Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Sabtu, 30 Juni 2012

Konflik Kehutanan Cerminkan Ketimpangan Keadilan Sosial

“Pengelolaan hutan masih menganggap Hutan sebagai Obyek dan Manusia sebagai Subyek, dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dianggap sebagai subyek yang harus dikeluarkan dari wilayah hutan”
Seperti diberitakan oleh Mongabay.co.id (29 Juni 2012), saat ini masyarakat yang tinggal di Pulau Padang, kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti sangat resah terhadap nasib masa depannya.  Konflik lahan antara pihak masyarakat dengan pihak PT RAPP (APRIL Group) telah menyebabkan tidak jelasnya mata pencarian masyarakat.  Sebagai bagian dari rasa frustasi, 10 orang masyarakat Pulau Padang siap membakar diri di depan Istana Negara melanjutkan upaya untuk mencari kebenaran.
Konflik bermuasal dari keluarnya SK Menhut nomor 327 tahun 2009 yang memberikan tambahan luasan wilayah konsesi RAPP di hutan gambut Pulau Padang dan Semenanjung Kampar yang berpotensi untuk mengubah bentang hutan alam seluas 41.250 hektare (ha) dari sekitar 110.000 ha luas Pulau Padang untuk tanaman monokultur akasia.  Masyarakat Pulau Padang, yang mulanya hidup tenang dengan pola pertanian dan perkebunan sagu dan karet mulai terusik ketika RAPP masuk.
Demo Masyarakat Pulau Padang Menuntut Keadilan dari Pemerintah. Foto: Ahlul Fadli

Kawasan Pulau Padang yang sejatinya pulau kecil berbentuk kubah gambut sangat rentan jika ada aktivitas konversi hutan skala luas. Perkebunan sagu yang menjadi sektor andalan masyarakat Pulau Padang akan terganggu karena konversi hutan gambut dan akan membuat lahan terlalu kering. Kondisi lain diperparah makin tinggi pengikisan tanah di pesisir. Saat ini permukaan gambut sendiri, dilaporkan telah turun 1 meter dari permukaan gambut semula.
Ibarat gunung es, maka kasus Pulau Padang hanyalah satu dari sekian banyaknya kasus pertanahan yang berhubungan dengan kehutanan. CIFOR dan FWI dalam penelitiannya menyebutkan terdapat lima faktor penyebab konflik kehutanan yaitu:  1) perambahan hutan,  2) kerusakan lingkungan,  3) alih fungsi,  4) pencurian kayu, dan  5) tata batas dan pembatasan akses kepada masyarakat.
Dari kelima kategori ini pada umumnya konflik-konflik yang sering terjadi di sekitar kawasan hutan paling sering dikarenakan adanya tumpang tindih tata batas sebagian areal konsesi maupun kawasan lindung dengan lahan garapan masyarakat; dan karena terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari keberadaan hutan, baik hasil hutan maupun sebagai tempat tinggalnya.  Hal ini bertambah parah, karena umumnya peta kawasan hutan negara yang telah selesai diadministrasi ‘bertemu gelang’ (dinyatakan telah disahkan dan ditetapkan) baru 14,24 juta hektar dan 116,44 juta hektar lainnya yang belum ditetapkan.
Pada tahun 2011 saja, LSM Hukum Lingkungan HuMA mencatat paling tidak terdapat 69 kasus sengketa kehutanan yang terjadi di 10 propinsi di Indonesia.  Konflik semakin kerap terjadi akibat akes yang menyempit dan semakin terdesaknya kawasan hutan yang semula dikelola oleh masyarakat karena terdesak oleh izin konsesi yang dikeluarkan oleh pemerintah.  Data tentang sebaran sebaran konflik di regional nyaris tidak berubah dengan data yang dikumpulkan oleh CIFOR dan FWI pada tahun 2004, yang menyatakan setidak-tidaknya terdapat konflik kehutanan di 10 propinsi Indonesia.
Doktrin Kebijakan Kehutanan di Indonesia: Bersandar kepada Kayu dan Pemanfaatan Ekonomi
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB menyatakan bahwa konflik kehutanan saat ini di Indonesia tidak terlepas dari sikap dan pola pandangan pengelolan kehutanan itu sendiri.
Selama ini pengelolaan kehutanan berbasis kepada doktrin yang diambil dari pengelolaan hutan yang berasal dari Eropa Kolonial yaitu hutan masih dipandang sebagai penghasil utama kayu (timber primacy), mempertahankan kelestarian hasil hutan berjangka panjang (long term sustained yield), dan berpatokan bahwa hutan adalah obyek pengetahuan ilmiah (absolute standard).  Dengan demikian implementasi kebijakan perundang-undangan adalah untuk mendapat manfaat ekonomi sebesar-besarnya dari pemanfaatan hasil hutan (umumnya kayu) dan menisbikan dinamika lain yang terjadi seperti pengakuan keberadaan hutan bagi masyarakat.
Dengan pola ini, tidak heran jika pemerintah masih memandang bahwa masih menguntungkan jika hutan dikelola oleh perusahaan besar melalui ijin konsesi daripada mengembangkan beragam tujuan lain dari hutan.  Hutan masih dianggap sebagai asset milik negara (satu arah) tanpa melihat adanya kenyataan bahwa banyak aktor, -termasuk masyarakat,- yang terlibat.  Pengelolaan hutan di Indonesia masih menganggap hutan sebagai obyek (yang dapat dimanfaatkan dan dieksploitasi), dan manusia sebagai subyek, dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dianggap sebagai subyek yang harus dikeluarkan dari wilayah hutan. Pandangan ini tentunya telah melakukan pengabaian akan kenyataan sejarah bahwa bergenerasi kelompok masyarakat telah bermukim di wilayah tersebut jauh sebelum adanya hegemoni dan klaim hukum negara di wilayah tersebut.
Dengan pandangan demikian, masyarakat yang selama ini hidup dari jasa hutan, dianggap sebagai kelompok yang lebih lemah posisinya daripada para pemegang ijin maupun pengelola hutan.  Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah terkait hutan hanya dilakukan diantara pihak pemerintah dengan perusahaan pemohon ijin yang ditunjuk dan ditetapkan negara sebagai pihak pengelola kawasan.
Pada jaman orde baru, dikenal pola praktik “Bina Desa Hutan”, suatu praktik umum dimana pemegang konsesi seperti HPH, diwajibkan untuk melaksanakan program membantu masyarakat yang tinggal di dalam/ sekitar hutan dengan bantuan yang bersifat charity seperti pembangunan prasarana dan sarana seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan dan balai desa.
Sebagai bagian pemberian kompensasi kepada masyarakat, – agar merasakan dampak langsung pengelolaan hutan dari pemegang konsesi dalam jangka pendek -, mungkin praktik bantuan langsung ini memberikan manfaat bagi masyarakat, tetapi dalam jangka panjang hal ini tidak menjawab pertanyaan dasar mengenai pengakuan terhadap keberadaan masyarakat untuk mengelola hutan itu sendiri.
Akibatnya, yang umum terjadi di daerah konflik, masyarakat tidak tahu-menahu mengenai rencana pengelolaan yang ada.  Pemberian ijin konsesi umumnya ditindaklanjuti dengan munculnya larangan masyarakat untuk memasuki hutan.  Demikian pula berbagai kebijakan alih fungsi hutan, seperti ijin konsesi untuk konversi hutan menjadi perkebunan sawit, HTI akasia dan eucalyptus maupun tambang, menyebabkan akses memenuhi kebutuhan kehidupan yang semula ada, menjadi semakin sempit, bahkan tertutup.
Belum bicara mengenai pranata sosial, seperti adat, budaya dan filsafat hidup yang menjadi hilang.  Masyarakat Dayak Punan atau Orang Rimba misalnya (baca artikel Mongabay.co.id 28 Juni 2012) yang hidup dari berburu dan meramu menemukan bahwa hutan tempat hidupnya telah dikonversi menjadi perkebunan sawit.  Apa yang mereka bisa lakukan untuk mengantisipasi perubahan yang ada tersebut?  Apakah mereka mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan baru yang berbeda dengan kehidupan nenek moyang mereka bergenerasi yang telah tinggal dan diwariskan di wilayah itu?

Hutan Gambut Senepis di Riau yang Habis Dibabat. Foto: Eyes of the Forest
Belum lagi bicara tentang hal lain seperti dampak lingkungan yang terjadi.  Pencemaran sungai akibat pestisida, hilangnya habitat satwa buruan, penyakit ISPA (umumnya terjadi di wilayah hutan yang dibakar untuk konversi lahan) dan hilangnya sumber-sumber mata air telah menyebabkan turunnya kualitas kehidupan masyarakat lokal.
Meskipun saat ini pemerintah telah memunculkan berbagai inisiatif program pengelolaan hutan bagi masyarakat, seperti hutan desa (dengan tujuan kesejahteraan desa), hutan kemasyarakatan (untuk memberdayakan masyarakat) dan hutan tanaman rakyat (untuk tujuan ekonomi masyarakat), namun masih terasa ketimpangan yang terjadi terhadap penguasan tanah lahan hutan.
Sebagai gambaran, pada tahun 2011 pemanfaatan hutan oleh usaha besar (pengusahaan hutan pada hutan alam, hutan tanaman dan restorasi ekosistem), usaha besar perkebunan dan tambang, serta untuk program transmigrasi adalah seluas 41,01 juta Ha atau 99,49% sedangkan pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal/adat (hutan tanaman rakyat, hutan desa dan hutan kemasyarakatan) seluas 0,21 juta Ha atau 0,51% dari luas pemanfaatan hutan seluruhnya (Data Kemenhut, 2011).
Saat ini pula, terdapat 304 perusahaan HPH yang beroperasi dengan luas konsesi lahan sekitar 24,88 juta hektar, sedangkan untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang diperuntukkan kepada 11.499 kepala keluarga hanya sekitar 210.000 hektar saja.
Bom waktu telah nyata di depan mata.  Pengabaian terhadap hak-hak masyarakat ini akan menyebabkan semakin meningkatnya eskalasi konflik kehutanan di masa depan.  Saat ini terdapat 33.000 desa di seluruh Indonesia yang berada di dalam maupun di sekitar kawasan hutan yang harus diberikan kejelasan hukum (Bisnis Indonesia, 28 Juni 2012).  Apakah untuk setiap kejadian konflik, masyarakat akan terus dikriminalisasi dan dianggap sebagai aktor yang menentang dan melawan hukum?
Hukum yang ada harus direformasi.  Pengelolaan hutan harus memperhatikan hak asali manusia, yaitu hak untuk hidup layak dan hak berusaha untuk mencari nafkah.  Pemerintah tidak boleh lagi hanya menjadi ‘pemadam kebakaran’ namun harus muncul dengan paradigma baru pengelolaan kehutanan yang diimplementasikan dalam aturan dan kebijakan baru.  Pemerintah pun harus memberikan kepastian hukum atas tanah yang dikuasai dan diolah baik oleh masyarakat lokal maupun masyarakat adat secara kolektif.  Agenda reformasi agraria harus segera dilaksanakan, tanpa perlu menunggu lagi munculnya kasus-kasus yang mengenaskan seperti yang terjadi bagi masyarakat Pulau Padang dan ratusan bahkan ribuan kasus lain yang selama ini terjadi.
Satu tantangan yang harus diselesaikan, jika pemerintah masih mau dianggap sebagai pemerintah yang memberikan keamanan berkehidupan dan berkeadilan sosial bagi masyarakatnya.

Sumber : mongabay.co.id
1 juli 2012

SK 327 Terindikasi Bermasalah


SK 327 Terindikasi Bermasalah


PEKANBARU(RP)-Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau, dan Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKMR), menilai bahwa surat keputusan Menhut No.327/2009 tentang izin tanaman industri salah satu perusahaan di Riau terindikasi bermasalah. Untuk itu ketiga pihak segera membahas SK tersebut, bahkan berancang-ancang untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

‘’Hari Selasa nanti (3/7), kami akan membahas SK itu dengan instansi terkait terutama Dinas Kehutanan Riau, sekaligus memutakhirkan indikasi permasalahan dimaksud,’’ kata Ketua Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAMR yang juga Ketua Harian FKMR, Al azhar, kepada pers Sabtu (30/6). Langkah ini diperlukan karena indikasi bermasalahnya SK 327 tersebut sudah dinyatakan berbagai pihak baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Kehutanan-nya sejak 2009.

Al Azhar belum bersedia menyebutkan secara rinci soal masalah apa-apa saja yang terkait dengan SK itu karena akan dimutakhirkan. Jumlahnya lebih dari 12 pasal yang setidak-tidaknya tergambar dengan adanya konflik di Pulau Padang akibat turunnya SK tersebut.

Datangi LAM Riau  
Dalam pada itu, warga Pulau Padang yang dipimpin M Ridwan, Sabtu (30/6) mendatangi balai LAMR, jalan Diponegoro Pekanbaru. Mereka menyampaikan segala permasalahan yang hadapi di depan LAMR, MUI Riau, dan FKMR.

‘’Bakar diri tersebut kami lakukan untuk memperkecil korban akibat SK tersebut,’’ katanya seraya menambahkan, kalau tidak demikian, bisa saja terjadi kasus Bima di Pulau Padang yang ditandai berbagai tindakan fisik sehingga menimbulkan korban jiwa maupun fisik yang tidak sedikit.

Sehubungan dengan hal itu, baik LAMR, MUI Riau, dan FKMR, meminta agar warga tidak melakukan tindakan bakar diri. Sebab, masih ada jalan lain yang dapat ditempuh termasuk dengan apa-apa yang hendak dilakukan ketiga lembaga tersebut.

‘’Tiga tahun ananda-ananda telah bersabar dengan hal ini, kami selaku orang tua meminta agar kesabaran itu diperpanjang sedikit saja, sementara kami akan menindaklanjuti kasus ini sesuai dengan kemampuan kami,’’ kata Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) Riau, H Tenas Efendi yang didampingi Ketua MUI Riau, Prof Dr H Mahdini MA.(fed)

Sumber : http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=13979&kat=3

Scale up Ungkap fakta pemicu Konflik

PEKANBARU (Scale Up)- Persoalan agraria yang banyak merenggut korban jiwa dinilai karna banyak faktor.Fakta Fakta di di konflik agraria ini di ungkapkan Direktur Eksekutif Scale Up (Suistaible Social Development Parnership -( Scale Up),Ahmad Zazali Bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan komunitas jurnalis di Riau dalam pertemuan dengan Lembaga Adat Melayu Riau ( LAMR), Jumat (29/6) di Balai Adat Riau.
   
Fakta fakta itu, manurutnya dihimpun mulai tahun 2008 hingga 2010. dibeberkannya,dalam pembangunan Riau,pedoman yang digunakan masih menggunakan dua peta.
   Pertama,peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) 1986 sebagai acuan dalam menentukan alokasi pembanguna di Riau.Peta ini hanya memberikan ruang yang bisa digunakan masyarakat sekitar 2,07 Persen berdasarkan SK Menhut nomor 173 /KPts-II/1986
 
  Kedua Peta RTRWP Riau berdasarkan Perda Nomor 10 Tahun 1994,yang dialokasikan hanya 4,7 Persen dari luas Riau 8,5 Juta hektare lebih.Selebihnya adalah kawasan Hutan yang Penggunaan nya harus mendapatkan izin Menhut.

"Kalau menurut Peta ini,kantor Gubernur pun masuk kawasan hutan," jelasnya

Sementara setiap pembangunan harus mengacu Peta  TG-HK.karena belum ada perubahan nya.Alokasi ini terbilang sangat kecil.
Areal Lain yang digunakan masyarakat,hutan tanaman produksi yang bisa dikonversi dengan izin Menhut.
karena masuk kawasan hutanan.peruntukkan lahan di riau berdasar peta Kehutanan di Riau,luasan kawasan hutan lebih besar yakni mencapai 79,persen.(Gie)



Tenas Minta Warga Aksi Bakar Diri Untuk Bersabar

Sabtu, 30 Juni 2012

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU
  - Tokoh adat sekaligus Ketua Mejelis Kerapatan Adat Riau H. Tenas Efendi meminta kepada masyarakat pulau padang gabungan Serikat Tani Riau yang berencana akan melakukan aksi bakar diri untuk bersabar.

Demikian disampaikan Tenas pada dialog Lembaga Adat Melayu Riau, MUI dan MKA dengan warga pulau padang di Gedung LAM Riau, terkait rencana aksi bakar diri yang akan dilakukan beberapa warga pulau padang tersebut.

"Selama tiga tahun menunggu kepastian bisa ditunggu. masa iya
menunggu perundingan kami tidak bisa ditunggu, jadi harapan kami
bersabarlah sebelum kami di LAM dan lembaga lainnya berunding untuk mencari penyelesaian permasalahan ini," kata Tenas.

Tenas menghargai sikap beberapa warga pulau padang tersebut, namun
menurut Tenas, semua permasalahan itu bisa diselesaikan dengan
perundingan.

Tenas juga menambahkan, pihaknya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari solusi penyelesaian permasalahan ini, Ia juga yakin setiasp permasalah itu pasti ada solusinya.

"Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari solusi permasalahan
ini, selanjutnya dengan solusi ini nantinya akan melahirkan sebuah
tindakan penyelesaian masalah, agar aksi bakar diri jangan sampai
terjadi," kata Tenas Efendi.

 Sumber :http://pekanbaru.tribunnews.com/2012/06/30/tenas-minta-warga-aksi-bakar-diri-untuk-bersabar

Jumat, 29 Juni 2012

Pemkab Diminta Sikapi Sengketa Lahan

29 Juni 2012
TEMBILAHAN (RP) - Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Selamat, Ahmad Rizal Zuhdi menyampaikan, saat ini seluruh anggota kelompok tani yang dipimpinnya merasa semakin resah akibat aksi para pekerja PT Palma I yang merusak tanaman sawit yang telah ditanam anggotanya.

Zia meminta agar Pemerintah Kabupaten Inhil dapat lebih serius lagi dalam menyikapi persoalan ini.

Pasalnya, sampai hari ini para pekerja PT Palma I terus melakukan perusakan terhadap tanaman milik petani Desa Pancur.

‘’Baru saja saya di telepon oleh anggota di lapangan, tanaman sawit mereka dicabut oleh para pekerja PT Palma I, kita minta Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, untuk lebih serius lagi dalam menyikapi masalah ini,’’ ungkap Ahmad Rizal Zuhdi, Kamis (28/6) di Tembilahan.

Ahmad mengungkapkan, dikhawatirkan aksi provokasi para pekerja PT Palma I ini akan memancing kemarahan dan terjadinya tindakan yang tidak diinginkan di lapangan.

‘’Kita terus memberikan pemahaman kepada anggota, agar dapat menahan diri dan tidak terpancing dengan melakukan tindakan yang tidak diinginkan,’’ sebutnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Gapoktan Selamat, Zainuddin Acang SH mengharapkan, permasalahan konflik di lapangan ini dapat disikapi serius pihak Pemkab Inhil, jangan sampai permasalahan ini menjadi bom waktu sehingga terjadi konflik yang lebih luas.     

‘’Kita minta Pemkab Inhil dapat serius menyikapi permasalahan ini, jangan sampai kejadian di lapangan memicu konflik lebih luas,’’ tegasnya.

Lahan petani yang diduga diserobot tersebut mengantongi Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Pancur dan Camat Keritang, dengan mengacu kepada Peraturan Gubri Nomor 28 Tahun 2005 tentang Penetapan dan Penegaasan Batas Daerah antara Kabupaten Inhu dan Inhil dan diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 10/P.PTS/V/2008/10/HUM/2007 yang menegaskan bahwa Desa Pancur, Kecamatan Keritang, masuk wilayah Kabupaten Indragiri Hilir.

Menanggapi keluhan masyarakat petani Desa Pancur ini, Staf Lapangan Humas PT Palma I, Purba berdalih PT Palma I tidak pernah melakukan penyerobotan lahan milik petani Kabupaten Indragiri Hilir. Ia bersikukuh bahwa  perusahaannya bekerja dalam wilayah Inhu.

‘’Kalau memang ada persoalan tapal batas, itu bukan urusan perusahaan. Silahkan saja Pemkab Inhil duduk dengan Inhu. Kemarin kami hanya mendapat perintah untuk sekadar menghadiri undangan hearing, karena izin kami di Kabupaten Inhu, kami merasa Kabupaten Inhil kurang tepat memanggil perusahaan kami,’’  ujarnya singkat.(*1)


Sumber: http://www.riaupos.co/cetak.php?act=full&id=1769&kat=5

Konflik perkebunan tiap tahun meningkat


  • WN Shopping
  • Ebay
Loading suggestions ...
2012-06-28:
Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh perusahaan termasuk perkebunan masih menjadi persoalan hingga saat ini. Pasalnya, jumlah konflik perkebunan semakin bertambah, setara dengan bertambahnya luas lahan perkebunan dikelola perusahaan.

"Perkembangan konflik semakin lama semakin naik, mengikuti perkembangan luas lahan yang dikuasai oleh investor," ujar Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Indriaswati Dyah Saptaningrum dalam diskusi bertajuk 'Konflik Perkebunan: Kontestasi Bisnis dan HAM' di Hotel Acacia, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (28/6).

Indri mengatakan, perkembangan konflik tersebut menunjukkan hal yang mencolok yakni terkait perilaku perusahaan. "Dari sekian banyak konflik terjadi, sebagian besar terkait dengan perilaku dan operasi bisnis dari perusahaan dalam mengelola lahan," ujar dia.

Namun demikian, Wakil Ketua Komnas HAM Nurcholis menyatakan konflik perkebunan tergolong sulit diselesaikan meskipun menggunakan hukum internasional HAM. Ini karena hukum internasional HAM belum menempatkan perusahaan sebagai subjek hukum.
"Subjek hukum internasional HAM adalah negara, bukan perusahaan. Sehingga kita belum bisa membawa pemilik perusahaan besar yang melakukan kejahatan ke mahkamah pidana internasional," ujar dia.

Sehingga, kata Nurcholis, dibutuhkan payung hukum yang dibuat dengan dasar pemikiran komprehensif. Ini karena konflik perkebunan sebagai kejahatan kemanusiaan tidak bisa dipecahkan secara parsial.
"Kita tidak bisa partikelir mengurusi tanah. Semua pihak yang memiliki kepentingan harus turut bersama merumuskan kebijakan baru terkait pengelolaan tanah," katanya.


Sumber : http://article.wn.com/view/2012/06/28/Elsam_Konflik_perkebunan_tiap_tahun_meningkat/
 

JIKALAHARI: Proses hukum terhadap 14 perusahaan pemasok APP ditunggu

Large_hutan-fw_dc

JAKARTA: Pengusutan 14 perusahaan pemasok Asia Pulp and Paper (APP) dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) berpotensi menyelamatkan hutan gambut di Riau seluas 60.000 hektar. Hingga kini hanya pejabat pemerintah daerah di provinsi tersebut yang telah diusut hingga diadili.
 
Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Muslim Rasyid mengatakan fakta sidang korupsi kehutanan yang melibatkan banyak pejabat pemerintah Riau menjadi terpidana, dapat mendorong dibukanya kembali pengusutan kasus 14 perusahaan hutan. Menurutnya, hal itu  akan menyelamatkan hutan Riau sedikitnya 60 ribu hektar.
 
Polda Riau sebelumnya menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada tersangka dari perusahaan pada 2008 terkait dengan kasus dugaan penebangan liar. Menurut kepolisian, dikeluarkannya surat itu dikarenakan mereka tak memiliki cukup bukti atas dugaan kejahatan tersebut. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya mengusut sejumlah pejabat pemerintah daerah yakni mantan bupati hingga kepala dinas kehutanan, namun gagal membuktikan terjadinya suap. Perbuatan yang terbukti adalah penyalahgunaan wewenang.
 
"Pengungkapan unsur korupsi dalam proses mengeluarkan izin oleh sejumlah pejabat di Riau adalah pintu masuk untuk mengusut keterlibatan perusahaan. Fakta sidang memperkuat dugaan keterlibatan itu,” kata Muslim dalam siaran pers bersama Greenpeace, Aliansi Jurnalis Independen Pekan Baru, dan Riau Corruption Trial hari ini, Kamis (28/06/2012).
 
Dia mengungkapkan fakta yang terungkap dalam persidangan kasus korupsi kehutanan dalam 5 tahun terakhir memperkuat dugaan bagaimana tindakan korupsi dilakukan oleh perusahaan bersama pejabat pemerintah daerah. Hal itu terkait dengan lolosnya berbagai perizinan bisnis dan akhirnya menghancurkan hutan penting Riau.
 
Jikalahari mencatat total wilayah konsesi 14 perusahaan itu sebesar 194.000 hektar, dengan proyeksi telah dihancurkannya  hutan gambut sekitar 100.000 hektar dan hutan alam dataran rendah seluas 30.000. Muslim memaparkan jika penyidikan dilanjutkan, maka potensi hutan gambut Riau yang bisa diselamatkan sebesar 60 ribu hektar. 
 
"Penyelamatan hutan hujan Indonesia dapat dilakukan juga melalui penegakan hukum yang seharusnya mampu melindungi kekayaan alam dan habitat satwa penting seperti harimau Sumatra, gajah Sumatra dan lainnya yang satwa tersebut kini terancam punah. Membongkar kembali kasus keterlibatan 14 perusahaan dapat mengembalikan harapan masyarakat pada keadilan hukum,” kata Rusmadya Maharuddin, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
 
Riau merupakan provinsi yang menjadi tempat dua perusahaan kayu raksasa dunia beroperasi serta menimbulkan kerusakan dan kehancuran hutan alam dan gambut. Dampak operasi perusahaan itu tidak hanya pada lingkungan tetapi juga menyebabkan kehilangan mata pencaharian bagi masyarakat di sekitar hutan.
 
Data Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), salah satu organisasi dalam koalisi tersebut, menyebutkan nama perusahaan itu adalah PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Kembang Selaras, PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Arara Abadi, PT Suntara Gajah Pati, PT Wana Rokan Bonai Perkasa, PT Anugerah Bumi Sentosa, PT Madukoro, PT Citra Sumber Selaras, PT. Bukit Betabuh Sei Indah, PT. Binda Daya Lestari, PT Rimba Mandau Lestari, PT Inhil Hutan Pratama, dan PT Nusa Prima Manunggal. Seluruh perusahaan itu memasok untuk dua perusahaan kayu besar yakni Asia Pulp and Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL). (sut)
 
Sumber : http://en.bisnis.com/articles/jikalahari-proses-hukum-terhadap-14-perusahaan-pemasok-app-ditunggu
 

Kamis, 28 Juni 2012

Sengketa Tanah akibat Penyelesaian Separuh Hati

Kamis, 28 Jun 2012 08:18 WIB
MedanBisnis – Medan. Sumatera Utara (Sumut) termasuk propinsi dengan jumah kasus tanah terbanyak. Konflik pertanahan yang tak kunjung berakhir merupakan salah satu akibat dari penyelesaian yang setengah hati oleh pemerintah.
Komisi A DPRD Sumut dalam refleksi akhir tahun 2011 menyimpulkan, dari 500 lebih kasus tanah yang mencuat di propinsi ini, tak satu kasus pun terselesaikan. Komisi A melihat adanya keberpihakan pemerintah kepada pihak perusahaan dalam sengketa tanah, sehingga menimbulkan perlawanan dari rakyat yang berujung konflik.

Padahal, menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Dharma Agung (UDA), Jaminuddin Marbun, peranan pemerintah dalam penyelesaian kasus tanah sangat dibutuhkan guna meredam konflik tanah yang berkepanjangan.

Sebab, tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha  memiliki tanah dan menguasainya.

"Penyelesaian sengketa tanah itu tidak bisa setengah-setengah. Ibarat memadamkan api, jangan dilakukan sifatnya sementara, karena akan kembali menyala," ujarnya kepada MedanBisnis, di Medan, Rabu (27/6).

Seharusnya, lanjut Jaminuddin, pemerintah harus mencari akar permasalahan tentang apa penyebab terjadinya kasus sengketa lahan itu. Sehingga, dengan mengetahui akar permasalahan itu, dapat diketahui apa solusi  dalam tahapan penyelesaiannya.

Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah belakangan ini, paparnya, seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama ini negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. (cw 07)

Sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2012/06/28/103472/sengketa_tanah_akibat_penyelesaian_separuh_hati/#.T-yedZFVvDg
 

4 Tahun , Terjadi 241 Konflik Sosial di Riau Dipicu SDA

Kamis, 28 Juni 2012


241 konflik sosial terjadi di Riau selama 4 tahun terakhir. Hampir semua konflik dipicu persoalan sumber daya alam.

Riauterkini-PEKANBARU-Data Scale Up menyebutkan bahwa konflik sosial di Riau relatif tinggi. Namun trend konflik di Riau menurun di 4 tahun belakangan ini. Tahun 2008 tercatat ada 96 konflik, 2009 sebanyak 67 konflik, 2010 sebanyak 44 konflik dan 2011 sebanyak 34 konflik.

Direktur Eksekutif Scale Up, Ahmad Zazali dalam diskusi penguatan kapasitas jurnalis dengan topik “Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai” di Breaks Café, Mal Ciputra Pekanbaru Rabu (27/6) menyebutkan, konflik sosial di Riau pada umumnya dipicu faktor sengketa sumber daya alam. Konflik sosial tertinggi terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan.

Menurutnya, tingginya konflik sosial di Riau di picu adanya ketidak teraturan sistem pertanahan di Riau. Banyak sekali terjadi tumpang tindihnya perijinan lahan di lapangan yang memicu konflik sosial. Baik antara perusahaan dengan kelompok masyarakat, pemerintah dengan kelompok masyarakat ataupun antara kelompok masyarakat dengan masyarakat.

"Kita berharap pemerintah bisa menertibkan sistem pertanahan di Riau. Karena dengan sistem yang saat ini digunakan dan berdampak pada tunpang tindihnya perijinan lahan, maka konflik tersebut masih akan terus muncul di Riau," terangnya. ***(H-we)



Sumber :http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=48549

Pekerja PT Palma Satu Rusak Sawit Petani Pancur, Pemkab Diminta Sikapi Serius,

Kamis, 28 Juni 2012

Pemkab Inhil diminta serius dalam menyikapi perusakan yang dilakukan pekerja PT Palma Satu. Pasalnya, Dalm pekerja PT Palma Satu terus merusak dan mencabuti tanaman kelapa sawit warga.

Riauterkini-TEMBILAHAN-Sampai hati ini para pekerja PT Palma Satu terus melakukan perusakan terhadap tanaman milik petani Desa Pancur. Kuasa hukum petani minta Pemkab Inhil serius menyikapi masalah ini.
 

Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Selamat, Ahmad Rizal Zuhdi, menyampaikan bahwa saat ini anggotanya di lapangan merasa resah akibat aksi para pekerja PT Palma Satu yang merusak tanaman sawit yang ditanam anggotanya.
 

"Baru saja yang ditelepon anggota di lapangan, bahwa tanaman sawit mereka dicabut oleh para pekerja PT Palma Satu," ungkap Ketua Gapoktan Selamat, Ahmad Rizal Zuhdi kepada riauterkini.com, Kamis (27/6/12).
 

Diterangkan Ahmad, dikhawatirkan aksi provokasi para pekerja PT Palma Satu ini akan memancing kemarahan dan terjadinya tindakan yang tidak diinginkan di lapangan.
 

"Kita terus memberikan pemahaman kepada anggota agar dapat menahan diri dan tidak terpancing melakukan tindakan yang tidak diinginkan," sebutnya.
 

Sementara itu Kuasa Hukum Gapoktan Selamat, Zainuddin Acang, SH mengharapkan permasalahan konflik di lapangan ini dapat disikapi serius pihak Pemkab Inhil, jangan sampai permasalahan ini nantinya menjadi 'bom waktu' konflik yang lebih luas.
 

"Kita minta pihak Pemkab Inhil dapat serius menyikapi permasalahan ini, jangan sampai kejadian di lapangan ini memicu konflik lebih luas nantinya," tegas advokat jebolan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.
 

Menurutnya, seharusnya Pemkab Inhil dapat mengambil tindakan tegas atas aksi penyerobotan lahan milik petani Desa Pancur, apalagi pihak PT Palma Satu yang memasuki wilayah Inhil tanpa mengantongi izin dari Pemkab Inhil.
 

"Bagaimana mungkin mereka (PT Palma Satu, red) beroperasi di wilayah Inhil, tapi izin mereka miliki dikeluarkan Pemkab Inhu. Pemkab Inhil seharusnya bertindak tegas atas tindakan PT Palma Satu ini.
 

Untuk diketahui, para petani yang lahannya diserobot ini mengantongi Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan Kepala Desa Pancur dan Camat Keritang. Dan mengacu kepada Peraturan Gubri No.28 Tahun 2005 tentang Penetapan dan Penegaasan Batas Daerah antara Kabupaten Inhu dan Inhil dan diperkuat putusan Mahkamah Agung RI No. 10/P.PTS/V/2008/10/HUM/2007 yang menegaskan bahwa Desa Pancur, Kecamatan Keritang masuk wilayah Indragiri Hilir.***(mar)
Sumber : http://riauinfosawit.blogspot.com/2012/06/pekerja-pt-palma-satu-rusak-sawit.html

Rabu, 27 Juni 2012

Konflik di Riau Dipicu Sumber Daya Alam

PEKANBARU-Direktur Eksekutif Scale Up Ahmad Zazali menyebutkan, konflik sosial di Riau pada umumnya dipicu faktor sengketa sumber daya alam. Sepanjang 2008-2011, data yang dihimpun Scale Up menunjukkan konflik sosial tertinggi terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan.
Tahun 2008 tercatat ada 96 konflik, 2009 sebanyak 67 konflik, 2010 sebanyak 44 konflik dan 2011 sebanyak 34 konflik. Demikian diungkapkan Ahmad Zazali saat menjadi narasumber dalam diskusi penguatan kapasitas jurnalis dengan topik “Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai” di Breaks Café, Mal Ciputra Pekanbaru, Rabu (27/6 kemarin.
Diskusi yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru  bekerja sama dengan Scale Up juga menghadirkan mantan Ketua AJI Pekanbaru sekaligus Dosen FISIP Unri, Ahmad Jamaan dan dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Rahdiansyah. Sekitar 15 jurnalis yang terdiri dari anggota AJI Pekanbaru, perwakilan media di Riau dan Forum Pers Mahasiswa (Fopersma) terlibat dalam diskusi terbatas tersebut.
“Konflik itu terjadi karena tumpang tindihnya perizinan lahan di lapangan,” imbuh Ahmad Zazali yang juga merupakan anggota Komisi Dewan Kehutanan Nasional (DKN) ini.
Ahmad Jamaan kemarin lebih menyoroti soal pemberitaan jurnalis dalam liputan konflik. Menurutnya, sebelum jurnalis meliput suatu konflik, jurnalis harus benar-benar terlepas dari berbagai kepentingan. Bahkan, menu rutnya perusahaan pers tempatnya bekerja juga tidak bisa melakukan intervensi.
“Sehingga berita yang dihasilkan benar-benar objektif, berimbang dan tak memunculkan konflik baru,” ungkap mantan anggota Panwaslu Riau ini.
Selain itu, Ahmad Jamaan juga menekankan perlunya jurnalis menjaga keselamatan saat menghadapi liputan konflik. Jadi kata Ahmad Jamaan, soal keselamatan ini harus betul-betul diperhatikan, dan tidak dianggap remeh oleh jurnalis.
Sementara Rahdiansyah, mencoba melihat dari kacamata akademisi dalam melihat resolusi konflik. Menurutnya, UU No 30/1999 tentang Alternatif Dispute Resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif  di luar pengadilan masih terlalu kaku. ADR masih  terkait perselisihan bidang bisnis. Sedangkan untuk penyelesaian konflik sumber daya alam belum mengatur. “Tapi model penyelesaian yang ada di masyarakat, lewat jalur-jalur musyawarah untuk mufakat bisa dikembangkan dan sifatnya lebih fleksibel,” paparnya. (rls/nom)

Sumber : http://haluanriaupress.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1074:konflik-di-riau-dipicu-sumber-daya-alam&catid=51:halaman-10&Itemid=76

Tentukan Nasib Duta Palma Group

27 juni 2012


Pemkab dan DPRD Inhu Datangi Dirjen Perkebunan dan Kehutanan Polemik keberadaan PT.Duta Palma Grup di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) masih terus berlanjut, untuk menentukan keberlangsunganya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Inhu kembali mendatangi Dirjen PHKA kehutanan RI dan Dirjen Perkebunan dan Pertanian RI di Jakarta. Selasa (26/6/12).

Ketua Komisi A DPRD Inhu Suradi kepada wartawan mengatakan, Komisi A dan Komisi B bersama pihak Pemkab Inhu yang diwakili Sekda Kab Inhu, Dinas Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Asisten I dan Kabag Tapem. Akan mengkonsultasikan sekaligus meminta masukan terhadap hasil Pansus PT. Duta Palma Grup yang telah di Paripurnakan pada Pebruari 2012 lalu. “ Agendanya pada Kamis di Dirjen PHKA Kehutanan dan Jumat di Dirjen Pertanian dan Perkebunan RI,” ujarnya.

Ditambahkanya konsultasi kali ini dilakukan guna menyamakan persepsi antara DPRD dan Pemkab Inhu, khususnya tentang rekoemndasi pansus. “Hal ini dilakukan, akibat Pemkab Inhu selaku eksekutor terlihat gamang menindak lanjuti keputusan Pansus,” tegasnya.

Selama di Dirjen PHKA Kehutanan dan Dirjen Pertanian Perkebuna RI, DPRD dan Pemkb Inhu sekaligus akan membahas terkait ijin pelepasan kawasan hutan PT.Duta Palma Grup. “Terkecuali lahan yang di desa Penyaguan, Sebab hal tersebut mengacu pada SK Bupati Inhu nomor 181 tahun 2010. Dimana lahan tersebut sudah di inklap seluas 3.000 hektar untuk warga Penyaguan,” ungkapnya.

Keberangkatan DPRD dan Pemkab Inhu ini untuk menindaklanjuti Kesepakatan Pemkab dan DPRD Inhu dalam hearing komisi A dan B dengan Pemkab Inhu, tentang tanggapan Pemkab Inhu terhadap hasil Pansus DPRD Inhu terhadap PT.Duta Palma Grup Senin (11/6/12) lalu bertempat di ruang rapat gedung DPRD Inhu Pematang Reba.

Dimana dalam berita acara kesepakatan tersebut ditegaskan, PT.Duta Palma Grup yang terdiri dari PT.Banyu Bening Utama (PKS dan Perkebunan), PT.Palma Satu, PT.Panca Agro Lestari dan PT.Seberida Subur. Untuk menghentikan aktifitas usahanya sebelum mendapatkan surat izin pelepasan kawasan hutan, baik HPT maupun HPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang kehutanan dari Mentri kehutanan.

Hal tersebut dilakukan setelah Pemkab dan DPRD Inhu dalam waktu dua minggu sejak kesepakatan ditandatangani, akan berkonsultasi dengan Kementrian Kehutanan RI dan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian di Jakarta.

Setelah didapatkan kepastian dari Kemenhut dan Dirjen Perkebunan di Kementrian Pertanian, Pemkab Inhu segera memberi teguran berupa peringatan tertulis, sebanyak dua kali berturut turut kepada PT.Duta Palma Grup.

Apabila pihak PT.Duta Palma Grup tidak mengindahkan teguran yang dilakukan Pemkab Inhu sebanyak dua kali berturut turut. Maka Bupati Inhu sesuai kewenanganya mencabut izin yang dimiliki perusahaan tersebut, yaitu izin lokasi, izin usaha perkebunan budi daya (IUP-B), izin usaha perkebunan pengolahan (IUP-P) sesuai dengan izin yang dimiliki oleh perusahaan.

Dasar dilakukanya teguran tersebut adalah, pelanggaran UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan, kewajiban untuk memberikan kebun plasma bagi masyarakat dan khusus untuk PT.Palma Satu harus mengindahkan surat keputusan Bupati nomor 180 tahun 2010 tentang revisi izin lokasi perkebunan.

Bahkan Wakil ketua DPRD Inhu Zaharman Kaz yang hadir dalam hearing saat itu menegaskan, DPRD Inhu akan merekomendasikan kepada Mabes Polri atas dugaan pidana yang dilakukan dalam kawasan hutan oleh PT.Duta Palma Grup. Rekomendasi tersebut juga akan ditembuskan kepada KPK dan Wakil Presiden serta DPR RI. (RiauTerkini) 

Sumber : http://www.riauposhariini.com/2012/06/tentukan-nasib-duta-palma-group.html

60% Perkebunan Sawit Belum Bangun Kebun Plasma

28 juni 2012
JAKARTA (IFT) – Hasil audit Kementerian Pertanian menunjukkan 60% atau 180 perkebunan dari 300 perkebunan sawit yang diaudit belum membangun kebun rakyat atau kebun plasma. Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, mengatakan pihaknya akan merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26/2007 tentang Perkebunan dengan mempertegas aturan dan sanksi.

Dalam revisi aturan, perusahaan yang tidak membangun kebun plasma akan mendapat sanksi hingga pencabutan izin. Pemerintah mewajibkan perkebunan yang memiliki izin usaha membangun perkebunan plasma minimal 20% dari total areal kebun mereka dalam jangka waktu 2-3 tahun sejak terbitnya izin.

Gamal mengungkapkan pengusaha masih keberatan atas batas waktu tersebut karena keterbatasan lahan. Namun, menurut dia, perusahaan bisa menggantinya dengan melakukan
corporate social responsibility atau (CSR).

Pemerintah juga berencana memberikan rekomendasi untuk setiap izin usaha perkebunan sawit. Pemberian rekomendasi dari pusat perlu karena semakin banyak konflik lahan antara masyarakat dengan perkebunan.

Rusman Heriawan, Wakil Menteri Pertanian, mengatakan rekomendasi dari kementerian perlu supaya status kepemilikan lahan jelas. Nantinya pemerintah daerah menerbitkan izin setelah memperoleh rekomendasi dari pusat. “Peran pusat selama ini hanya jadi pengawas,” ujar dia.


Namun, aturan rekomendasi masih dikaji agar tidak bertentangan dengan undang-undang otonomi yang melarang pemerintah pusat ikut campur dalam pemberian izin usaha perkebunan. Pemerintah menargetkan revisi aturan perkebunan ini bisa selesai awal Juli.


Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengusulkan pembukaan perkebunan plasma dilakukan setelah lahan perkebunan inti beroperasi selama tiga tahun. Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI, mengatakan periode itu dibutuhkan perkebunan agar perusahaan bisa fokus mempersiapkan perkebunan inti. Apalagi selama ini pendanaan dari bank untuk membangun perkebunan plasma baru bisa cair saat perkebunan inti sudah tiga tahun tertanam.


Rimbun Situmorang, Direktur Utama PT Citra Borneo Indah, mengatakan kerja sama dengan masyarakat terus dilakukan karena perusahaan menilai masyarakat adalah mitra perusahaan. Perusahaan aktif dalam program CSR. Salah satunya program tanah kas desa, di mana setiap desa di lokasi perkebunan diberikan kebun kelapa sawit seluas 10 hektare. Kultur teknis di perkebunan ini sama dengan perkebunan inti dan hasilnya digunakan untuk operasional desa.


Perusahaan juga dalam proses membangun kebun plasma. Namun, Rimbun menegaskan, perekrutan petani sangat ketat agar yang menjadi peserta benar-benar masyarakat setempat. Vallauthan Subraminam, Regional Head I Citra Borneo Indah, menambahkan perusahaan mendirikan pusat pelatihan untuk petani plasma. Petani plasma diarahkan menjadi petani profesional sehingga produksi kebun plasma sama dengan inti.


Saat ini Citra Borneo memiliki 17 hektare lahan plasma. Namun, yang beroperasi masih 500 hektare. Petani rata-rata memiliki satu kavling lahan yang luasnya minimal 2 hektare.


Sumber : http://www.bakrie-brothers.com/mediarelation/detail/2192/60-perkebunan-sawit-belum-bangun-kebun-plasma
 

Tentukan Nasib Duta Palma Group, Pemkab dan DPRD Inhu Datangi Dirjen Perkebunan dan Kehutanan

Rabu, 27 Juni 2012

Riauterkini -RENGAT-Polemik keberadaan PT.Duta Palma Grup di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) masih terus berlanjut, untuk menentukan keberlangsunganya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Inhu kembali mendatangi Dirjen PHKA kehutanan RI dan Dirjen Perkebunan dan Pertanian RI di Jakarta. Selasa (26/6/12).

Ketua Komisi A DPRD Inhu Suradi kepada wartawan mengatakan, Komisi A dan Komisi B bersama pihak Pemkab Inhu yang diwakili Sekda Kab Inhu, Dinas Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Asisten I dan Kabag Tapem. Akan mengkonsultasikan sekaligus meminta masukan terhadap hasil Pansus PT. Duta Palma Grup yang telah di Paripurnakan pada Pebruari 2012 lalu. “ Agendanya pada Kamis di Dirjen PHKA Kehutanan dan Jumat di Dirjen Pertanian dan Perkebunan RI,” ujarnya.

Ditambahkanya konsultasi kali ini dilakukan guna menyamakan persepsi antara DPRD dan Pemkab Inhu, khususnya tentang rekoemndasi pansus. “Hal ini dilakukan, akibat Pemkab Inhu selaku eksekutor terlihat gamang menindak lanjuti keputusan Pansus,” tegasnya.

Selama di Dirjen PHKA Kehutanan dan Dirjen Pertanian Perkebuna RI, DPRD dan Pemkb Inhu sekaligus akan membahas terkait ijin pelepasan kawasan hutan PT.Duta Palma Grup. “Terkecuali lahan yang di desa Penyaguan, Sebab hal tersebut mengacu pada SK Bupati Inhu nomor 181 tahun 2010. Dimana lahan tersebut sudah di inklap seluas 3.000 hektar untuk warga Penyaguan,” ungkapnya.

Keberangkatan DPRD dan Pemkab Inhu ini untuk menindaklanjuti Kesepakatan Pemkab dan DPRD Inhu dalam hearing komisi A dan B dengan Pemkab Inhu, tentang tanggapan Pemkab Inhu terhadap hasil Pansus DPRD Inhu terhadap PT.Duta Palma Grup Senin (11/6/12) lalu bertempat di ruang rapat gedung DPRD Inhu Pematang Reba.

Dimana dalam berita acara kesepakatan tersebut ditegaskan, PT.Duta Palma Grup yang terdiri dari PT.Banyu Bening Utama (PKS dan Perkebunan), PT.Palma Satu, PT.Panca Agro Lestari dan PT.Seberida Subur. Untuk menghentikan aktifitas usahanya sebelum mendapatkan surat izin pelepasan kawasan hutan, baik HPT maupun HPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang kehutanan dari Mentri kehutanan.

Hal tersebut dilakukan setelah Pemkab dan DPRD Inhu dalam waktu dua minggu sejak kesepakatan ditandatangani, akan berkonsultasi dengan Kementrian Kehutanan RI dan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian di Jakarta. 

Setelah didapatkan kepastian dari Kemenhut dan Dirjen Perkebunan di Kementrian Pertanian, Pemkab Inhu segera memberi teguran berupa peringatan tertulis, sebanyak dua kali berturut turut kepada PT.Duta Palma Grup.

Apabila pihak PT.Duta Palma Grup tidak mengindahkan teguran yang dilakukan Pemkab Inhu sebanyak dua kali berturut turut. Maka Bupati Inhu sesuai kewenanganya mencabut izin yang dimiliki perusahaan tersebut, yaitu izin lokasi, izin usaha perkebunan budi daya (IUP-B), izin usaha perkebunan pengolahan (IUP-P) sesuai dengan izin yang dimiliki oleh perusahaan.

Dasar dilakukanya teguran tersebut adalah, pelanggaran UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan, kewajiban untuk memberikan kebun plasma bagi masyarakat dan khusus untuk PT.Palma Satu harus mengindahkan surat keputusan Bupati nomor 180 tahun 2010 tentang revisi izin lokasi perkebunan.

Bahkan Wakil ketua DPRD Inhu Zaharman Kaz yang hadir dalam hearing saat itu menegaskan, DPRD Inhu akan merekomendasikan kepada Mabes Polri atas dugaan pidana yang dilakukan dalam kawasan hutan oleh PT.Duta Palma Grup. Rekomendasi tersebut juga akan ditembuskan kepada KPK dan Wakil Presiden serta DPR RI. ***(guh)
Sumber : http://riauinfosawit.blogspot.com/2012/06/tentukan-nasib-duta-palma-group-pemkab.html

Kepala Adat Dayak Mendatangi Mabes Polri

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Adat Besar Dayak Kalimantan Timur, Elisason mendatangi divisi Propam Mabes Polri, Rabu (27/6/2012). Elisason melaporkan tindak kriminalisasi yang dilakukan Kepolisian Daerah Kalimantan Timur terhadap lima warga Paser di Kalimantan Timur.
Lima warga tersebut ditahan hingga kini dengan alasan membawa senjata tajam saat ingin menyelesaikan permasalahan lahan dengan PT. Kideco Jaya Agung. Padahal menurut Elisason itu hanyalah alat tradisional warga yang biasa dibawa dalam adat mereka.
"Jadi laporan saat ini atas penangkapan, penahanan juga semua tindakan polisi yang berpihak kepada perusahaan dan bertindak kriminalisasi terhadap masyarakat," terang Elisason di Mabes Polri, Rabu (27/6/2012).
Kapolres Kabupaten Paser dan Kapolda Kaltim Elisason menjelaskan, masyarakat hanya menuntut hak terhadap PT. Kideco Jaya Agung sejak tahun 1990, yang telah menduduki lahan warga 1.000 hektar sebelumnya.
Warga meminta ganti rugi hingga akhirnya warga menduduki sengketa lahan tersebut pada akhir Mei dan awal Juni kemarin. Saat itu Polisi membubarkan secara paksa.
Warga juga sempat menempuh jalur negoisasi dengan perusahaan tersebut. Namun hanya janji dan tidak ada bukti nyata. Untuk itu ia pun melaporkan Kapolres Paser Kaltim dan Kapolda Kaltim.
"Waktu itu rapat untuk nego tapi tidak ada kemajuan apa-apa dan perusahaan selalu bersembunyi di balik kepolisian," terang Elisason.
Elisason juga menjelaskan Kapolres Paser Kaltim pernah berjanji akan membebaskan tahanan tersebut jika keluarga datang untuk tanda tangan surat.
Menurut Elisason, keluarga telah tanda tangan namun sampai saat ini tidak dibebaskan. Elisason juga mengaku telah melaporkan masalah ini ke Komnas HAM.
Laporannya juga telah diterima Mabes Polri dengan nomor STPL/196/VI/2012/YANDUAN tertanggal 27 Juni 2012.

Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/2012/06/27/22525914/Kepala.Adat.Dayak.Mendatangi.Mabes.Polri

Kepala Adat Dayak Laporkan Kapolda

Rabu, 27 June 2012

Kepala Adat Besar Dayak, Elisason melaporkan Kepala Polda Kalimantan Timur dan Kapolres Kabupaten Paser kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri, terkait dugaan mengkriminalisasikan masyarakat setempat.

"Kami melaporkan perlakuan polisi yang mengkriminalisasi masyarakat, disebabkan masyarakat menuntut hak mereka terhadap PT Kriya Jaya Agung sejak 1990 hingga sekarang yang tidak mau membayar," kata Elisason di Jakarta, Rabu (27/6).

Ketua Adat Besar Dayak Kalimantan Timur mengadukan pimpinan Polda Kalimantan Timur dengan laporan Nomor : STPL/196/VI/2012/YANDUAN tertanggal 27 Juni 2012.

Elisason menduga aparat kepolisian menghambat keinginan masyarakat setempat yang menduduki lahan sengketa tersebut, guna menuntut hak dengan cara mmebubarkan paksa sebanyak dua kali.

Selain Divpropam Mabes Polri, Keluarga Besar Adat Dayak Kalimantan Timur sudah mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Elisason mengungkapkan masyarakat mengandalkan kehidupan dari garapan lahan tanah seluas 1.000 hektar, kemudian PT Karya Jaya Agung mengambil alih status lahan tanah selama bertahun-tahun, namun tanpa memberikan ganti rugi sejak 1990 hingga saat ini.

Elisason menuturkan masyarakat setempat bernegosiasi dengan pihak perusahaan hingga memberikan kuasa kepada lembaga perlindungan dan pembelaan masyarakat hukum adat dayak Kalimantan Timur, namun manajemen PT Karya Jaya Agung selalu mengelak.

"Bahkan perjuangan masyarakat mendapatkan hambatan dari petugas kepolisian yang selalu menyalahkan warga," ungkap Elisason.

Usai tidak mendapatkan tanggapan dari perusahaan, masyarakat memutuskan untuk menduduki lahan garapan yang belum dibayar.

Namun, aksi masyarakat mendapatkan perlawanan dari anggota Brigade Mobil (Brimob) Balilkpapan dengan cara membubarkan paksa.

Elisason mengungkapkan petugas kepolisian juga menangkap lima orang warga yang membawa alat kerja dan senjata tradisional seperti mandau sebagai kebiasaan adat warga sekitar saat berada dekat lokasi lahan yang sengketa pada sehari sebelum terjadi pembubaran paksa.

Kelima orang warga tersebut mendapatkan intimidasi dan menjalani penahanan, padahal tidak ada alasan untuk diproses secara hukum, karena warga tersebut membawa senjata tajam, namun tidak bermaksud untuk mengancam seseorang, tutur Elisason.

Kelompok Adat Besar Dayak Kalimantan Timur menuntut pihak kepolisian setempat melepaskan kelima warga tersebut, serta meminta perusahaan menarik gugatan perdata lahan sengketa dan membayar gantu rugi kepada masyarakat.

Sumber :  http://ww2.hukumonline.com/berita/baca/lt4feb35f69d05b/kepala-adat-dayak-laporkan-kapolda

AMAN Kalteng dorong pengakuan hak masyarakat adat

27 juni 2012

Sumber: http://www.antaranews.com/berita/318305/aman-kalteng-dorong-pengakuan-hak-masyarakat-adat
Palangka Raya, Kalimantan Tengah (ANTARA News) – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, mendorong rancangan undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, karena sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 18 B (2).
Ketua BPH AMAN Kalteng, Simpun Sampurna, di Palangka Raya, Selasa, mengatakan, di Kalteng terdapat Perda Nomor 1/2010 tentang kelembagaan adat Dayak dan Pergub nomor 13/2009 tentang adat dan hak-hak adat diatas tanah.
Salah satu harapan kedua peraturan perundangan tersebut, ungkapnya, bisa menjadi alat mempertegas wilayah kelola masyarakat adat di Kalteng dam mampu meredam konflik sengketa lahan yang terjadi.
Tidak hanya itu saja, saat ini AMAN Kalteng juga sedang berupaya agar terpenuhinya ruang-ruang dan pengakuan wilayah adat dalam rencana tata ruang wilayah Kalteng.
Wilayah kelola masyarakat adat sebagian besar tidak memiliki tapal batas, karena sejak dahulu batas wilayah adat berdasarkan kesepakatan bersama dan masyarakat adat dalam mengelola lahan masih ada yang menggunakan sistem ladang gilir balik.
Selain itu masyarakat adat sangat bijaksana dalam mengelola lahan dengan membuka lahan baru setiap beberapa tahun, karena masyarakat adat tidak mempunyai batas wilayah yang legal.
Pihaknya seringkali mendapat laporan dari anggota komunitas mengenai konflik masyarakat adat dengan perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan.
Ada juga masyarakat adat yang berat hati menjual tanahnya ke perusahaan karena sudah terlanjur digarap. Kondisi ini sering terjadi di wilayah masyarakat adat.
Di tengah permasalahan masyarakat adat akibat invasi pemodal, pertambangan dan perkebunan swasta, kini muncul isu baru tentang perubahan iklim yang juga akan kembali bersentuhan dan berdampak terhadap masyarakat adat yakni REDD.
Untuk mencari solusi atas lahan adat dan meredam konflik sengketa lahan di Kalteng, pengurus wilayah AMAN Kalteng menggelar diskusi panel yang bekerja sama dengan Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kalteng, yang akan berlangsung di Palangka Raya, besok.
Ketua panitia pelaksana, Abdul Rahman, mengatakan, tujuan kegiatan tersebut untuk membangun pemahaman dan mencari solusi untuk meredam konflik tanah, khususnya di Kalteng serta meningkatkan kesadaran terhadap celah-celah yang bisa menjadi sumber konflik sengketa lahan.
(KR-TVA/N005)

HGU PTPN II Langkat Seluas 1.210 Ha Dikeluarkan

Rabu, 27 Juni 2012
Stabat,Sumutycber- Lahan HGU seluas 1210,08 Hektar yang tadinya dikuasai oleh PTPN II di Kabupaten Langkat tidak mendapat perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) sesuai rekomendasi Tim B. Dari lahan tersebut akan dibagi nantinya sebagian untuk Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR) kota Stabat, dan sebagian lainnya untuk tanah Ulayat.

Demikian yang terungkap pada saat rapat Komisi I DPRD Langkat dengan PTPN II Tanjung Morawa, BPN Langkat, Polres Langkat, Kodim Langkat, dan Pemkab Langkat berlangsung di kantor DPRD Langkat Stabat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Dewan Abdul Khair, terkait dalam menyikapi persoalan lahan HGU PTPN II yang ada dikabupaten Langkat, Senin (25/6).

Sesuai dengan surat yang diterima DPRD Langkat, pimpinan rapat Abdul Khair mengatakan bahwa ada seluas 1210,08 Hektar lahan HGU PTPN II di Kabupaten Langkat yang telah dikeluarkan dari lahan HGU PTPN II. Dan penjelasan Dewan tersebut dibenarkan oleh Robert Silaban, yang saat ini bertugas pada Bagian Pertanahan PTPN II Tanjung Morawa.

Masing-masing lahan seluas 44,06 hektar berada di kebun Kwala Bingai 1, 299,17 Hektar dikebun Kwala Bingai 2, seluas 27,75 Hektar dikebun Tanjung Jati, 6,64 Hektar dikebun Tanjung Keliling, 6,92 Hektar diglugur Langkat, 43,93 Hektar dikebun Marike, 240,64 Hektar dikebun Kwala Begumit, 16,5 Hektar dikebun Gohor Lama, 14 Hektar dibesilam, 28,5 diBinjai Estate, dan 33,95 Hektar di Purwobinangun. Ditegaskan kembali, Ya, memang benar ada seluas 1210,08 Hektar lahan PTPN II di Langkat yang kini tidak dimasukkan lagi dalam perpanjangan Izin HGU, ucap R Silaban.

Dari pihak PTPN II juga menyebutkan, luas lahan yang dikeluarkan dari HGU itu didalamnya termasuk untuk bagian tanah Ulayat, dan untuk Rencana Umum tata Ruang (RUTR) kota yang diajukan oleh Pemkab Langkat. Dan Manager PTPN II kebun Kwala Bingai Stabat, Topan Syahputra mengatakan bahwa “lahan yang dikeluarkan dari HGU diperuntukan sebagai penghargaan bagi hak Ulayat seluas 200 Hektar dari kebun Kwala Bingai, berada di Disa Teluk Kecamatan Secanggang. Lahan tersebut kini telah di garap dan dikuasai oleh Ansyaruddin alias AAN dan kawan-kawan.

Sementara itu, sedang berjalannya rapat Komisi I DPRD Langkat dengan BPN, PTPN II, Polres dan Kodim serta Pemkab Langkat, datang rombongan masa dari Badan Penunggu Rakyat Perjuangan Indonesia (BPRPI) dan masa Forum Rakyat Bersatu (FRB) yang juga terkait tentang sengketa lahan dengan PTPN II, karena diketahui sebelumnya sesuai dengan jadwal diundang dalam pertemuan itu, untuk mengetahui duduk persoalannya.

Terkait semakin memanasnya persoalan sengketa lahan, Khoir meminta PTPN II agar memosisikan karyawannya untuk bekerja, bukan dimobilisasi untuk bentrok fisik dengan warga, sehingga tidak ada kesan bahwa karyawan juga dibenturkan dengan warga yang juga sama-sama masyarakat Langkat sebutnya.(SBR/MBB) 


Sumber : http://www.sumutcyber.com/index.php?open=view&newsid=21080&cat=215&pid=2



Lahan Eks PTPN II Segera Diambil Alih

Rabu, 27 Jun 2012
Heri Surbakti
PEMERINTAH Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut), menegaskan ribuan hektar lahan eks PTPN II akan diambil alih untuk dikelola meningkatkan perekonomian daerah khususnya dibidang perkebunan.
Asisten I Bidang Pemerintahan Sekretariat Daerah Privinsi Sumut, Hasiholan Silaen, di Medan, Selasa (26/6), mengatakan hingga saat ini tim kerja pemasangan patok atau pilar batas areal eks HGU PTPN II masih terus melaksanakan tugasnya dilapangan. Dari laporan terakhir di lapangan, pengerjaan pematokan lahan negara yang selama ini dikelola oleh PTPN II, sudah selesai sebesar 95 persen. Proyek pemasangan patok dikerjakan oleh PTPN II, sedangkan untuk menentukan luas lahan dan pembuatan peta dikerjakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut.
Menurut Silaen, jumlah lahan yang akan diambil alih itu sebesar 5.873,06 hektar. Setelah keseluruhannya selesai didata, maka Pemprov Sumut, akan memanfa'atkannya untuk proyek perkebunan berbagai jenis, mulai dari sawit, karet, coklat, dan tebu, sesuai kontur tanah dan kelayakan tanaman yang akan dikelola dilahan eks PTPN II itu. "Sudah 95 persen selesai didata. Pemerintah akan mengelolanya untuk lahan perkebunan, " jelas Silaen. Sementara itu, selama dalam proses pendataan dan pematokan lahan eks PTPN II ini, kendala yang sering dihadapi, adalah banyaknya penggarap yang sudah menempati tanah negara itu.
Sengketa antara penggarap dengan pihak PTPN juga masih terus terjadi. Bentrok dengan aparat keamanan serta para petugas yang melakukan pematokan dilapangan, menyebabkan proses finalisasi belum selesai.


Sumber: http://nasional.jurnas.com/halaman/16/2012-06-27/213704
 

Kepala adat Dayak laporkan Kapolda Kaltim


Rabu, 27 Juni 2012


Kami melaporkan perlakuan polisi yang mengkriminalisasi masyarakat, disebabkan masyarakat menuntut hak mereka terhadap PT Kriya Jaya Agung sejak 1990 hingga sekarang yang tidak mau membayar."
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Adat Besar Dayak, Elisason melaporkan Kepala Polda Kalimantan Timur dan Kapolres Kabupaten Paser kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri, terkait dugaan mengkriminalisasikan masyarakat setempat.

"Kami melaporkan perlakuan polisi yang mengkriminalisasi masyarakat, disebabkan masyarakat menuntut hak mereka terhadap PT Kriya Jaya Agung sejak 1990 hingga sekarang yang tidak mau membayar," kata Elisason di Jakarta, Rabu.

Ketua Adat Besar Dayak Kalimantan Timur mengadukan pimpinan Polda Kalimantan Timur dengan laporan Nomor : STPL/196/VI/2012/YANDUAN tertanggal 27 Juni 2012.

Elisason menduga aparat kepolisian menghambat keinginan masyarakat setempat yang menduduki lahan sengketa tersebut, guna menuntut hak dengan cara membubarkan paksa sebanyak dua kali.

Selain Divpropam Mabes Polri, Keluarga Besar Adat Dayak Kalimantan Timur sudah mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Elisason mengungkapkan masyarakat mengandalkan kehidupan dari garapan lahan tanah seluas 1.000 hektar, kemudian PT Karya Jaya Agung mengambil alih status lahan tanah selama bertahun-tahun, namun tanpa memberikan ganti rugi sejak 1990 hingga saat ini.

Elisason menuturkan masyarakat setempat bernegosiasi dengan pihak perusahaan hingga memberikan kuasa kepada lembaga perlindungan dan pembelaan masyarakat hukum adat dayak Kalimantan Timur, namun manajemen PT Karya Jaya Agung selalu mengelak.

"Bahkan perjuangan masyarakat mendapatkan hambatan dari petugas kepolisian yang selalu menyalahkan warga," ungkap Elisason.

Usai tidak mendapatkan tanggapan dari perusahaan, masyarakat memutuskan untuk menduduki lahan garapan yang belum dibayar.

Namun, aksi masyarakat mendapatkan perlawanan dari anggota Brigade Mobil (Brimob) Balilkpapan dengan cara membubarkan paksa.

Elisason mengungkapkan petugas kepolisian juga menangkap lima orang warga yang membawa alat kerja dan senjata tradisional seperti mandau sebagai kebiasaan adat warga sekitar saat berada dekat lokasi lahan yang sengketa pada sehari sebelum terjadi pembubaran paksa.

Kelima orang warga tersebut mendapatkan intimidasi dan menjalani penahanan, padahal tidak ada alasan untuk diproses secara hukum, karena warga tersebut membawa senjata tajam, namun tidak bermaksud untuk mengancam seseorang, tutur Elisason.

Kelompok Adat Besar Dayak Kalimantan Timur menuntut pihak kepolisian setempat melepaskan kelima warga tersebut, serta meminta perusahaan menarik gugatan perdata lahan sengketa dan membayar gantu rugi kepada masyarakat. (T014/R021)

Sumber : http://www.antaranews.com/berita/318568/kepala-adat-dayak-laporkan-kapolda-kaltim
 

tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah