Ilegal, Kades di Bengkalis Dibekuk Aparat

BENGKALIS, RIAUGREEN.COM - Diduga terlibat perambahan hutan dan kepemilikan lahan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSKBB) Kabupaten Bengkalis, Supendi, Kepala Desa (Kades) Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu diringkus Polres Bengkalis Selasa (12/11/13).

Supendi diyakini terlibat soal penandatanganan surat tanah di kawasan GSKBB. Saat ini pihak kepolisian pun masih melakukan pengembangan, terkait tersangka lainnya yang terlibat dalam kasus tersebut.

Penangkapan kades tersebut dibenarkan Kapolres Bengkalis AKBP. Andry Wibowo kepada wartawan, Rabu (13/11/13).

"Kita masih lakukan pemeriksaan, Kades tidak mengetahui, jika surat tanah yang ditandatanganinya itu masuk dalam wilayah kawasan itu.

Namun tetap saja hal itu merupakan kelalaian dirinya. Kita juga ingatkan kepada Kades lainnya untuk tidak mudah mengeluarkan surat keterangan tanah (SKT), jika tidak ingin tersangkut dengan hukum," terang Kapolres.

Sementara itu ditempat terpisah, Bupati Bengkalis Herliyan Saleh menegaskan, bahwa Cagar Biosfer GSKBB merupakan kawasan yang dilindungi.

Saat ini pun biarkan saja hukum yang berjalan melakukan fungsinya terhadap Kades Bukit Kerikil yang terlibat kasus itu. Pemkab Bengkalis juga sudah melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pihak kepolisian Polres Bengkalis.

"Memang benar Kades Bukit Kerikil diamankan oleh Polres Bengkalis. Kita juga sudah berusaha dengan memberikan pendamping dari Biro Hukum terkait permasalahan tersebut.

Selain Kades yang lainnya pun sudah ditangkap, meskipun masih ada yang menjadi buron," kata Bupati. (Asr)


Sumber:riaugreen.com

Pemerintah Harus Putihkan Lahan TNTN Warga Tempatan

16 November 2013

Pekanbaru, (antarariau.com) - Anggota DPRD Riau menyatakan, sebaiknya pemerintah memutihkan lahan yang ditempati warga tempatan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) seluas 83.068 hektare yang dikelola secara kolaboratif oleh Balai TNTN dan "World Wildlife Fund for Nature" (WWF).
       
"Yang sudah dimanfaatkan warga dan tinggal di Tesso Nilo, sebaiknya diputihkan atau pemerintah memutihkan. Sekarang aturannya mulai kapan?, kan disitu ada tanaman yang sudah lama," ujar anggota DPRD Riau Bagus Santoso di Pekanbaru, Jumat.
       
Hal itu dikatakannya menanggapi tentang dilakukannya penertiban terhadap perambah liar yang sekarang menetap di TNTN dan dapat menimbulkan gejolak ditengah-tengah masyarakat yang kemudian menjadi masalah.
       
Menurut politisi Partai Amanat Nasional itu, masyarakat tempatan yang telah lama menetap di Tesso Nilo sudah beranak pinak dan mungkin telah memiliki pemakaman keluarga ditempat itu.
       
Warga tempatan mungkin sudah memiliki perkebunan kelapa sawit dan tanaman karet liar yang berumur 10 tahun di TNTN. Sekarang, mereka sedang memetik hasil dari jerih payah yang dilakukan selama ini.
       
"Tapi kalau baru tahun kemarin mereka tanam dan jelas-jelas di Tesso Nilo, itu baru yang kita permasalahkan. Ternyata, masih ada yang menanam sawit dan itu mestinya tidak diberikan toleransi lagi." tegasnya.
    Ketika kesepatan ukur ulang dilakukan terhadap luas TNTN, lanjutnya, lazim yang dilakukan di Riau, maka jumlah lahan yang dikapling justru semakin bertambah di Tesso Nilo.
       
"Menjadi persoalan dan biasanya terjadi seperti itu. Sebelumnya kita sepakat untuk mengeluarkan dari Taman Nasional Tesso Nilo, tapi tiba-tiba bertambah dan ini harus diwaspadai jikan Negara ingin memutihkan," ucapnya.
       
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PPP yang juga mantan Gubernur Riau Wan Abubakar mengatakan, klarifikasi yang dilakukan untuk mendesak sekaligus menangkis tudingan WWF bahwa petani sawit melakukan kegiatan ilegal di TNTN.
       
Dia berpendapat pengukuran ulang menjadi salah satu solusi untuk memperjelas batas wilayah di TNTN dan selanjutnya pemerintah perlu melakukan verifikasi langsung di lapangan atas klaim masyarakat.
       
"Jika hasil verifikasi menunjukkan masyarakat petani memiliki bukti-bukti kepemilikan yang sah atau lainnya, sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai TNTN, pemerintah harus mencarikan solusi terbaik misalnya diberi lahan  pengganti," katanya.
       
Bagi para pendatang yang mengaku-aku sebagai masyarakat adat, Wan Abubakar mengingatkan pemerintah untuk bersikap tegas. "Jangan sampai para pendatang disamakan dengan masyarakat adat yang sudah turun temurun beraktivitas dan menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut," ucapnya.
       
Ketua Koperasi setempat Esau MH Sigiro mengatakan, mereka adalah warga asli yang telah berada di tempat itu jauh sebelum desa mereka ditetapkan sebagai kawasan TNTN.
       
"Kelompok kami terdiri atas 830 Kepala Keluarga (KK) dan telah bertanam kelapa sawit di lahan seluas 1.660 hektare di Desa Lubuk Batu Tunggal, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten Indragiri Hulu sejak 1998," kata Esau.
Muhammad Said

Pemberian Informasi Publik Tidak Serta Merta Diberikan

Senin, 18 November 2013 - 15:40:42 WIB


PEKANBARU- Pada pasal 9 Undang-Undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP), terdapat Enam informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala.

Pertama, informasi yang berkaitan dengan Badan Publik, kedua, informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik, ketiga, informasi laporan keuangan, keempat, informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, kelima, kewajiban memberikan dan menyampaikan informmasi dilakukan paling lambat enam bulan sekali dan yang keenam, kewajiban menyebarluaskan informasi publik disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Hal itu disampaikan Direktur Komunikasi Publik Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Drs Tulus Subardjono, dalam pemaparannya pada acara Pelatihan Jurnalistik Kehumasan/Wartawan se Provinsi Riau, Senin (18/11) di Hotel Furaya Pekanbaru.

Dalam makalah berjudul membangun sinergi Undang-Undang KIP dengan Media/Pers tersebut, Tulus memaparkan bahwa meski informasi-informasi yang dipaparkan diatas tersebut berhak di peroleh publik, namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.

"Misalnya untuk informasi laporan keuangan, yang berhak diumumkan atau yang boleh diberikan itu adalah laporan keuangan yang telah diaudit," ujar Tulus mencontohkan.

Lebih lanjut Tulus memaparkan, dalam pemberian informasi publik ini, Humas sangat berperan, pemarintah telah membuat desain media untuk kepentingan publik diruang publik.

"Media relations bermanfaat untuk mendesiminasikan informasi sebagai proses pengayaan publik, sehingga masyarakat memperoleh konten yang dapat memberikan nilai tambah," sebutnya.

Ia juga menyebut bahwa media relations ini merupakan upaya pemenuhan Hak publik untuk tahu, dengan memberikan ragam informasi yang educative, empowrning, enlightening (3E), dan menumbuhkan rasa cinta tanah air, sehingga menimbulkan inspiring untuk bangsa Indonesia. (MC Riau/mad)  
Nugroho Adrianto)
 
 
 

Warga Talang Mamak Patok Tanah Adat

Sabtu, 16 November 2013


RENGAT-  Suku Talang Mamak merupakan salah satu komunitas adat yang bermukim di Kabupaten Inhu, Provinsi Riau. Suku Talang Mamak memiliki 29 kebatinan yang tersebar di beberapa kecamatan seperti Batang Cenaku, Batang Gansal, Rakit Kulim, Seberida dan Rengat Barat.

Namun seiring perkembangan zaman, kehidupan masyarakat Suku Talang Mamak semakin terpinggirkan. Berbagai program pembangunan yang terlalu berorientasi ekonomi serta migrasi dalam jumlah besar membuat Suku Talang Mamak semakin termarjinalkan. Meski demikian, berbagai kearifan tradisional dan kekuatan mekanisme adat yang kokoh membuat suku Talang Mamak tetap bertahan.

Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Inhu, wilayah hidup atau wilayah adat suku Talang Mamak sebagian besar sudah tidak utuh lagi. Berbagai konsesi ekonomi atau pemanfaatan lain menyebar di berbagai tempat di wilayah adat suku Talang Mamak.

Padahal wilayah adat Talang Mamak merupakan bagian penting dari kebudayaan suku Talang Mamak.  Gerusan terhadap wilayah adat Talang Mamak sekaligus merupakan ancaman keberlangsungan kebudayaan Talang Mamak, yang juga merupakan kekayaan budaya bangsa.

“Dengan persoalan itu, Patih, Batin dan masyarakat adat Talang Mamak berniat memetakan wilayah adat Talang Mamak yang di dukung oleh AMAN  bekerjasama dengan Proyek Improving Governance for sustainable Indegenous community livelihoods in Forested Areas (JSDF) dan Samdhana Institute. Pemetaan wilayah adat Talang Mamak diperkirakan akan berlangsung 8 – 12 bulan.  Kegiatan pemetaan ini dimulai pada bulan Juli 2013,” ujar Ketua DPH AMAN Inhu, Abu Sanar, Jumat (15/11).

Dikatakannya, masyarakat adat Talang mamak sebagian  sudah melakukan pemasangan plang tanah adat di wilayah adat nya masing-masing sesuai Putusan MK No 35/PUU-X/2012. Salah satu pasal yang di kabulkan oleh Mahkamah Kontitusi (MK) adalah tanah adat adalah tanah hak masyarakat adat di wilayah masyarakat adat.

Komunitas adat Talang Mamak yang sudah melakukan pemasangan plang tanah adat, yakni  komunitas adat Talang 7 buah Tangga di PT Regunas Agri Utama (RAU), komunitas adat Talang Pring Jaya di PT Bukit Betabuh Sei Indah (BBSI), komunitas adat Anak Talang di PT Runggu, komunitas adat Batin Tanaku Kecil di PT Tasmapuja, komunitas adat Batin Pambubung di PT Arvena Sepakat dan TNBT, komunitas adat Batin Pejangki di PT Arvena Sepakat dan PT SML.

“Saat ini selain pemasangan Plang tanah adat, masyarakat adat Talang Mamak juga sedang melakukan proses Pemetaan Partisipatif Skala Luas yang bekerja sama dengan AMAN, Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Riau, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Bogor dan Samdhana Institut,” sebutnya.

Adapun tujuan umum kegiatan ini, tambah  Abu Sanar, untuk memetakan kembali wilayah adat suku Talang Mamak. Ini merupakan bagian dari upaya menyelematkan kekayaan kebudayaan nusantara.  Ini juga merupakan upaya mengembalikan hak-hak suku Talang Mamak atas wilayah adat atau sumberdaya alam yang menjadi wilayah hidupnya.

Berbagai kebatinan yang bersepakat menyelenggarakan pemetaan partisipatif skala luas terdiri dari, komunitas adat Patih Durian Cacar, komunitas adat Batin Talang Perigi, komunitas adat Batin Talang Sei Parit, komunitas adat Batin Talang Gedabu, komunitas adat Batin Talang Sai Limau, komunitas adat suku Talang Hampang Delapan, komunitas adat Batin Talang 7 buah Tangga, komunitas adat Batin Pring Jaya, komunitas adat Batin Pambubung, komunitas adat Batin Tanaku Kecil, komunitas adat Batin Alim, komunitas adat Batin Pejangki, komunitas adat Rio Sanglap, komunitas adat  Dubalang Anak Talang.

Kegiatan pemetaan skala luas wilayah adat Talang Mamak akan meliputi 9 tahapan diantaranya persiapan, tahap pra lokakarya, tahap lokakarya I, tahap kunjungan lapangan pertama, tahap lokakarya kedua II, tahap kunjungan lapangan kedua II, tahap lokakarya ketiga III, tahap finalisasi peta dan informasi sosial dan tahap pengesahan peta.

“Setelah tahapan itu dilalui, para komunitas adat melakukan pematokan plang tanah adat tersebut, sebagai sosialisasi atas putusan MK No 35/PUU-X/2012, tanah adat yang selama ini dukuasai negara menjadi tanah adat bukan lagi menjadi tanah negara,” jelas Abu Sanar.(MC Riau/ana)

Sumber:mediacenter.riau.go.id

Minggu, 17 November 2013

Polda Riau kawal ketat cagar biosfer Bengkalis





Kamis, 31 Oktober 2013


Pekanbaru, (antarariau.com) - Kepolisian Daerah Provinsi Riau mengawal ketat kawasan cagar biosfer Giam Siak Kecil Kabupaten Bengkalis untuk mengantisipasi terjadinya perambahan ilegal di sana.

"Informasi yang saya terima, ada sebanyak 92 personel gabungan dari Brimob Polda Riau dan aparat Polres Bengkalis yang ditempatkan di kawasan itu. Mereka diminta terus mengawasi kawasan cagar biosfer yang sebelumnya sempat dijarah," kata Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Guntur Aryo Tejo kepada wartawan di Pekanbaru, Kamis.

Jangan sampai, demikian Guntur, perambahan ilegal terhadap kawasan dilindungi negara itu kembali terjadi.

Sebelumnya Polda Riau bersama jajaran telah berhasil mengungkap kasus perambahan dan pembalakan liar yang terjadi di kawasan cagar biosfer Giam Siak Kecil.
         
Pada perkara ini, aparat telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dan kini masih terus dikembangkan.

AKBP Guntur menjelaskan lima orang tersebut dari pihak Koperasi SPTI yang menggarap kawasan cagar biosfer secara ilegal dan mengalihfungsinya menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Pada kasus ini, demikian Guntur, juga mengamankan barang bukti berupa beberapa sampel bibit kelapa sawit yang telah ditanam di kawasan terlarang, serta kayu dengan taksiran takaran mencapai 20 ton dan beberapa unit mesin pemotong kayu.

Sumber:antarariau.com
         

Polda Tangkap Kades Penjual Lahan Cagar Biosfer


Pekanbaru, (antarariau.com) - Kepolisian Daerah Riau bersama jajaran menangkap dan menahan S, Kepala Desa Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis, karena diduga telah menjual lahan di kawasan cagar biosfer.
         
"Sudah jelas, kalau lahan di kawasan cagar biosfer itu tidak dibenarkan diperjualbelikan," kata Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo kepada wartawan di Pekanbaru, Minggu malam.
         
Lewat telekomunikasi selular, Guntur menjelaskan, S disebut oleh sejumlah tersangka sebelumnya turut terlibat dalam pemberian izin secara ilegal.
         

Sabtu, 16 November 2013

Lahan Gambut Bukan untuk Kebun Sawit

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan yang tidak seharusnya dijadikan lahan perkebunan semakin sulit terbendung. Lahan gambut yang memiliki fungsi sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, tak luput dari ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab. Lebih dari 62.000 hektare lahan gambut tripa di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, sekitar 40.000 hektare kini berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Di tengah besarnya ancaman bencana, mata publik harus diperlihatkan kepada fakta bahwa bahaya kerusakan lahan gambut akan sangat merugikan karena itu, tidaklah tepat jika perkebunan kelapa sawit dibiarkan beroperasi di lahan gambut.
Hal tersebut dikemukakan oleh Adji Darsoyo, selaku Communication & Fundraising Coordinator PAN Eco – Yayasan Ekosistem Lestari kepada MedanBisnis. Menurutnya, saat ini terjadi ancaman yang sangat besar terhadap keberadaan lahan gambut khususnya yang berada di Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Dikatakannya, kerusakan hutan rawa tripa yang merupakan lahan gambut sudah sangat parah. Dari total luasan lahan gambut yang mencapai lebih dari 62.000 hektare, tak kurang dari  40.000 hektarenya sudah berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang beroperasi sejak tahun 1990-an yang mana setiap perusahaan memiliki konsesi puluhan ribu hektare.
“Mengubah lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit akan sangat mengancam keseimbangan ekosistem. Akan sangat banyak kerugian yang harus ditanggung jika lahan gambut itu rusak,” katanya.
Ia mengungkapkan, kerusakan lahan gambut tripa disebabkan oleh beroperasinya 5 perusahaan besar yang menyulapnya menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal, lahan gambut merupakan suatu kawasan yang berfungsi sebagai pelindung dari terjadinya bencana tsunami, habitat ribuan satwa langka dan dilindungi, kawasan resapan air yang mengatur ketersediaan sumber air sekitar.
Di sisi lain, lahan gambut juga merupakan kawasan yang jika terbakar akan sangat sulit untuk dipadamkan. “Dampak dari keberadaan perkebunan kelapa sawit hingga sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat, dengan terjadinya banjir yang sebelum adanya perkebunan tidak pernah terjadi,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, hingga kini, tingkat deforestasi atau berkurangnya fungsi gambut di kawasan tersebut sudah mencapai 70%. Dengan demikian menuntut tindakan yang cepat untuk menghentikan perusakan lahan gambut agar tidak berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Lahan gambut ini juga sebagai buffer atau pelindung dari masuknya gelombang tsunami ke darat, berdasarkan peta satelit, di salah satu kawasan yang sudah menjadi perkebunan kelapa sawit dan perusahaannya membuat kanal ke laut, ternyata saat terjadi tsunami tahun 2004 lalu, gelombang tsunami sangat jauh masuk ke daratan, pintunya dari kanal yang dibuat oleh perusahaan tersebut,” katanya.
Sebenarnya, lanjut Adji, Kabupaten Nagan Raya merupakan salah satu daerah yang ditetapkan oleh pemerintah terdahulu sebagai daerah transmigrasi. Masyarakat transmigran menjadikan lahan gambut sebagai tempat untuk mencari penghidupan. Hasil hutan dan laut yang diperoleh semisal rotan, ikan lokan (lele raksasa), madu hutan dan lainnya. Namun seiring beroperasinya perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, menjadikan pendapatan masyarakat menurun karena tidak bisa memperoleh hasil dari hutan rawa gambut lagi. “Bahkan di saat hujan sebentar saja langsung kebanjiran,” katanya.
Sebagian masyarakat yang melihat potensi perkebunan, kemudian terdorong untuk ikut bekerja di perkebunan kelapa sawit atau memulai menanamnya di depan rumahnya. Menurutnya, jika hal tersebut dibiarkan tanpa adanya perhatian agar melindungi lahan gambut, maka dalam waktu yang tidak lama lahan gambut akan semakin habis. Dengan demikian harus masyarakat harus ditunjukkan kepada fakta bahwa jika lahan gambut dirusak dan dialihkan fungsinya menjadi perkebunan kelapa sawit maka akan sangat banyak kerugian yang akan dialami oleh masyarakat.
Begitu juga harus ditunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bisa akan jauh lebih baik jika ditanam di darat dan bukannya di lahan gambut.
Ia menerangkan, untuk itu, pihaknya kemudian membuat proyek percontohan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang tidak menggunakan lahan gambut melainkan memanfaatkan lahan tidur dan memberdayakan petani. Maka kemudian dipilihlah lahan tidur yang  berdekatan di rawa tripa, tepatnya di Desa Lamie dan Dusun Gagak Kabupaten Nagan Raya dengan total areal mencapai 100 hektare. “Secara rincinya di Lamie seluas 67 hektare dan Dusun Gagak 23 hektare, lahan tersebut dibagi dalam 71 kavling yag dikelola oleh 60 petani, 48 orang petani di Lamie dan 12 orang di Gagak,” katanya.
Tujuan utama dari proyek percontohan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan tersebut tidak lain adalah menunjukkan kepada publik bahwa tidak seharusnya kelapa sawit ditanam di lahan gambut. Selain itu bahwa lahan gambut akan sangat bermanfaat jika dibiarkan sesuai dengan fungsinya. Dengan demikian lahan gambut tripa bisa terbebas dari ancaman perkebunan kelapa sawit dan masyarakat bisa lebih memanfaatkan lahan tidur yang selama ini tidak dimanfaatkan.
Menurutnya, pihaknya menemukan bahwa di luar perusahaan yang mengubah lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit juga ada sekelompok masyarakat yang ingin mengusahakan kelapa sawit. Namun dorongan tersebut utamanya disebabkan karena tidak bisa memanfaatkan lahan tidur yang dimilikinya sementara keinginan untuk meningkatkan pendapatan juga tidak mungkin dihindari. “Intinya adalah, jika memang menghendaki perkebunan kelapa sawit silakan tapi tidak di lahan gambut,” ungkapnya. 
 
Sumber:MedanBisnis
 

Bupati Bisa Di-PTUN-kan Jika Salahgunakan HGU

14 November2013

Pekanbaru, (antarariau.com) - Anggota Komisi IV DPR RI, Wan Abubakar mengatakan bupati dan wali kota bisa di perkarakan pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika terbukti memberikan izin pada pengusaha dengan menyalahgunakan HGU.
       
"Oleh karena itu sebelum kepala daerah yang bersangkutan di PTUN-kan maka izin usaha yang terlanjur diberikan pada pengusaha itu sebaiknya dicabut saja," kata dia di Pekanbaru, Kamis.
       
Ia mengatakan itu terkait lahan Tesso Nilo sebuah taman nasional di Provinsi Riau yang kini dikuasai secara ilegal oleh masyarakat dan perusahaan. Kawasan yang masuk wilayah taman nasional ini adalah kawasan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Hingga kini di sekelilingnya masih terdapat kawasan HPH.
       
Terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia di setiap hektare Taman Nasional Tesso Nilo.
      
Tesso Nillo juga adalah salah satu sisa hutan dataran rendah yang menjadi tempat tinggal 60-80 ekor gajah dan merupakan kawasan konservasi gajah.
        
Wan Abubakar anggota DPR RI -- mantan gubernur Riau -- yang berasal dari daerah pemilihan Riau itu menyatakan prihatin karena terkait luas Taman Nasional Tesso Nilo semakin kecil, hanya tinggal beberapa hektare saja karena adanya penyalahgunaan HGU.
       
TN Tesso Nilo kini hanya tinggal sekitar 24 ribu hektare lagi yang luas sebelumnya 84.000 hektare lebih itu. Artinya sisanya dijarah oleh masyarakat.
        
"Bupati harus tegas dalam menerbitkan izin dalam pengelolaan lahan yang seharusnya sebelum menerbitkan izin izin itu sebaiknya rapatkan dulu dengan Mentri Kehutanan," katanya dan memerintahkan buapati agar meneliti kembali pemberian HGU yang banyak disalahgunakan itu.
        
Jika pengusaha terkait masih menyalahgunakann HGU itu, katanya lagim bupati terkait bisa mencabut izin usahanya dan dalm hal ini dia harus bisa bersikap tegas.         
(Frislidia ) antarariau.com

Cukong Sawit Jarah Konsesi SHM di Riau

15 November 2013

Pekanbaru, (antarariau.com) - Direksi perusahaan industri kehutanan PT Sari Hijau Mutiara (SHM) mengeluhkan tindakan lima cukong kelapa sawit yang mencaplok 5.000 hektare konsesi hutan tanaman industri perusahaan di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
     
 "Akibatnya usaha perusahaan terganggu, maka cukong dan kroninya sudah kami laporkan ke Polda Riau," kata Direktur Utama PT SHM, Sofyan Siambaton, di Pekanbaru.
      
Ia mengatakan, PT SHM sudah mengantongi izin lengkap untuk pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dengan konsesi seluas 20.000 hektare dari Kementerian Kehutanan dengan nomor SK.378/MENHUT-II/2008, di Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir.
      
PT SHM merupakan perusahaan pemegang izin HTI yang bergerak di industri kayu pertukangan dan plywood. Sebelum mendapat izin HTI,  perusahaan juga sudah mendapat rekomendasi pembangunan HTI dari Gubernur Riau pada tahun 2000 dan izin prinsip Menhut pada 1998.
      
Sofyan menjelaskan, cukong sawit tersebut menjarah konsesi perusahaan dengan menanami kelapa sawit, padahal area itu masih berstatus sebagai hutan produksi. Motifnya, mereka bekerjasama dengan dua oknum kepala desa dan camat untuk menerbitkan surat tanah mengatasnamakan masyarakat setempat, yang kemudian dijual ke para cukong itu.
      
"Saat ini ada ribuan surat tanah atas nama rakyat desa dikuasai oleh lima orang cukong sawit dalam areal perusahaan," katanya.
      
Ia mengatakan pihaknya telah mengidentifikasi para pelaku. Lima cukong diketahui berinisial Sw, Her, As, EF dan Bb. Sedangkan, oknum mantan Kepala Desa Lubuk Besar berinisial HCh, oknum Kepala Desa Lubuk Besar lainnya berinisial Apr dan oknum Camat Kemuning RA.
      
"Para perusak itu sudah kami laporkan semua ke Polda pada 25 Oktober 2013. Kami berharap Kapolda Riau dapat menyeret mereka ke pengadilan," ujarnya.
      
Kuasa Hukum PT SHM, Lamarius Simanjuntak, menambahkan kasus tersebut sudah dilaporkan ke Polda Riau dengan nomor laporan 1392/SHM/Dir/X/13. Kasus itu kini ditangani oleh Ditreskrimsus Polda Riau.
      
"Saya mendapat informasi, kasus ini sudah dalam proses penyidikan," katanya.
     
Ia menambahkan, para cukong tersebut mulai masuk menjarah konsesi SHM ketika pihak perusahaan menghadapi kasus hukum gugatan dari perusahaan sawit PT Agroraya Gematrans dari Sambut Grup milik Tay Juhana pada periode 2008-2013. PT Agroraya dua kali menggugat Menhut dan PT SHM hingga ke Mahkamah Agung, namun perkaranya ditolak.
FB Rian Anggoro
COPYRIGHT © 2013

Sumber:antarariau.com

upaya suku Talang Mamak mengembalikan hak-hak atas wilayah adat atau sumberdaya alam yang menjadi wilayah hidupnya

16 November 2013 

Rengat, (antarariau.com) - Warga Suku Talang Mamak Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau merupakan suku terpencil di Indragiri yang mulai terpinggirkan akibat perkembangan dan pertumbuhan perusahaan besar di daerah yang terkesan kurang peduli terhadap kehidupan dan lingkungan. "Komunitas adat yang bermukim di Kabupaten Inhu, Provinsi Riau. Suku Talang Mamak memiliki 29 kebatinan yang tersebar di beberapa kecamatan seperti Batang Cenaku, Batang Gansal, Rakit Kulim, Seberida dan Rengat Barat kian miris kehidupannya jika kurang adanya respon perusahaan," kata Ketua DPH AMAN Inhu, Abu Sanar, di Rengat, Sabtu.(16/11)
Ia mengatakan, seiring perkembangan zaman, kehidupan masyarakat Suku Talang Mamak semakin terpinggirkan. Berbagai program pembangunan yang terlalu berorientasi ekonomi serta migrasi dalam jumlah besar membuat Suku Talang Mamak semakin termarjinalkan.
       
Meski demikian, berbagai kearifan tradisional dan kekuatan mekanisme adat yang kokoh membuat suku Talang Mamak tetap bertahan.
   
Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Inhu, wilayah hidup atau wilayah adat suku Talang Mamak sebagian besar sudah tidak utuh lagi. Berbagai konsesi ekonomi atau pemanfaatan lain menyebar di berbagai tempat di wilayah adat suku Talang Mamak.
      
Padahal wilayah adat Talang Mamak merupakan bagian penting dari kebudayaan suku Talang Mamak.  Gerusan terhadap wilayah adat Talang Mamak sekaligus merupakan ancaman kelangsungan kebudayaan Talang Mamak, yang juga merupakan kekayaan budaya bangsa.
       
"Dengan persoalan itu, Patih, Batin dan masyarakat adat Talang Mamak berniat memetakan wilayah adat Talang Mamak yang didukung oleh AMAN  bekerja sama dengan Proyek Improving Governance for sustainable Indegenous community livelihoods in Forested Areas (JSDF) dan Samdhana Institute," sebutnya.
       
Pemetaan wilayah adat Talang Mamak diperkirakan akan berlangsung delapan hingga 12 bulan.  Kegiatan pemetaan itu dimulai pada bulan Juli 2013.
       
Masyarakat adat Talang mamak sebagian  sudah melakukan pemasangan plang tanah adat di wilayah adatnya masing-masing sesuai Putusan MK No 35/PUU-X/2012. Salah satu pasal yang dikabulkan oleh Mahkamah Kontitusi (MK) adalah tanah adat adalah tanah hak masyarakat adat di wilayah masyarakat adat.

Salah satu komunitas adat Talang Mamak yang sudah maju yang berseragam baju kuning (Talang Pring Jaya),menancapkan Plang di PT.BBSI yang masuk di dalam wilayah adat.Foto: Abu sanar




        




 FotoFotoFoto:Abu sanar

Komunitas adat Talang Mamak yang sudah melakukan pemasangan plang tanah adat, yakni  komunitas adat Talang tujuh buah Tangga di PT Regunas Agri Utama (RAU), komunitas adat Talang Pring Jaya di PT Bukit Betabuh Sei Indah (BBSI), komunitas adat Anak Talang di PT Runggu, komunitas adat Batin Tanaku Kecil di PT Tasmapuja, komunitas adat Batin Pambubung di PT Arvena Sepakat dan TNBT, komunitas adat Batin Pejangki di PT Arvena Sepakat dan PT SML.
       
"Saat ini selain pemasangan plang tanah adat, masyarakat adat Talang Mamak juga sedang melakukan proses pemetaan partisipatif skala luas yang bekerja sama dengan AMAN, Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Riau, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Bogor dan Samdhana Institut," ujar  Abu Sanar.
       
Adapun tujuan umum kegiatan ini, sambung Abu Sanar, untuk memetakan kembali wilayah adat suku Talang Mamak. Ini merupakan bagian dari upaya menyelematkan kekayaan kebudayaan nusantara.
  
Ini juga merupakan upaya mengembalikan hak-hak suku Talang Mamak atas wilayah adat atau sumberdaya alam yang menjadi wilayah hidupnya.(antarariau.com )


PT RBH Inhu Dinilai Kurang Peduli Lingkungan

16 November 2013

Rengat, (antarariau.com) - Sejumlah warga di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau mengeluhkan rusaknya jalan lintas timur dan  lingkungan akibat kegiatan pertambangan batu bara di daerah Kelesa, kecamatan Seberida dan Kecamatan Batang Gansal yang tidak mengindahkan aturan.
       
"Sejumlah warga daerah marah akibat ulah perusahaan yang kurang peduli lingkungan ini. Lobang terlihat menganga seperti danau akibat pertambangan yang tidak peduli lingkungan," kata Erwan (40) didampingi Tamsur (42), warga Seberida di Rengat, Sabtu.
       
Ia mengatakan, perusahaan besar ini benar- benar telah mencederai hati warga, sejak puluhan tahun lalu besar sehingga lingkungan terus diabaikan perusahaan ini beroperasi, belum menunjukkan itikad baik untuk peduli lingkungan.
       
Sejumlah tempat eks pertambangan dibiarkan begitu saja menganga, sementara kritikan dan himbauan warga agar pihak perusahaan melakukan reklamasi seperti angin lalu saja bagi perusahaan.
       
"Kuat dugaan bahwa pihak perusahaan pertambangan kurang tanggap dan egois, karena walaupun sudah diketahui instansi terkait, bekas tambang batu bara yang ditinggalkan sejak lama itu juga belum dilakukan penimbunan. Akibatnya menimbulkan keresahan warga sekitar, " ujarnya.
       
Selain itu Damri, warga Rengat juga mengatakan, ada dugaan sejak  dua tahun berjalan, aktivitas PT.Riau Bara Harum tidak berjalan lagi, tapi perusahaan itu sama sekali tidak menimbun kembali bekas galian tersebut. Hal ini yang membuat keresahan masyarakat sekitar yang berdekatan dengan bekas galian tersebut.
       
Namun katanya, berjalan atau tidaknya sebuah perusahaan, sesuai dengan MOU sebelum beroperasi, pihak perusahaan harus melakukan reklamasi, memperhatikan lingkungan mengingat hal ini sangat rentan bagi keselamatan warga. "Pihak Dinas Pertambangan juga harus  bertindak tegas, " tandasnya.
       
Sejumlah warga Indragiri Hulu sudah berulang kali melaporkan kasus ini,  baik secara lisan maupun tulisan kepada instansi terkait sampai pada Bupati Inhu, juga DPRD Inhu, sejauh ini belum ada  tindakan sama sekali.
0
COPYRIGHT © 2013

Sumber:antarariau.com

Pengembangan kebun sawit di Indonesia yang melibatkan anggota-anggota RSPO menuai aksi protes dari masyarakat.


14 November 2013
Medan (Sumut)  – Pengembangan kebun sawit  di Indonesia yang melibatkan anggota-anggota RSPO masih menuai aksi protes dari masyarakat.
 
Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), yang melakukan pemantauan terhadap dampak alih fungsi hutan dan lahan gambut untuk perkebunan sawit menemukan 60 persen dari 4,04 juta hektar tanah gambut yang berada di Riau telah mengalami kerusakan. Pemicu utamanya adalah praktik buruk ekspansi sektor perkebunan sawit, yang juga berpengaruh terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim yang ekstrim.


Selain berdampak pada masalah lingkungan, pengembangan industri sawit juga dikritik karena memperluas operasi tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal, terutama yang berada di sekitar lokasi pembukaan lahan. Masyarakat merasa resah dengan aktivitas ini karena makin meluasnya wilayah gambut yang rawan banjir serta berkurangnya pencaharian masyarakat yang memanfaatkan lahan gambut dan hutan di sekitarnya.


Konflik antara masyarakat dan perusahaan pun sering terjadi akibat ekspansi lahan untuk industri sawit. Penyebabnya beragam, mulai dari kerusakan lingkungan, keterbatasan akses lapangan kerja, serta intimidasi dan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan pihak perusahaan terhadap masyarakat, pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh pihak perusahaan hingga perampasan lahan adat untuk dijadikan wilayah konsensi.


Di Jambi, terjadi konflik antara masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan dengan PT. Asiatic Persada (AP) dipicu perampasan tanah adat yang dilakukan perusahaan tersebut. PT AP, membuldozer rumah-rumah warga Batin Sembilan yang protes ke sungai-sungai, dan polisi melepaskan tembakan. Di Riau, masyarakat Kubu Babusalam, Kabupaten Rokan Hilir berkonflik dengan PT. Jatim Jaya Perkasa karena perusahaan melakukan ekspansi lahan dengan cara membakar hutan dan lahan gambut sehingga menimbulkan kabut asap.

Kedua anak perusahaan milik Wilmar Group itu kemudian dikabarkan telah dijual sebelum dilakukan penyelesaian konflik, yang menyebabkan masalah ini menjadi berlarut-larut.


“Wilmar Group mengatakan telah menjual salah satu anak perusahaannya, PT. Jatim Jaya Perkasa pada tahun 2010. Akan tetapi Wilmar Group mendapat teguran dari RSPO ketika terjadi kebakaran di Riau dalam periode 2013 ini. Hal ini meyakinkan kami bahwa PT. Jatim Jaya Perkasa masih merupakan anak perusahaan dari Wilmar hingga sekarang,” ujar Isnadi Esman, Sekretaris Jenderal JMGR.



Wilmar Group yang merupakan salah satu perusahaan yang bekerja sama dengan RSPO seakan-akan menjadi batu sandungan bagi RSPO yang berkomitmen untuk membangun industri sawit yang bekelanjutan. RSPO sendiri dinilai gagal karena anggotanya justru melanggar PC yang telah dibuat, dan diperparah dengan respon RSPO yang juga melanggar PC dengan tidak mencabut sertifikasi dari Wilmar Group.


Bersamaan dengan dilaksanakannya pertemuan RSPO yang ke 11 yang dilakukan di Medan, Sumatera Utara, JMGR memberikan pernyataan sikap yang turut mewakili gabungan Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ) dan suku Anak Dalam Batin Sembilan Serbundo. Isinya antara lain memberi teguran keras terhadap Wilmar Group serta perusahaan-perusahaan lain yang terafiliasi dengan RSPO namun tidak melaksanakan industri sawit berkelanjutan (sustainable palm oil), menunda pemberian sertifikat RSPO kepada perusahaan yang masih berkonflik dengan masyarakat, menerapkan aturan yang ketat serta teguran dan sanksi yang jelas kepada anggota yang melanggar.


Selain itu, JMGR juga menuntut penyelesaian masalah antara PT. Jatim Jaya Perkasa dengan masyarakat Rokan Hilir dan PT. AP dengan suku Anak Dalam Batin Sembilan serta pelaksanaan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat untuk mendapatkan informasi yang jelas serta berhak untuk menolak atau menerima (membuat keputusan) berdasarkan musyawarah adat (keputusan bersama/kolektif) terhadap suatu proyek atau program dan juga hukum/aturan yang akan dilaksanakan di wilayah adat. (MW)


Disampaikan Sekretaris Jendral JMGR, Isnadi Esman,Kamis (14/11/2013)."PT Jatim Jaya Perkas tidak komitmen menyelesaikan konflik dengan masyarakat terutama tidak terealisasinya pola KKPA secara penuh dan tidak menjalankan program CSR," katanya.

Menurutnya masyarakat adat dan lokal dengan ekonomi lemahlah yang berada di dalam maupun di sekitar hutan dan lahan gambut adalah pihak yang paling terpengaruh dengan masifnya ekspansi sawit. Seperti luasnya daerah dataran rendah berupa wilayah gambut yang rawan banjir, dan besarnya ketergantungan masyarakat terhadap lahan pertanian dan sumber-sumber kehidupan yang ada di hutan dan lahan gambut.

Dengan situasi ini JMGR menganggap bahwa penyelamatan wilayah hutan dan lahan gambut merupakan kondisi darurat yang harus menjadi konsen serius bagi semua pihak untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan wilayah hutan dan lahan gambut, dan mengevaluasi izin-izin dan pelaksanaan pemanfaatan wilayah gambut yang dilakukan dalam skala raksasa dan didominasi oleh perusahaan sektor sawit.

Menyikapi hal tersebut Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ) dan Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan serta SERBUNDO (Buruh) tidak tinggal diam dalam agenda pertemuan tahunan RSPO ke 11 di Hotel Santika, Medan-Sumut 12 November 2013 lalu mengadakan aksi damai bersama buruh dan tani.

"Aksi kritisi yang kita lakukan ini mendesak agar RSPO dan anggotanya untuk segera memberikan teguran kepada anggota RSPO yang tidak berkomitmen dalam melaksanakan Industri sawit yang berkelanjutan," lanjutnya.

Ketika itu JMGR juga meminta menunda memberikan sertifikat RSPO kepada calon perusahaan angotanya dan mencabut sertifikat RSPO anggotanya yang bermasalah dengan masyarakat sekitarnya, melakukan revisi-revisi terhadap standar RSPO, sehingga tidak ada celah perusahaan yang menjadi anggotanya untuk mengabaikan tanggung jawab berkelanjutan sosial dan perbaikan terus menerus, serta menerapkan mekanisme teguran dan sanksi yang jelas terhadap anggota yang melanggar.
  
Selain itu, meminta agar menuntaskan permasalahan PT. Jatim Jaya Perkasa di Kabupaten Rokan Hilir dan Suku Anak Dalam (SAD) Jambi (Exs Wilmar) dan memberikan sangsi kepada Anggota RSPO yang tidak menjalankan program CSR-nya serta menerapkan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).

"Aksi kita saat itu diterima dan bertemu dengan Darrel Webber (Secretary General RSPO) dan Desi Kusumadewi (RSPO Indonesia Director) dan ini pihak RSPO berjanji akan membahas secara kritis apa yang disampaikan oleh JMGR. Tapi, kita harapkan bukan hanya sekedar janji tapi apa yang menjadi harapan kita ini bisa dilakukan oleh RSPO," ujarnya.

Seperti diketahui RSPO merupakan asosiasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit, yakni, produsen kelapa sawit, pemroses atau pedagang kelapa sawit, produsen barang-barang konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM pelestarian lingkungan atau konservasi alam, dan LSM sosial. RSPO bersama para pemangku kepentingan bertujuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan.

Menurutnya praktik buruk ekspansi sektor perkebunan sawitlah yang berujung pada kerusakankerusakan lahan gambut terutama lahan gambut di Riau. "Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), terus melakukan pemantauan terhadap lajunya degradasi yang disebabkan oleh alih fungsi hutan dan lahan gambut untuk pekebunan sawit,"tambahnya.

Menurutnya di Indonesia wilayah hutan dan lahan gambut memiliki luas lebih kurang 20 Juta hektar atau setara dengan 50% luas lahan gambut tropis di seluruh dunia yang luasnya mencapai 40 Juta Hektar. Total lahan gambut Riau 4,04 juta hektar atau sektiar 48% dari total wilayah Riau. Bahkan hamparan gambut di Riau  itu merupakan 56% dari total gambut di Sumatera. Dari 4,04 juta hektar itu sekitar 60% sudah rusak yang disebabkan praktik buruk ekspansi sektor perkebunan sawit.

Hal ini menyebabkan emisi gas rumah kaca (green house gas) meningkat secara drastis dan menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim. Data tiga tahun terakhir (2009 - 2012), Riau kehilangan tutupan hutan alam sebesar 565.197.8 hektar (0,5 juta Ha), dengan laju deforestasi pertahun sebesar 188 ribu hektar pertahun atau setara dengan hilangnya 10 ribu kali lapangan futsal per hari. Dan 73,5 persen kehancuran itu terjadi pada Hutan Alam Gambut yang seharusnya dilindungi. Kini sisa hutan alam Riau hanya tersisa 2.005.643.56 hektare (2,005 juta Ha) atau 22,5 persen dari luas daratan Riau.

Selain dari dampak perubahan iklim tersebut konflik berkepanjangan antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan menjadi satu hal yang miris, dari tahun ketahun konflik lahan yang sebagian besar terjadi di wilayah hutan dan lahan gambut kerap tidak terselesaikan secara baik. Pada kurun waktu beberapa tahun terakhir ini saja perusahaan atau instansi yang berkonflik dengan masyarakat dibagi menjadi beberapa grup yaitu, Duta Palma, Torganda, Sinar Mas, Wilmar, Surya Dumai, Ganda Group dan beberapa grup besar lainya yang bergerak di sektor sawit.

"Untuk itulah kita meminta RSPO yang  merupakan asosiasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit berkomitmen untuk mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan," tutupnya


RSPO gagal berkomitmen

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah