Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Senin, 21 Januari 2013




Suku Talang Mamak tersebar di empat kecamatan yaitu Batang Gansal, Cenaku, Kelayang dan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu dan di Dusun Semarantihan, Desa Suo-Suo, Kecamatan Sumai, Kabupaten Tebo, Jambi. Salah satu versi asal usul suku Talang Mamak yang sangat terkenal diceritakan dalam cerita rakyat tentang Putri Pinang Masak. Konon, di Indragiri hidup tujuh pasang putra-putri yang dilahirkan secara kembar. Ketujuh putra tersebut menjadi pemuda yang gagah berani, sedangkan ketujuh putri tumbuh menjadi gadis cantik jelita. Dari ketujuh putri tersebut, salah seorang di antaranya yang termolek, Putri Pisang Masak namanya. Berikut kisahnya menurut ceritarakyatnusantara.com.


Alkisah, pada zaman dahulu, tersebutlah sebuah kisah di Negeri Simbul, Siberida, Indragiri, Riau. Di negeri itu hidup tujuh pasang putra-putri yang dilahirkan secara kembar siam. Marudum Sakti lahir kembar dengan Putri Pinang Masak (sulung), Buyung Selamat dengan Putri Mayang Mengurai, Sampurago dengan Subang Bagelan, Tonggak de Tonang dengan Putri Pandan Bajelo, Sapu Jagat dengan Putri Loyang Bunga Emas, Roger dan Putri Setanggi, dan yang bungsu Tuntun dengan Putri Bungsu.

Ketujuh putra tersebut tumbuh menjadi pemuda yang gagah berani, sedangkan ketujuh kembarannya tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Dari ketujuh putra tersebut, Roger adalah yang paling gagah dan pemberani. Sementara, dari ketujuh putri, Putri Pinang Masak adalah yang termolek.

Pada suatu hari, seluruh warga heboh, karena tiba-tiba Putri Pinang Masak hilang. Ketujuh saudara laki-lakinya sibuk mencarinya ke sana kemari, namun tak juga mereka temukan. Roger yang gagah dan pemberani kemudian pergi menyusuri berbagai tempat hingga bertemu dengan Datuk Motah. Dari Datuk itulah ia memperoleh kabar bahwa kakaknya, Putri Pinang Masak, dibawa lari dan dikawinkan dengan Raja Dewa Sikaraba Daik oleh Paduka Raja Telni Telanai dari Jambi.

Setelah mendengar kabar keberadaan kakaknya, Roger segera melaporkan kabar itu kepada saudara-saudaranya. Mereka kemudian berkumpul untuk mengadakan musyawarah. “Wahai, Adikku Roger! Kita semua sudah tahu, bahwa di antara kita bersaudara engkaulah yang paling gagah dan pemberani. Maka sepantasnyalah engkau yang harus menjemput Putri Pisang Masak ke Jambi,” kata Marudum Sakti kepada adiknya. “Benar, Abang! Kami setuju dengan pendapat Abang Marudum Sakti,” tambah Tuntun, adik Bungsunya. “Ya, kami juga sepakat,” sahut saudara-saudaranya yang lain serentak. Akhirnya, diputuskan Roger diutus ke Jambi untuk membawa pulang Putri Pinang Masak dengan damai.

Keesokan harinya, Roger berangkat ke Jambi seorang diri. Negeri Jambi dijaga ketat, karena terjadi pertentangan antara Raja Telni Telanai dengan Belanda. Setelah melakukan perundingan dengan para pengawal istana, Roger pun diizinkan untuk menemui Raja Telni Telanai.

“Hai, Orang Muda! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Raja Telni.
“Ampun, Baginda! Hamba Roger. Hamba berasal dari Indragiri,” jawab Roger, tanpa memberitahukan sang Raja kalau dirinya adalah adik kandung Putri Pinang Masak.

“Apa gerangan yang membawamu kemari, Roger?” Raja Telni kembali bertanya.

“Ampun, Baginda! Jika Baginda berkenan, izinkahlah hamba ikut membantu mengusir Belanda dari negeri ini,” Roger memohon kepada Raja Telni.

Raja Telni menyambutnya dengan gembira, seraya berkata, “Baiklah, Roger! Kamu boleh tinggal di istana ini.”

Sejak itulah, Roger tinggal di istana Kerajaan Jambi. Putri Pinang Masak telah mengetahui keberadaan adiknya itu, namun ia tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang hubungan mereka.

Untuk menguji keperkasaan Roger, berkali-kali Raja Telni mengutusnya untuk menumpas para perampok yang berkeliaran di perairan Jambi. Oleh karena kesaktiannya, Roger selalu berhasil, sehingga ia diangkat menjadi dubalang negeri. Tak lama kemudian, Roger pun diperkenankan untuk ikut berperang melawan Belanda.

Pada malam sebelum berangkat ke medan perang, diam-diam Putri Pinang Masak menemui adiknya dan memberinya selendang cindai sebagai pusaka. Berbekal cindai dan kesaktiannya, Roger pun berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Segenap raja Jambi menyambutnya sebagai pahlawan. Oleh karena jasa-jasanya terhadap kerajaan, Raja Telni Telanai menganugerahkan gelar “Datuk” dan mengukuhkan Roger sebagai “Dubalang Utama”. Maka lengkaplah gelar Roger sebagai ”Datuk Dubalang Utama Roger”.

Waktu terus berjalan. Raja Telni Telanai mulai sakit-sakitan. Akhirnya, ia pun menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada putranya, Raja Dewa Sikaraba Daik. Namun sejak pemerintahan dipegang oleh Raja Dewa Sikaraba Daik, kerajaan menjadi lemah. Banyak pengkhianat muncul di lingkungan istana. Kesempantan itu kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk menekan raja muda itu.

Setelah terus dibujuk dan didesak oleh para hulubalang yang menjadi mata-mata Belanda, akhirnya Raja Dewa Sikaraba Daik yang lemah itu mau menandatangani perjanjian perdamaian dengan Belanda. Datuk Roger pun ditangkap. Dengan tangan diikat, Datuk Roger dibawa ke kapal untuk ditenggelamkan di tengah-tengah samudera.

Namun, sewaktu akan menaiki kapal, tiba-tiba terjadi peristiwa gaib. Dengan izin Allah, Roger tiba-tiba menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Lama Roger tidak muncul, sehingga orang-orang Belanda menganggapnya telah mati.

Sepeninggal Datuk Roger, Belanda kemudian menyerang Kerajaan Jambi. Banyak pasukan Raja Dewa Sikaraba Daik yang gugur. Mereka pun semakin terdesak oleh Belanda. Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba Datuk Roger muncul. Kemudian ia memohon izin kepada Raja Sikaraba Daik untuk melawan Belanda. Dengan keperkasaannya, Roger dan pasukannya berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Para pengkhianat kerajaan kemudian ditangkap dan dihukum mati. Kerajaan Jambi kembali aman dan damai. Raja Dewa Sikaraba Daik pun memimpin rakyat Jambi dengan arif dan bijaksana.

Melihat kondisi sudah kembali aman, Datuk Roger pun bermaksud kembali ke Indragiri. Ia pun segera menghadap Raja Dewa Sikaraba Daik, “Ampun, Baginda! Kini saatnya hamba harus pulang. Jika Baginda memerlukan Hamba, panggillah hamba di Desa Siambul, di Hulu Batang Gangsal, Siberida, Indragiri,” kata Datuk Roger.

Mengetahui adiknya akan kembali ke Indragiri, Putri Pinang Masak segera bersimpuh di hadapan suaminya, Raja Dewa Sikaraba Daik, ”Maafkan Dinda, Kanda! Sebenarnya Dinda adalah kakak kandung Datuk Roger. Izinkanlah Dinda pulang ke Indragiri bersamanya. Dinda akan segera kembali ke istana ini untuk melahirkan putra kita.” Raja Dewa Sikaraba Daik terkejut mendengar perkataan Putri Pinang Masak. “Benarkah itu, Datuk Roger?” tanya sang Raja penasaran. “Benar, Baginda Raja!” jawab Roger singkat.

Akhirnya, Raja Dewa Sikaraba Daik mengetahui hubungan persaudaran mereka yang selama ini dirahasiakan. Namun, mengingat Datuk Roger telah berjasa kepada kerajaan Jambi, sang Raja pun memakluminya. Dengan berat hati, Raja Dewa Sikaraba Daik mengizinkan Putri Pinang Masak pulang ke Indragiri bersama adiknya.

Keesokan harinya, sebelum kakak beradik itu berangkat, Raja Dewa Sikaraba Daik menyerahkan Plakat Kerajaan yang berisi maklumat bahwa hutan di daerah Jambi diserahkan kepada anak cucunya melalui keturunan dari Putri Pinang Masak.

Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah Roger dan Putri Pinang Masak di Indragiri. Mereka disambut oleh masyarakat Siambul dengan suka-cita dan haru. Untuk meluapkan perasaan gembira tersebut, masyarakat desa mengadakan upacara gawai atau selamatan. Dalam suasana gembira tersebut, Datuk Marudum Sakti berkata, “Keluarga kita sudah utuh kembali. Peristiwa ini hendaknya kita jadikan pelajaran berharga agar selalu membela dan melindungi saudara-saudara kita.”

Sesuai dengan Plakat Kerajaan yang diberikan oleh Raja Dewa Sikaraba Daik, selanjutnya anak keturunan Putri Pinang Masak berkembang menjadi Suku Kubu dan Talang Mamak yang menguasai hutan Jambi. Hingga kini, kedua suku tersebut masih dapat ditemukan di daerah-daerah pedalaman di Indragiri Hulu dan Jambi.


Sumber : www.ceritarakyatnusantara.com
-->dan http://indragiri.riaucoding.com 

Jumat, 18 Januari 2013

Menyibak tabir gawai gedang suku Talang Mamak

"Lebih baik mati anak, daripada mati adat". Pepatah kuno Suku Talang Mamak itu menggambarkan kondisi masyarakat adat untuk mempertahankan tradisi leluhur agar tak lekang melawan perubahan zaman.

Ritual pesta pernikahan adat "Gawai Gedang" kini pun berubah menjadi bagian dari bentuk perjuangan masyarakat adat di Provinsi Riau itu untuk mendapat pengakuan dari pemerintah.

Bau kemenyan menyeruak ke udara pada medio Januari, saat tangan-tangan kuat para lelaki Talang Mamak mencoba menegakkan "tiang gelanggang" di Desa Talang Perigi, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Desa terpencil yang berjarak sekitar 200 kilometer dari Kota Pekanbaru itu seakan menjadi saksi bisu perhelatan adat yang sudah 10 tahun terlupakan.

Jalan kampung yang biasa sepi dan berdebu, kini "dipersolek" dengan tegakan janur kuning dan umbul-umbul. Semuanya mengarah ke sebuah rumah kayu berkelir hijau dan biru dengan pelatarannya yang lapang. Di halaman rumah sudah berdiri enam pondok sederhana, yang paling mencolok bernama "Kajang Sirung".

Bangunan dari kayu dan bambu itu dibuat menyerupai perahu beratap kain putih dan dihiasi janur kuning. Itulah tempat penyambutan tokoh-tokoh adat Talang Mamak dari berbagai penjuru Indragiri Hulu.

Naiknya tiang gelanggang menjadi pertanda dimulainya Gawai Gedang. Tonggak kayu setinggi lima meter itu terbuat dari kayu "pungai" dan bambu, berbalut kain putih dan hiasan uang logam yang digantung dipuncaknya. Saat matahari mulai tampak tinggi dari ufuk Timur, empat kain (layar) berkibar di tengah tiang gelanggang, menandai persatuan warga dan penghormatan untuk tokoh adat.

Layar bercorak batik mewakili masyarakat, layar putih menandai batin, warna hitam untuk patih, dan layar merah untuk dubalang

Nyaris punah
Suku Talang Mamak masuk dalam kategori Melayu Tua (Proto Melayu), yang hidup menyebar di pedalaman Indragiri Hulu di Provinsi Riau hingga ke Provinsi Jambi. Mereka memiliki tradisi Gawai Gedang yang diartikan sebagai perhelatan nikah adat yang besar.

Ketua Panitia Gawai Gedang, Gilung menjelaskan ritual itu merupakan pesta nikah untuk dua mempelai yang berasal dari Desa Talang Perigi dan Ampang Delapan. Namun, gawai kali ini berbeda dengan pesta pernikahan adat biasa karena turut melibatkan pemangku adat tertinggi Talang Mamak (Patih), serta 20 dari 29 tokoh adat setingkat kepala desa (batin). Masing-masing batin mengajak puluhan warga untuk meramaikan pesta.

"Jumlah panitianya saja ada 100 orang, yang isinya dari tiap-tiap batin," kata pria berusia 33 tahun itu.

Ritual pesta nikah dibarengi dengan pesta sunatan massal yang diikuti oleh enam anak laki-laki. Setiap ada tokoh adat tiba di lokasi pesta, kedua mempelai bersama pengantin sunat menyambutnya dengan berkeliling tiang gelanggang sebanyak tiga putaran. Uniknya, para pengantin itu berkeliling dengan cara digendong dipundak pengiring nikah.

Gawai Gedang berlangsung selama tiga hari mulai tanggal 14 hingga 16 Januari. Rentetan ritual adat sering berlangsung hingga dini hari seperti pembacaan petuah kehidupan (Gantung Pauh-pauh), ritual pengobatan dukun (Kemantan) dan Tari Piring.

Ritual Gawai Gedang juga tak lepas dari tradisi sabung ayam, yang kerap diwarnai perjudian. Pihak keluarga pengantin nikah juga menyiapkan ayam aduan sendiri yang diadu pada permulaan Gawai Gedang dan sebelum penutupan pada hari terakhir. Suku Talang Mamak percaya adu ayam itu dapat mencegah roh jahat masuk ke rumah tempat ritual adat digelar.

Karena itu, Gilung mengatakan biaya yang dibutuhkan untuk Gawai Gedang sangat "membengkak" untuk ukuran pesta nikah di kampung. Pengeluaran paling banyak keluar dari pos konsumsi karena kepanitian sudah mulai berkumpul di lokasi pesta sejak dua minggu sebelum acara.

"Kalau dikalkulasikan semuanya, biaya Gawai Gedang lebih dari Rp200 juta," kata Gilung.

Tingginya kebutuhan biaya itu diakui Gilung menjadi salah satu penyebab warga Talang Mamak kesulitan menggelar Gawai Gedang. Terakhir kali ritual itu digelar di Desa Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim tahun 2003. Akibatnya, banyak generasi muda Talang Mamak tidak mengenal tradisi itu.

Namun, ia mengatakan para tokoh adat Talang Mamak sudah sepakat untuk "menghidupkan" kembali Gawai Gedang yang nyaris dilupakan. Ritual nikah akbar itu dipercaya ikut mempererat tali persaudaraan karena ikut melestarikan budaya gotong-royong Suku Talang Mamak.

Karena itu, Gewai Gedang kali ini ikut ditanggung bersama oleh 20 batin yang ikut serta. Mereka turut membiayai acara dengan mengumpulkan sumbangan dari warga Talang Mamak di daerahnya.

"Setiap batin ikut membantu ada yang dengan sumbangan uang, ada yang bawa beras dan ada juga menyumbang lewat tenaga," katanya.

Seorang warga Talang Mamak, Bahasan, mengatakan penyebab lain Gawai Gedang mulai ditinggalkan karena pengaruh budaya luar, terutama dengan kehadiran agama Islam. Ketika banyak warga Talang Mamak memeluk Islam, secara adat hal itu berarti meninggalkan kepercayaan "Langkah Lama" yang dianut leluhur.

Kepercayaan tersebut mirip seperti "Kejawen" di Jawa, karena Talang Mamak mempercayai Islam tapi tidak melaksanakan ibadah selayaknya muslim.

Bahasan mengatakan, mereka yang menganut agama diluar kepercayaan "Langkah Lama" masih diakui sebagai Talang Mamak, namun kerap disebut sebagai "Anak Talang". Mereka tidak diperkenankan menjadi tokoh adat maupun menggelar ritual adat.

Bahkan, hal itu juga dialami oleh Gading seorang bekas Patih Talang Mamak, yang akhirnya dilengserkan karena memilih menjadi muslim.

"Saya sendiri sudah lama memeluk Islam, karena itu tidak menikah dengan cara adat lagi. Tapi untuk Gawai Gedang ini banyak Anak Talang ikut membantu karena merasa masih menjadi bagian dari Talang Mamak dan melestarikan tradisi adalah kewajiban," kata lelaki tua berumur 60 tahun itu.

Selain itu, mempertahankan tradisi menikah secara adat juga kerap menyulitkan warga Talang Mamak karena prosesi itu tidak mengikuti hukum nikah yang diakui pemerintah Indonesia. Mereka tidak melakukan akad nikah dengan menghadirkan penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA), apalagi mengurusnya ke Kantor Catatan Sipil.

"Sahnya nikah dan cerai dalam adat Talang Mamak ditandai dengan makan daun sirih," kata Batin Talang Jerinjing, Jamin.

Daun sirih inilah layaknya surat nikah dan cerai bagi Talang Mamak karena mereka tidak punya tradisi menulis. Karena itu, pengantin Talang Mamak yang nikah secara adat tidak memiliki surat nikah resmi, dan anak-anak mereka lebih sulit masuk sekolah karena tidak punya akta kelahiran. (Bersambung)




Patih Majuan di usianya yang masih muda kini memikul beban sangat berat untuk memperjuangkan nasib Suku Talang Mamak.

Pria kelahiran tahun 1987 itu diangkat menjadi Patih pada dua tahun lalu untuk menggantikan Gading yang tidak diakui lagi secara adat.

Bagi Majuan, ritual Gawai Gedang tidak hanya sebuah pesta besar, melainkan untuk menyatukan seluruh pemangku adat Talang Mamak yang sebelumnya bercerai-berai.

"Beban saya memang sangat berat, tapi kalau kita kompak tidak jalan sendiri-sendiri pasti ada jalan keluar nanti," katanya.

Lelaki berperawakan kecil yang murah senyum itu mengatakan ada kisah di balik pelaksanaan Gawai Gedang. Hal itu bermula pada bulan Maret tahun lalu, ketika Majuan hadir dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Halmahera, Provinsi Maluku Utara.

"Saya sedih kenapa kondisi masyarakat adat disana bisa lebih sejahtera, dan hutan mereka masih terjaga. Sedangkan, Talang Mamak bernasib sebaliknya," ujar Majuan.

Dalam kenyataannya, ia mengatakan kondisi Talang Mamak kini makin terpinggirkan seperti tidak tersentuh pembangunan. Hutan mereka yang dulu menjadi sumber kehidupan, kini sudah gundul dan beralih jadi konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Kehadiran investasi kapitalis ternyata hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, dan mencerai-berai warga Talang Mamak.

Pembangunan yang dilakukan pemerintah, dalam pandangan Majuan, ternyata kurang menghargai Suku Talang Mamak yang sangat bergantung pada hasil hutan. Kehadiran perangkat pemerintahan tidak mengakui pemangku adat dalam mengambil kebijakan. Akibatnya, hutan adat (Rimba Puaka) yang secara tradisi sangat dijaga dan haram untuk ditebang pun musnah.

"Dulu kami punya Rimba Puaka luasnya sekitar 2.300 hektare di Desa Durian Cacar, sekarang sudah habis ditebang dan dikuasai perusahaan. Mungkin sekarang tinggal lima hektare saja hutan keramat yang tersisa," katanya.

Majuan kini pun baru sadar, andaikan dahulu seluruh pemangku adat Talang Mamak bersatu, mereka pasti bisa mempertahankan Rimba Puaka dan tanah adat (ulayat). Andaikan Rimba Puaka masih ada, lanjutnya, tentu biaya Gawai Gedang tidak bakal mahal karena bahan makanan sudah disediakan di hutan tanpa perlu membelinya.

Menurut dia, memperjuangkan nasib Talang Mamak bukan hanya ada di tangan Patih karena hal itu hanya berbuah keputusasaan seperti yang terjadi pada Laman, Patih Talang Mamak sebelumnya.

Nama Patih Laman sempat terkenal karena mendapat penghargaan Kalpataru tahun 2009 karena mempertahankan Rimba Puaka. Dia pun mendapat penghargaan dari WWF di Kinabalu, Malaysia karena perjuangannya itu.

Namun, ternyata Laman hanya berjuang sendirian karena tidak didukung oleh seluruh pemangku adat. Bahkan, pemangku adat juga ada yang menggadai tanah ulayat yang seharusnya dilarang untuk dijual. Penghargaannya itu akhirnya sia-sia karena Laman tak mampu mencegah Rimba Puaka "dijarah", hingga ia akhirnya memutuskan untuk mengembalikan Kalpataru ke pemerintah pada tahun 2010.

"Saya sungguh takjub dengan perjuangan Pak Laman memperjuangkan hutan adat. Tapi kesalahan dia adalah karena berjuang sendirian. Kasihan Pak Laman sekarang hanya bisa dirumah karena patah semangatnya," ujar Majuan.

Majuan ingin belajar dari kesalahan para pendahulunya, karena itu ia mencari cara untuk menyatukan pemangku adat. Dengan bantuan organisasi AMAN, ia mencoba mengumpulkan para batin dan Gawai Gadang merupakan media untuk memulainya.

"Awalnya tidak mudah, dari hanya enam batin yang setuju dan sekarang terkumpul semua di Gawai Gedang," ujarnya.

Resolusi Adat
Sebanyak 20 batin akhirnya menggelar musyawarah adat sehari sebelum pelaksanaan Gawai Gedang di Balai Adat Desa Talang Perigi.

Dalam pertemuan itu para pemangku adat berikrar untuk memperkokoh kebersamaan, memetakan lagi wilayah adat Talang Mamak, melakukan penggalian dan pelurusan sejarah adat secara benar, dan menghidupkan kembali lembaga adat serta tradisi dan hukum adat.

"Yang terpenting dalam maklumat musyawarah adalah seluruhnya sepakat untuk menghentikan tindakan-tindakan menjual tanah adat," katanya.

Dalam musyawarah itu juga terlahir resolusi adat, yang berisi 15 poin tuntutan terhadap pemerintah untuk mengakui keberadaan Talang Mamak.

"Selama ini Talang Mamak hanya dijadikan korban politik saat pemilu, karena para politisi hanya bisa memberikan janji. Mulai sekarang kami tidak mau lagi dibodohi, kalau ada mereka datang lagi harus disumpah dengan adat untuk memajukan Talang Mamak," tegasnya.

Dalam resolusi itu para pemangku adat mendesak DPR RI mendengarkan aspirasi masyarakat adat untuk mensegerakan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Mereka juga mendesak agar Pemerintah Kabupaten dan DPRD Indragiri Hulu untuk mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengakui hak-hak adat, tanah ulayat hingga kepercayaan Talang Mamak.

Untuk memperjuangkan Rimba Puaka yang sudah habis dikuasai perusahaan, mereka meminta agar Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Kehutanan untuk mengevaluasi sertifikat pemberian hak guna usaha serta perijinan kehutanan di atas wilayah adat Talang Mamak.

Kepada pemerintah daerah, mereka juga mendesak agar disediakan fasilitas pendidikan, perbaikan jalan, dan penyesuaian kurikulum pendidikan agar sesuai dengan pembangunan karakter masyarakat adat Talang Mamak. Majuan mengatakan, masih banyak warga Talang Mamak kesulitan untuk sekolah termasuk dirinya yang harus belajar sendiri untuk bisa baca tulis.

"Pendidikan sangat penting karena saya mengimpikan ada sekolah SD sampai SMA di dekat permukiman Talang Mamak, dan anak-anak kami nantinya ada yang bisa jadi guru dan dokter untuk membangun daerahnya," kata Majuan yang mengaku tak pernah mengenyam pendidikan formal.

Resolusi adat itu juga menyuarakan agar pemerintah daerah membuat kebijakan agar mempermudah pencatatan kewarganegaraan bagi masyarakat adat untuk pengurusan KTP, akta kelahiran, dan akta nikah.

Selain itu, pemangku adat Talang Mamak juga mendesak perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah adat untuk membuka diri dan berdialog, agar bisa menciptakan kesepakatan mengenai ganti rugi dari hutan adat yang telah dirampas.

"Sebenarnya kami bukan ingin melawan pemerintah, tapi kami minta Talang Mamak jangan dibedakan dan jangan dipersulit hidupnya," ujar Majuan.

Di luar resolusi itu, Majuan menyadari bahwa perubahan nasib Talang Mamak harus diperjuangkan oleh mereka sendiri. Ia pun sadar bahwa Talang Mamak juga lengah untuk mengubah cara pandang mereka dalam pertanian, yang mengakibatkan mereka "latah" menanam sawit dan menebang pohon karet peninggalan orang tua.

Padahal, mereka tidak paham bagaimana cara menanam sawit karena pola bertani Talang Mamak masih sangat sederhana. Mereka hanya membiarkan tanaman tumbuh tanpa perawatan, padahal teknologi pertanian sudah berkembang pesat.

Karena itu, Majuan menggerakan warganya untuk membuka lahan seluas dua hektare agar mereka bisa menanam palawija. Modalnya berasal dari iuran swadaya sebesar Rp20 ribu per bulan yang selama setahun terakhir sudah terkumpul sekitar Rp7 juta.

"Sejauh ini baru 13 orang yang mau ikut. Tapi kalau nanti berhasil, pasti banyak yang akan ikut. Karena itu saya meminta Pemerintah Indragiri Hulu mau memberi bantuan bibit dan penyuluh pertanian, biar kami lebih pandai bertani," katanya.

Patih Majuan memang masih sangat muda, namun di dalam tubuh kecilnya tersimpan cita-cita dan tekad yang sangat besar untuk memperbaiki nasib kaumnya. Semoga saja suatu hari nanti Suku Talang Mamak bisa hidup sejahtera di tanah kelahirannya sendiri, tanpa kehilangan identitas mereka sebagai masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal menjaga hutan adatnya.

"Setiap perjuangan pasti ada rintangan dan cobaan. Sekuat apa cobaan itu, kami akan terus berusaha melaluinya," pungkas Patih Majuan.

(F012/Z003)

Editor: Aditia Maruli
 Sumber :http://www.antaranews.com/berita/353677/menyibak-tabir-gawai-gedang-suku-talang-mamak-bagian-1

http://www.antaranews.com/berita/353678/menyibak-tabir-gawai-gedang-suku-talang-mamak-bagian-2-habis























Selasa, 15 Januari 2013

Kebangkitan Talang Mamak Menuntut Hak Adat


January 15,2013
Laporan BUDDY SYAFWAN, Talang Perigi

Tiang pancang gelanggang didirikan. Para penari, dukun dan kumantan tak henti-hentinya membacakan ritual adat. Bau anyir darah ayam dan kemenyan menambah suasana mistis perhelatan yang sudah berpuluh tahun tak pernah dipertontonkan itu. Ritual Gawai Gedang pun dimulai.

Matahari baru muncul dari balik rerimbunan pepohonan di perkampungan masyarakat di Dusun Kemenyan, Desa Talang Perigi, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri HuluTalang Perigi, Senin (15/1). 

Namun, suasana di sekitar rumah Pak Pion, salah seorang tokoh masyarakat Talang Mamak Talang Perigi, sudah sesak dengan aktivitas. Mereka sedang mempersiapkan perangkat upacara ritual yang sudah mereka persiapkan beberapa bulan lalu. 

Pesta ini bukan pesta biasa. Karena, ini baru pertama sekali dilaksanakan semenjak 45 tahun terakhir. Bukan hanya momen langka peristiwa tersebut menjadi istimewa, tapi muatan yang dibawakan serta banyaknya jumlah peserta yang menghadiri setiap detail adat kali ini dianggap yang paling lengkap, karena dihadiri patih dan batin dari 29 wilayah adat masyarakat Talang Mamak. 

Memang, pelaksanaan Gawai Gedang (pesta besar) sudah menjadi agenda rutin yang dilaksanakan di tengah masyarakat. Bahkan, hampir setiap bulan dilaksanakan. 

Namun, gelaran Gawai Gedang itu biasa dilaksanakan sebagai bagian dari prosesi pernikahan atau helat sosial kemasyarakat.

Gawai Gedang kali ini, tak hanya sebatas mempersiapkan prosesi pernikahan atau sunatan, tapi menjadi momentum bagi kebangkitan masyarakat Talang Mamak setelah sekian puluh tahun tertinggal dan hampir kehilangan wilayah adat. 

Karena itu, kehadiran patih dan batin salah satunya adalah untuk merumuskan sikap masyarakat Talang Mamak terhadap nasib adat dan wilayah yang mereka tempati.

‘’Naiknya tiang gelanggang pada Pawai Gedang ini harusnya dijadikan sebagai momen untuk kebangkitan masyarakat Talang Mamak,’’ ungkap Asisten Deputi Urusan Penguatan Inisiatif Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, H Chaeruddin Hasyim SKM, MSi yang sudah hadir semenjak pagi untuk mengikuti prosesi menegakkan tiang gelanggang.

Chaeruddin mengaku terharu mendengar dan melihat motivasi yang ditunjukkan oleh generasi masyarakat Talang Mamak dewasa ini. Terutama dalam membangun kesadaran adat di tengah situasinya yang semakin sulit.

‘’Saya teringat Pak Patih Laman yang selalu memperjuangkan tentang peran masyarakat adat dalam menyelamatkan lingkungan lewat kebijakan-kebijakan adat. Sebenarnya masyarakat Talang Mamak ini masyarakat yang luar biasa,’’ ucapnya saat ditemui Riau Pos di sela-sela acara.

‘’Tidak mudah bagi masyarakat dimanapun untuk mendapatkan anugerah Kalpataru. Bila kebanyakan orang bilang Adipura atau Adiwiyata dan PROPER adalah penghargaan tertinggi atas upaya mengkonservasi lingkungan, sebenarnya penghargaan tertinggi itu adalah bagi penerima Kalpataru,’’ ungkapnya menjelaskan tentang Kalpataru yang pernah didapatkan masyarakat Talang Mamak lewat ketokohan Patih Laman. 

Namun, apa yang diperjuangkan Patih laman tersebut, kini hampir tinggal kenangan. Karena, hampir sebagian besar wilayah Talang Mamak yang selama ini terjaga oleh komunitas adat sudah berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit.

‘’Tapi, sikap yang sudah ditunjukkan masyarakat saat ini, lewat Gawai Gedang, menjadi bukti bahwa masyarakat Talang Mamak masih peduli terhadap upaya mempertahankan fungsi lingkungan, khususnya dengan mempertahankan kearifan lokal tentang alam dan adat yang mereka junjung,’’ imbuh Chaeruddin.

Mulai dari prosesi penyusunan rangkaian acara Gawai Gedang, banyak sekali simbol-simbol konservasi alam yang dijunjung tinggi masyarakat. 

Misalnya, dalam pemanfaatan bahan-bahan untuk pendirian tiang gelanggang sebagai simbol utama dimulainya Gawai Gedang, pembuatan kajang sirung (tempat duduk para batin dan pemangku adat terbuat dari kayu), bahkan sampai persiapan pesta yang umumnya diambil dari kawasan hutan di sekitar pemukiman warga Talang Mamak.

‘’Untuk tungku masak, kita ambil dari kayu-kayu ranting yang sudah patah di sekitar kampung. Tidak hanya kayu-kayu ranting dari Talang Perigi, tapi dari seluruh wilayah 29 batin yang ada. Masing-masing membawa dari kampungnya dan dikumpulkan di tempat acara,’’ sebut Pion, pemilik rumah tempat pawai Gedang.

‘’Tidak ada kayu yang masih hidup yang kita gunakan. Semuanya kayu kering yang sudah patah untuk memasak. Adapun kayu hidup, digunakan untuk membuat tiang layar, termasuk kajang sirung. Tapi biasanya jumlahnya tak banyak. Kalau kayu hidup memang kita ambil dari Talang Perigi Semua,’’ ungkap Pion.

Kajang sirung, selain terbuat dari kayu-kayuan sejenis rengas, dikombinasikan dengan bambu serta diikat dengan kulit rotan. ‘’Semua bahannya dari hutan di sekitar tempat kita tinggal ini,’’ sebut salah seorang pekerja pembuatan kajang sirung.

Selain layar dan kajang sirung, warga juga mendirikan tiang gelanggang. Tiang gelanggang sendiri merupakan simbol utama dari dimulainya sebuah proses Gawai Gedang. Tiang pancang terbuat dari kayu yang sudah dibentuk berupa tiang-tiang pendek yang nantinya dirangkai kembali dengan menggunakan buluh bambu.

Pada bagian atas tiang gelanggang, diletakkan tiang kecil dengan hiasan koin Rp5 di tiap-tiap sisi empat mata angin. Tiang kecil tersebut, dijelaskan salah seorang tokoh masyarakat Talang Mamak, merupakan pajangan yang sudah sangat lama. Bahkan umurnya diperkirakan lebih dari 20 tahun. 

‘’Hiasan itu kemarin kami bawa dari rumah Patih Lama, Pak Patih Laman,’’ sebut sumber tersebut. Adapun untuk pajangan pada kaki tiang pancang, dijelaskan warga, dibuat langsung oleh masyarakat dengan menggunakan motif ornamen hitam dan putih tanpa menggunakan cat atau pewarna buatan. Untuk warna hitam, dijelaskan Luji, Pemangku Batin Ampang Delapan dibuat menggunakan arang dan kapur sirih.

‘’Warna Hitamnya terbuat dari arang kayu, sedangkan untuk warna putih pada ornamen putih dibuat menggunakan kapur sirih yang dibakar terlebih dulu dan dibersihkan untuk diambil kapur putihnya,’’ imbuh Luji lagi.

Harmoni masyarakat Talang Mamak dengan alam sendiri, sebenarnya tidak hanya tergambar dari simbol-simbol adat yang digunakan saat pelaksanaan iven Gawai Gedang. 

Namun, juga dalam tradisi hidup masyarakatnya. Misalnya menggunakan lukah untuk menangkap ikan, membuat panah, mengambil manau, rotan untuk ayakan, membuat jangki, bakul hutan. 

‘’Seluruh bahan untuk membuat peralatan pendukung keperluan hidup masyarakat Talang Mamak umumnya dibuat sendiri oleh masing-masing masyarakat menggunakan sumber daya yang tersedia di setiap kawasan hutan,’’ ungkap Batin Talang Sungai Parit, Irasan.

Hanya saja, dijelaskan dia, saat ini seluruh aktivitas masyarakat tersebut tidak bisa dilaksanakan karena terbentur oleh semakin sempitnya luas wilayah hidup dan pemanfaatan kawasan hutan untuk masyarakat. 

‘’Bagaimana mungkin kami mau mencari rotan, manau, rumbai, sementara hutan sudah tidak ada lagi, semua sudah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit. Karena itulah, kita berharap ada perhatian pemerintah dan pelaku usaha untuk masyarakat supaya bisa memanfaatkan kembali potensi-potensi alam yang selama ini menjadi milik hak adat masyarakat Talang Mamak,’’ harap Irasan.

Penjelasan Irasan juga disampaikan oleh Iskandar, salah seorang batin lainnya. Ia menjelaskan, dalam silsilah kekeluargaan masyarakat Talang Mamak, tanah dan wilayah adat memegang peranan penting untuk kehidupan masyarakat. Terutama dalam kaitannya untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga. 

Ia mencontohkan, di wilayah adat yang dipimpinnya, saat ini dari belasan ribu hektare, yang tersisa hanya berkisar 1.000-an hektare. 

Dengan populasi masyarakat yang bertambah, serta tingkat kesulitan ekonomi yang tinggi, permasalahan lahan menjadi sangat merisaukan. 

‘’Misalnya, saya punya anak, setelah dewasa, menikah dan punya keluarga. Ketika menikah, tanah memegang fungsi untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Tapi, bagaimana bila kemudian anak saya melahirkan anak-anak juga, sementara hutan tempat menetappun mungkin sudah tidak ada lagi. Kekhawatiran itu terus menjadi pemikiran kami saat ini. Karena itulah, harusnya itu dipikirkan bersama oleh pemerintah, perusahaan dan melibatkan masyarakat adat,’’ harap Iskandar.

Ritual Tradisi
Sepanjang Gawai Gedang yang dilaksanakan di Dusun Kemenyan, Desa Talang Perigi, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu ini, hampir seluruh ritual tradisi adat kebesaran masyarakat Talang Mamak ditampilkan. 

Mulai dari prosesi untuk membuat tiang pancang dan layar, kajang sirung, ayam aduan tiga tarek, menyongsong dan arak-arakan, tarian adat ditampilkan.

Pada umumnya pelaku dari ritual adat tersebut adalah para orangtua yang sudah cukup sering mengikuti ritual tersebut. Bahkan, dukun dan kumantan juga ikut diturunkan untuk memberikan keikhlasan bagi sang Khalik untuk dilaksanakannya acara yang sudah hampir puluhan tahun ini tak pernah dipertontonkan oleh masyarakat Talang Mamak baik kepada anak kemenakannya maupun masyarakat umum.

Dijelaskan Langgak, salah seorang penari adat yang usianya lebih 60 tahun, tarian adat ini sudah sering ia lakukan. Bahkan semenjak muda. 

Hanya saja, tarian adat ini tidak setiap saat bisa dipertontonkan kepada khalayak karena hanya boleh dilakukan pada upacara besar adat saja. 

‘’Seperti tari sembah adat tadi, itu khusus pada Gawai Gedang seperti hari ini. Kalau hari biasa, tak boleh, karena itu sakral,’’ jelas dia.

Langgak memang menunjukkan sejumlah gerakan tarian adat sepanjang pelaksanaan arak-arakan dalam menyambut kedatangan para batin maupun patih. 

Dengan gerakan-gerakan layaknya burung terbang serta dibalut kain jarik, lelaki tua yang masih terlihat lincah itu berputar mengitari tiang gelanggang sembari mengikuti gerakan arak-arakan. Aroma kemenyan dan bau anyir darah ayam memenuhi hampir seluruh ritual acara adat ini. 

Ribuan warga Talang Mamak tumpah ruang di sekitar acara Gawai Gedang yang dilaksanakan. Mereka menyambut suka cita acara ini sebagai simbol dari kebersamaan dan kekompakan masyarakat. 

Kebanyakan masyarakat khususnya kaum muda begitu menikmati gelaran sabung ayam yang dilaksanakan.


Ada puluhan ekor ayam yang dipertarungkan pada hari kedua ini. Bagi ayam yang kalah, langsung disembelih.

Selain ritual tersebut, juga dilaksanakan ritual penyambutan untuk calon mempelai yang hendak dinikahkan serta anak-anak remaja yang hendak disunat. 

Meski sudah dipertemukan dan dipestakan secara meriah lewat ritual adat, namun, prosesi pernikahan masih belum berakhir.  

‘’Mereka itu belum resmi. Resminya itu, setelah tiang gelanggang diturunkan. ‘’Besok masih ada ritual adat, bagi yang menikah dan sunat. Hari ini tugas dari mereka adalah menyambut para tetamu, terutama para pimpinan masyarakat Talang Mamak, seperti Patih dan Batin. Karena kita masyarakat, kita harus menghormati pemimpin, karena kita berbatin dan berpatih ke masing-masing pemimpin kita ini,’’ timpal Iskandar yang berasal dari Anak Talang.

Sumber : http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=22707&kat=12#.UPYzi6yStIC
 

Kamis, 10 Januari 2013

Kenapa Reforma Agraria Itu Mendesak?



(Kamis, 10 Januari 2013)
Ketidakadilan agraria di Indonesia makin mengkhawatirkan. Ini tercermin pada ketimpangan kepemilikan lahan dalam beberapa tahun terakhir. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto pernah membeberkan bahwa hanya 0,2 persen penduduk Indonesia yang saat ini menguasai 56 persen aset nasional. Dari aset yang dikuasai tersebut, 87 persen dalam bentuk tanah.
Kemudian, seiring dengan ekspansi modal asing, peruntukan tanah juga makin tertuju pada kepentingan bisnis. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pernah mengeluarkan catatan, bahwa lebih dari 35 persen daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara.
Di pihak lain, jumlah petani gurem dan petani tak bertanah makin meningkat. Sebuah data menunjukkan bahwa 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah. Sedangkan masyarakat perkotaan rata-rata memiliki tanah kurang dari 200 meter persegi.
Peneliti dari Bandung Fe Institute, Roland M. Dahlan, menemukan keterkaitan antara ketimpangan dalam kepemilikan lahan di Indonesia dengan tingkat ketimpangan ekonomi masyarakat.
“Kalau penguasaan tanah itu makin terkonsentrasi ke segelintir orang, maka tingkat pendapatannya juga makin timpang,” kata Roland.
Sebaliknya, kata Roland, ketimpangan pendapatan bisa dikurangi kalau ada kebijakan redistribusi aset, termasuk tanah. Ia mencontohkan pengalaman empirik negara-negara Amerika Latin, seperti Venezuela, Argentina, dan Brazil, yang beberapa tahun terakhir aktif menerapkan redistribusi aset dan reforma agraria.
Tetapi pengertian agraria ternyata tidak hanya tanah. Menurut aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, para pendiri bangsa Indonesia merumuskan agraria sebagai “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”
Sayang, konsep agraria ini hanya bertahan hingga 1980-an. Setelah itu, tanah dibedakan dengan hutan dan kekayaan alam. “Mereka menyebut yang terkandung di dalam tanah itu sebagai sumber daya alam. Ini pandangan yang sangat ekonomistik,” kata Iwan.
Dengan demikian, kata Iwan, konsep reforma agraria tidak sesempit redistribusi tanah semata. Katanya, dalam penjelasan UU Pokok Agraria 1960, reforma agraria dimaksudkan sebagai pembentukan “kapital domestik yang progressif”.
“Konsep itu memikirkan perlunya cadangan modal domestik yang bisa mentransformasikan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Misalkan, mentransformasikan ekonomi pedesaan yang subsistem menjadi modern dan mensejahterakan rakyat,” ujar Iwan.
Dengan demikian, reforma agraria mestinya mengatasi keterpisahan antara desa dan kota dan juga mengatasi keterputusan antara pertanian dan proses industrialisasi nasional.
Dengan begitu, Iwan berpendapat, reforma agraria sangat mendesak dilakukan di Indonesia. “Memang pada tahun 1960-an ada masalah politik dengan agraria reform. Sebab, land reform saat itu menyasar tanah-tanah pedesaan, yang sebetulnya bukan objek utama agraria reform,” kata Iwan.
Dalam UUPA 1960, Hak Guna Usaha masih diakui. Tetapi, perbedannya konsep erfpacht kolonial, UUPA memberikan hak guna usaha itu kepada rakyat melalui koperasi dan unit usaha tani.
Bagi Iwan, negara yang tidak pernah melakukan agraria reform tidak akan bertransformasi dengan baik. Ia mencontohkan pengalaman Indonesia dan Philipina, yang sampai sekarang ekonominya tak beranjak maju.
Hal itu diakui pula oleh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Rudi Hartono. “Setiap negara yang melakukan transformasi, baik dari negeri feodal menjadi kapitalistik maupun dari jajahan menjadi merdeka, selalu disertai dengan revolusi agraria,” kata Rudi.
Sayangnya, sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, Indonesia tidak pernah melakukan transformasi radikal di sektor agraria. Padahal, kata Rudi, demokratisasi di sektor agraria merupakan syarat utama untuk memproduktif tanah dan menjadi basis untuk kemajuan.
Rudi juga mengeritik model pembangunan ekonomi Indonesia yang selalu meninggalkan soal agraria. “Sejak orde baru hingga sekarang, model pembangunan ekonomi kita menapikan agraria,” tegasnya.
Di jaman orde baru, memang ada gembar-gembor soal swasembada pangan dan pembangunan industri dengan berbasiskan pertanian. Tetapi, Rudi menganggap itu hanya gembar-gembor di atas kertas, tetapi tidak terjadi di lapangan praktek.
“Kalau orde baru punya perspektif menjadikan agraria sebagai basis industrialisasi, maka mestinya tercipta faktor penghubungnya, yaitu pembangunan industri olahan hasil pertanian. Dan orde baru tidak melakukan itu,” kata Rudi.
Akibat ketiadaan industri olahan itu, menurut Rudi, tidak terjadi penciptaan nilai tambah dan pengembangan kekuatan produktif di pedesaan. Akibatnya, pedesaan sulit mengalami transformasi secara radikal.
“Akibatnya, ya, ketika pertanian dianggap tak lagi ekonomis, rakyat di desa-desa memilih ber-urbanisasi atau menjadi buruh migran,” katanya.
Namun, karena di kota juga tidak terjadi industrialisasi yang massif, bahkan cenderung mengalami de-industrialisasi, maka sebagian besar orang-orang dari desa bekerja di sektor informal. Karena itu, Rudi menegaskan, yang terjadi di pedesaan Indonesia bukan “proletarisasi”, melainkan “de-peasantization”. De-peasantization mengacu pada fenomena petani atau rumah tangga petani telah kehilangan kapasitas mereka sebagai produsen atau unit ekonomi.
Dengan demikian, reforma agraria menjadi keharusan karena: Pertama, untuk mengakhiri ketidakadilan agraria di Indonesia. Sebuah data mengungkapkan bahwa indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,6. Selain itu, meningkatnya konflik agraria juga menandai meluasnya ketidakadilan agraria di Indonesia. Kedua, reforma agraria merupakan prasyarat transformasi sosial-ekonomi sehingga tersedia basis untuk mensejahterakan rakyat. (Ulfa Ilyas)
Cat: ini adalah laporan dari diskusi bertajuk “Reforma Agraria dan Kemandirian Bangsa” di Wisdom Institute, Jakarta, tanggal 6 Januari 2012.
 

Selasa, 08 Januari 2013

Kebijakan Pertanahan Tak Berpihak pada Petani.


"Kebijakan pertanahan memposisikan rakyat hanya sebagai objek yang gampang digusur."

Teguh Nugroho / VHRmedia                                                   Senin, 31 Desember 2012
 
http://www.vhrmedia.com/new/editor/images/gambar/Berita/Desember2012/landreform11.jpg
VHRmedia, Jakarta - Serikat Petani Indonesia menyebut kebijakan parlemen dan pemerintah di sektor pertanian dan pangan masih menunjukkan carut marutnya negara mengelola sistem pertanahan di Indonesia.
Salah satunya yakni UU Nomor 2 tahun 2012 tentang  Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, Minggu (30/12), kebijakan itu memposisikan rakyat hanya sebagai objek yang gampang digusur.
Dia menyebut konflik agraria yang muncul adalah ekses dari praktek-praktek penggusuran tanah rakyat atas nama pembangunan dan kepentingan umum.
Setiap kali pembangunan pertanian, perkebunan, pertambangan, perumahan, jalan tol, kantor pemerintahan, cagar alam, hingga pengembangan wisata rakyat selalu menjadi korban. "Bahkan korban jiwa dan kriminalisasi petani serta nelayan dan masyarakat adat," kata Henry.
Dengan diundangkannya aturan itu, menurut Henry, dimensi konflik agraria bertambah luas, karena bahkan sejak aturan itu masih berbentuk Perpres Nomor 65 tahun 2006 pengadaan tanah bagi kepentingan umum tersebut sudah memicu  reaksi keras masyarakat.
“Mengingat rancunya makna kepentingan umum isi UU Nomor 2 tahun 2012  hanya memberikan keleluasan lebih besar bagi para investor dengan mengorbankan kepentingan rakyat, “kata Henry.
Sejak dikeluarkannya UU  Nomor 2 tahun 2012 tersebut SPI dan sejumlah organisasi masyarakat mengajukan uji materiil terhadap UU ke Mahkamah Konstitusi.  SPI mendasarkan dalil uji materiil itu dengan Pasal 33 (3) UUD 1945.
Selain dianggap bertentangan dengan Pasal 33, UU tersebut juga dianggap tak menjamin perlindungan dan penghormatan terhadap HAM karena bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945. UU itu dianggap menghambat rencana redistribusian tanah-tanah terlantar bagi para petani.(E2)

Sumber:http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=725

Dewan Minta PT SBP Surati Bupati

08 January 2013

PANGKALAN KURAS-Kisruh lahan kelompok tani di SP 6 PT Surya Bratasene Plantation belum menemui titik terang dan semakin memanas. Konflik yang terjadi sejak tahun 2004 silam, hingga kini semakin meruncing. Pasalnya, lahan seluas 700 hektare yang berada di lahan Hak Penguasaan Lahan PT SBP itu diperuntukan bagi masyarakat yang berada di sekitar operasional perusahaan menuai kontroversi. Dari total lahan 700 hektare, kemudian melalui pembinaan oleh PT SBP telah ditanami komoditi kelapa sawit seluas 500 hektare, tersisa 200 hektare yang gagal dijadikan lahan perkebunan. Dari 500 hektare yang telah diproduksi itu telah dinikmati hasilnya oleh warga dua desa, yakni Desa Terantang Manuk dan Palas. Celakanya, masyarakat Desa Dundangan sama sekali tidak kebagian dari kebun 500 hektare itu, padahal secara admi
nistratif, lokasi kebun SP 6 termasuk kawasan Desa Dundangan.
"Karena masyarakat Dundangan tidak menerima pembagian dari lahan 500 hektare itu. Kemudian atas nama Kelompot Tani Dundangan Sejahtera, mengajukan untuk pembuatan perkebunan di atas lahan yang tersisa 200 hektare itu kepada Pemkab Pelalawan. Oleh Pemkab, diberilah rekomendasi. Namun, berawal dari sinilah konflik itu terjadi. Masyarakat Dundangan diusir dan tidak berhak mengolah lahan 200 hektare itu oleh masyarakat Terantang Manuk dan Palas. Sementara pihak perusahaan tidak mampu berbuat apa-apa karena telah diintimidasi oleh masyarakat Terantang Manuk dan Palas itu," ungkap Kepala Desa Dundangan, M Taher, saat kunjungan Kerja Komisi A DPRD ke PT SBP dalam upaya penyelesaian konflik.
Turut hadir dalam kunker itu Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Nasri Fisda, Dinas Perkebunan, Badan Pertanahan Nasional, serta Tata Pemerintahan, Senin (7/1). Menurut M Taher, konflik terus berlanjut, oknum yang berpengaruh di dua desa diatas dan oknum di desa Dundangan itu sendiri yang memiliki kedekatan dengan pihak PT SBP mulai bermain lebih jauh.
Lahan 200 hektare itu, imbuhnya, mulai diperjual belikan oleh oknum berpengaruh tersebut. Sehingga, tidak ada satu pun warga Dundangan yang memiliki lahan perkebunan tersebut. Padahal, dari data awal untuk lahan 500 hektare itu, tercantum sejumlah nama warga Dundangan, namun hingga kini kebun digarap dan dihasilkan oleh pihak lain.
"Kita berharap dewan bisa memberikan solusinya sebelum konflik menjadi memanas. Karena status lahan yang berada di HPL PT SBP tersebut, bagaimana pun juga adalah tanggung jawab perusahaan, namun saat ini pihak PT SBP terkesan takut karena disinyalir diintimidasi oleh pihak lain," ucap Kades M Taher.
Sementara itu, Humas PT SBP, Batubara, menyebutkan, status lahan yang dipermasalahkan itu oleh Bupati Pelalawan telah dikeluarkan SK-nya. "Kita kantongi SK Bupati Pelalawan terkait warga mana yang berhak memiliki dan menguasai lahan itu. Sebetulnya, jika terjadi konflik saat ini kewenangan penyelesaiannya berada di tangan Pemda Pelalawan, pihak kita tak perlu ikut campur", elak Batubara.
Menurut Kadis Naker Trans, Nasri Fisda, pihak perusahaan wajib kooperatif dalam upaya penyelesaian konflik. Pasalnya, status lahan adalah HPL PT SBP dan menjadi tanggung jawab perusahaan untuk secepatnya mencari upaya penyelesaiannya. "Status lahan yang menjadi konflik saat ini berada di Hak Penguasahaan Lahan oleh PT SBP, jika terjadi konflik perusahaan wajib untuk menyelesaikannya. Jika perusahaan tidak mau, lahan mesti diserahkan ke negara melalui Dirjen Transmigrasi. Kemudian lahan distatus Quo-kan, selama proses penyelesaiannya", kata Nasri Fisda.
 Kadis sempat bernada tinggi karena Humas SBP tetap ngotot status lahan berpatokan pada SK Bupati Pelalawan.  Pertemuan yang digelar di Kantor PT SBP itu berjalan sengit. Pihak perusahaan dicecar dengan se
jumlah pertanyaan oleh Komisi A yang dihadiri oleh, Markarius Anwar, Nazaruddin Arnazh, Josen Silalahi dan Abdul Muzakir.(zol)

Sumber:http://www.haluanriaupress.com/index.php/daerah/halaman-16/14259-dewan-minta-pt-sbp-surati-bupati.html

Minggu, 06 Januari 2013

Anak Kemenakan Dt Rajo Melayu Dipaksa Tinggalkan Tanah Ulayat



Saturday, 11 August 2012
PEKANBARU-Anak kemenakan Dt Rajo Melayu, di Kenegerian III Koto Sebelimbing dipaksa meninggalkan tanah ulayatnya di Desa Siabu, Kampar oleh PT Perawang Sukses Perkasa Industri, Rabu (8/8) lalu.
Kini, harapan mereka atas penyelesaian konflik sumber daya alam atau konflik agraria tersebut tergantung kepada tindakan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Keinginan tersebut disampaikan Muhamaddun, Sekretaris Kedatukan Rajo Melayu, Kamis (9/8), didampingi Saripudin Dt Rajo Melayu, A Kamal Sa'in Dt St Majolelo, Juliardi, Ketua Umum Kelompok Tani Pertemuan Jaya dan Jufri.
Dia menceritakan, kejadian penggusuran itu merupakan yang ketiga kalinya. Pertama, tahun 1997 lalu, mereka menggarap lahannya dan diusir perusahan tersebut.
Penyelesaian secara damai tersebut juga didesakkan sustainable social development partnership (Scale Up), melalui pernyataan Albadry Arif dari Divisi Pengorganisasi Scale Up, Kamis (9/8).
Dia menyatakan, sejauh ini Dt Rajo Melayu dan anak kemenakannya sudah beritikad baik untuk menyelesaikannya dengan kesepakatan kedua pihak dengan damai. Mereka sudah menyurati pihak-pihak yang berwenang, mulai dari perusahaan, Bupati, Dewan Kehutanan Nasional, camat, termasuk mengikuti rapat dengar pendapat dengan DPRD.
Mereka juga sudah mengikuti instruksi Bupati Kampar untuk menahan diri, jangan sampai melakukan kekerasan dan memicu konflik fisik. "Warga telah mengikuti instruksi Bupati untuk menahan diri. Tapi, perusahaannya bagaimana? Mereka justru menggusur warga dari lahan yang mereka kelola yang justru berada di atas tanah ulayat yang mereka miliki namun direbut perusahaan sejak tahun 1997," ujar Albadry.
Dituduh Membakar
Pernyataannya itu merujuk pada yang dilakukan PT PSPI pada tanggal 7-8 Agustus lalu. Didahului dengan kebakaran lahan yang dituduhkan kepada anak kemenakan Dt Rajo Melayu, pondok-pondok yang mereka huni di lahan yang dikelola menjadi perkebunan rakyat itu dibongkar. Beberapa orang yang menjaga lahan dituduh membakar lahan perusahaan dan diancam oleh petugas keamanan perusahaan untuk meninggalkan lahan mereka.
Selanjutnya, pondok-pondok itu dibongkar oleh petugas keamanan sekitar 30 orang, ditambah beberapa orang dari manajemen termasuk empat orang aparat Kepolisian. Pembongkaran dilakukan dengan peralatan yang mereka punyai, termasuk dengan alat-alat berat.
Kini, seluruh areal perusahaan yang dibuat menjadi hutan tanaman industri (HTI) berupa akasia itu diblokade perusahaan. Masyarakat umum tak bisa manembus pembatasan itu. Semua titik masuk area perusahaan dijaga petugas keamanan 24 jam. Selain itu, titik-titik masuk areal tersebut ditutup dengan kontainer atau diberi portal, ditutupi mobil, termasuk juga dengan memutus jembatan penghubungnya.
Pinjam Pakai
Saripudin Dt Rajo Melayu, secara ringkas menjelaskan, awal mula pengambilan tanah ulayat mereka. Setelah pinjam pakai lahan mereka dengan Pangkalan TNI AU untuk program Air Weapon Range tahun 1987, tak jelas kenapa kemudian keluar SK Menhut/249/kpts II/98 yang memberi hak kelola kepada PT PSPI pada tanah ulayat Dt Rajo Melayu seluas 4.500 hektare, yang tersebar di Kecamatan Bangkinang, Salo dan Kampar Kiri.
Karena itu, 150 kepala keluarga anak kemenakan Dt Rajo Melayu terpaksa tercerai-berai karena harus meninggalkan tanah ulayat mereka dan harus meninggalkan mata pencarian mereka.
Padahal, area itu masih berdasarkan peta indikatif atau sementara. Selain itu, salah satu isi keputusan menyebutkan, apabila dalam areal itu ada tanah perkampungan dan lain-lain sejenis, perlu dikeluarkan dari area perusahaan. Terkait itu, Dt Rajo Melayu juga menuntut perusahaan dapat menunjukkan tapal batas area mereka. (din)


Sumber: http://www.haluanriaupress.com/index.php/daerah/halaman-20/3582-anak-kemenakan-dt-rajo-melayu-dipaksa-tinggalkan-tanah-ulayat.html

"Riau kehilangan hutan alam hingga 0,5 juta hektare dengan deforestasi rata-rata sebesar 188 ribu hektar pertahun."

Sabtu, 29 Desember 2012 VHRmedia, Jakarta - Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) menuding korporasi hutan tanaman industri melakukan kejahatan luar biasa di Riau. Tudingan itu disampaikan Jikalahari pada catatan akhir tahun 2012 bertajuk "Presiden SBY, Menhut RI dan Penegak Hukum RI Tidak Tuntas Memerangi Praktek Extra Ordinary Crime sektor Kehutanandi Riau." “Mengapa korporasi sengaja melakukan praktek tersebut? Hasil kajian kita menunjukkan karena keuntungan luar biasa besar yakni Rp 1.994 triliun (SP3 Illog Riau tahun 2008) dan Rp 3 Triliun (korupsi kehutanan), ” kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari, di Jakarta, Jumat (28/12). Jikalahari menyebut selama tiga tahun terakhir, Riau kehilangan hutan alam hingga 0,5 juta hektare dengan deforestasi rata-rata sebesar 188 ribu hektar pertahun. Saat ini hutan alam Riau tinggal tersisa dua juta hektar atau 22,5 persen dari luas daratan. Laju deforestasi dalam periode itu lebih besar dibanding deforestasi tahun 2005-2007 yang hanya 160 ribu hektar pertahun. “Deforestasi meningkat tajam meskipun ada kebijakan moratorium,” kata Muslim. Eksploitasi hutan alam itu, kata Muslim, digunakan untuk memasok bahan baku industri pulp and paper khususnya Asian Pulp and Paper Co Ltd (APP) dan Asia Pacific Resources International Limited atau APRIL. Menurut Muslim, seharusnya dengan komitmen SBY yang digembar-gemborkan ke manca negara untuk mengurangi emisi CO2 deforestasi dan degradasi hutan harus menjadi perhatian utamanya. Namun, fakta menunjukkan hal berbeda. Hutan Riau kini di tubir kerusakan parah. “Penghancur hutan alam terbesar di Riau adalah korporasi atau perusahaan sektor HTI,” kata Muslim. Dia menyebut, pembangunan HTI di Riau tak mengindahkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan tak menjalankan praktek bisnis yang sesuai standar HAM dan kerap kali berkonflik dengan warga. Parahnya lagi, kata Muslim, korporasi HTI dibiarkan merusak citra hukum Indonesia dengan serangkaian kejahatan sistematis, mulai dari sekadar pelanggaran administratiif, kejahatan kehutanan, kejahatan korupsi hingga dugaan kejahatan pencucian uang.“Praktek pembiaran ini terjadi sejak tahun 2008 hingga menjelang tutup akhir tahun 2012," kata Muslim.(E2)

Teguh Nugroho Sumber:http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=714

Jumat, 04 Januari 2013

Atasi Konflik, Pengadilan Agraria Diperlukan

Jumat, 04 Januari 2013 (dok/SH)
Konflik makin keruh akibat pemerintah kurang tanggap mengelola isu yang ada. JAKARTA - Konflik agraria yang berlarut-larut dan terjadi hampir di setiap daerah serta menelan korban jiwa maupun materi, sudah mulai mengganggu kestabilan ekonomi dan politik. Ledakan dan potensi konflik akibat pengambilan tanah rakyat maupun ulayat untuk industri perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan pertanian yang meluas telah menyebabkan situasi darurat di berbagai daerah. Karena itu, Ketua Tim Kajian Reforma Agraria, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Hermawanto mengatakan, selain membentuk Dewan Reforma Agraria Nasional (DRAN), saat ini juga dibutuhkan segera sebuah Pengadilan Agraria yang bertugas menetapkan pencabutan hak kepemilikan dan pengelolaan atas tanah terhadap tanah-tanah telantar dan pemanfaatan objek agraria yang tidak memberikan kemakmuran bagi rakyat. “Pengadilan Agraria menerima permohonan dari DRAN kemudian menetapkan atau mencabut kepemilikan hak atas pemilikan atau pengelolaan tanah dan air yang didapatkan dari perampasan hak milik rakyat,” ungkapnya kepada SH, Kamis (3/1). Pengadilan Agraria juga juga memutuskan ganti kerugian atas segala kerugian negara yang diakibatkan beroperasinya perusahaan pengelola sumber-sumber agraria yang merugikan rakyat dan negara. DRAN juga berwenang melakukan audit agraria dan menghentikan untuk sementara waktu segala izin operasional perusahaan yang menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat. “Menghentikan atau mencabut izin operasional yang terbukti melanggar hukum, merugikan negara, merugikan kesejahteraan rakyat, merusak lingkungan, atau lahir karena adanya unsur KKN (korupsi, kolusi, atau nepotisme-red),” tegasnya. Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalis Pigay menyetujui pentingnya pembentukan DRAN dan Pengadilan Agraria. "Dewan dan Pengadilan Agraria ke depan akan sangat menentukan penataan kembali kepemilikan dan penggunaan tanah yang selama ini tidak adil dan merugikan rakyat," ungkapnya, Jumat (4/1). Ia menjelaskan bahwa tahun ini Komnas HAM akan membentuk Tim Penyelesaian Konflik Agraria seperti yang diusulkan banyak pihak. Tim ini bertugas untuk meredam berbagai konflik agraria yang sudah meledak maupun potensial. "Tim akan dipimpin oleh Dr Dianto Bacriadi; menjalankan amanat Presiden kepada Menko Polhukam agar segera mengakhiri berbagai konflik agraria," jelasnya. Pada tahap awal, tim penyelesaian konflik agraria makan bertugas memotret dan mendata peta konflik agraria yang tersebar di semua daerah. "Termasuk di dalamnya, kasus Jambi, Riau, Blitar, Bombana, Padang Lawas, Freeport, dan ribuan kasus lainnya yang selama ini mengorbankan hak asasi rakyat," katanya. Selama ini, menurut Natalis, sejumlah perusahaan sawit, akasia, pertambangan emas, minyak, gas dan industri lainnya telah melanggar HAM dan harus ditertibkan. "Tim akan mendesak Mendagri, BPN, Menhut dan lembaga terkait untuk duduk bersama menyelesaikan semua persoalan," ucapnya. Aksi “Long march” Sementara itu long march petani dari Jambi kembali melanjutkan perjalannya dari Lampung menuju Istana Negara di Jakarta, setelah 22 hari berjalan kaki dari Jambi. Di Lampung para petani dari Kabupaten Mesuji, bersiap-siap akan ikut bergabung dalam aksi jalan kaki bersama menuju Jakarta untuk menuntut penyelesaian masalah lahan antara warga dengan PT Silva Inhutani. “Selain petani dari Mesuji, petani dari Pulau Padang Riau juga sedang bersiap-siap untuk ikut dalam long march,” demikian Ketua Serikat Tani Nasional (STN), Yorris Sindhu ketika dihubungi di Desa Tugu Roda, Kabupaten Mesuji, Lampung, Jumat (4/1). Sebagian petani Jambi tetap bertahan di depan kantor Kementerian Kehutanan menuntut pengembalian lahan warga dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Termasuk di dalamnya komunitas suku Anak Dalam Batanghari, Jambi, yang ikut menuntut agar pemerintah segera melakukan keputusan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam enclave lahan. Perusahaan yang terlibat konflik di Jambi adalah PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), PT Agronusa Alam Sejahtera, dan PT Asiatic Persada yang dimiliki Wilmar Group.

Sumber: http://shnews.co/detile-12964-atasi-konflik-pengadilan-agraria-diperlukan-.html

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah