Lakukanlah sesuatu itu karena itu memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan kamu dapatkan.

Jumat, 18 Januari 2013

Menyibak tabir gawai gedang suku Talang Mamak

"Lebih baik mati anak, daripada mati adat". Pepatah kuno Suku Talang Mamak itu menggambarkan kondisi masyarakat adat untuk mempertahankan tradisi leluhur agar tak lekang melawan perubahan zaman.

Ritual pesta pernikahan adat "Gawai Gedang" kini pun berubah menjadi bagian dari bentuk perjuangan masyarakat adat di Provinsi Riau itu untuk mendapat pengakuan dari pemerintah.

Bau kemenyan menyeruak ke udara pada medio Januari, saat tangan-tangan kuat para lelaki Talang Mamak mencoba menegakkan "tiang gelanggang" di Desa Talang Perigi, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Desa terpencil yang berjarak sekitar 200 kilometer dari Kota Pekanbaru itu seakan menjadi saksi bisu perhelatan adat yang sudah 10 tahun terlupakan.

Jalan kampung yang biasa sepi dan berdebu, kini "dipersolek" dengan tegakan janur kuning dan umbul-umbul. Semuanya mengarah ke sebuah rumah kayu berkelir hijau dan biru dengan pelatarannya yang lapang. Di halaman rumah sudah berdiri enam pondok sederhana, yang paling mencolok bernama "Kajang Sirung".

Bangunan dari kayu dan bambu itu dibuat menyerupai perahu beratap kain putih dan dihiasi janur kuning. Itulah tempat penyambutan tokoh-tokoh adat Talang Mamak dari berbagai penjuru Indragiri Hulu.

Naiknya tiang gelanggang menjadi pertanda dimulainya Gawai Gedang. Tonggak kayu setinggi lima meter itu terbuat dari kayu "pungai" dan bambu, berbalut kain putih dan hiasan uang logam yang digantung dipuncaknya. Saat matahari mulai tampak tinggi dari ufuk Timur, empat kain (layar) berkibar di tengah tiang gelanggang, menandai persatuan warga dan penghormatan untuk tokoh adat.

Layar bercorak batik mewakili masyarakat, layar putih menandai batin, warna hitam untuk patih, dan layar merah untuk dubalang

Nyaris punah
Suku Talang Mamak masuk dalam kategori Melayu Tua (Proto Melayu), yang hidup menyebar di pedalaman Indragiri Hulu di Provinsi Riau hingga ke Provinsi Jambi. Mereka memiliki tradisi Gawai Gedang yang diartikan sebagai perhelatan nikah adat yang besar.

Ketua Panitia Gawai Gedang, Gilung menjelaskan ritual itu merupakan pesta nikah untuk dua mempelai yang berasal dari Desa Talang Perigi dan Ampang Delapan. Namun, gawai kali ini berbeda dengan pesta pernikahan adat biasa karena turut melibatkan pemangku adat tertinggi Talang Mamak (Patih), serta 20 dari 29 tokoh adat setingkat kepala desa (batin). Masing-masing batin mengajak puluhan warga untuk meramaikan pesta.

"Jumlah panitianya saja ada 100 orang, yang isinya dari tiap-tiap batin," kata pria berusia 33 tahun itu.

Ritual pesta nikah dibarengi dengan pesta sunatan massal yang diikuti oleh enam anak laki-laki. Setiap ada tokoh adat tiba di lokasi pesta, kedua mempelai bersama pengantin sunat menyambutnya dengan berkeliling tiang gelanggang sebanyak tiga putaran. Uniknya, para pengantin itu berkeliling dengan cara digendong dipundak pengiring nikah.

Gawai Gedang berlangsung selama tiga hari mulai tanggal 14 hingga 16 Januari. Rentetan ritual adat sering berlangsung hingga dini hari seperti pembacaan petuah kehidupan (Gantung Pauh-pauh), ritual pengobatan dukun (Kemantan) dan Tari Piring.

Ritual Gawai Gedang juga tak lepas dari tradisi sabung ayam, yang kerap diwarnai perjudian. Pihak keluarga pengantin nikah juga menyiapkan ayam aduan sendiri yang diadu pada permulaan Gawai Gedang dan sebelum penutupan pada hari terakhir. Suku Talang Mamak percaya adu ayam itu dapat mencegah roh jahat masuk ke rumah tempat ritual adat digelar.

Karena itu, Gilung mengatakan biaya yang dibutuhkan untuk Gawai Gedang sangat "membengkak" untuk ukuran pesta nikah di kampung. Pengeluaran paling banyak keluar dari pos konsumsi karena kepanitian sudah mulai berkumpul di lokasi pesta sejak dua minggu sebelum acara.

"Kalau dikalkulasikan semuanya, biaya Gawai Gedang lebih dari Rp200 juta," kata Gilung.

Tingginya kebutuhan biaya itu diakui Gilung menjadi salah satu penyebab warga Talang Mamak kesulitan menggelar Gawai Gedang. Terakhir kali ritual itu digelar di Desa Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim tahun 2003. Akibatnya, banyak generasi muda Talang Mamak tidak mengenal tradisi itu.

Namun, ia mengatakan para tokoh adat Talang Mamak sudah sepakat untuk "menghidupkan" kembali Gawai Gedang yang nyaris dilupakan. Ritual nikah akbar itu dipercaya ikut mempererat tali persaudaraan karena ikut melestarikan budaya gotong-royong Suku Talang Mamak.

Karena itu, Gewai Gedang kali ini ikut ditanggung bersama oleh 20 batin yang ikut serta. Mereka turut membiayai acara dengan mengumpulkan sumbangan dari warga Talang Mamak di daerahnya.

"Setiap batin ikut membantu ada yang dengan sumbangan uang, ada yang bawa beras dan ada juga menyumbang lewat tenaga," katanya.

Seorang warga Talang Mamak, Bahasan, mengatakan penyebab lain Gawai Gedang mulai ditinggalkan karena pengaruh budaya luar, terutama dengan kehadiran agama Islam. Ketika banyak warga Talang Mamak memeluk Islam, secara adat hal itu berarti meninggalkan kepercayaan "Langkah Lama" yang dianut leluhur.

Kepercayaan tersebut mirip seperti "Kejawen" di Jawa, karena Talang Mamak mempercayai Islam tapi tidak melaksanakan ibadah selayaknya muslim.

Bahasan mengatakan, mereka yang menganut agama diluar kepercayaan "Langkah Lama" masih diakui sebagai Talang Mamak, namun kerap disebut sebagai "Anak Talang". Mereka tidak diperkenankan menjadi tokoh adat maupun menggelar ritual adat.

Bahkan, hal itu juga dialami oleh Gading seorang bekas Patih Talang Mamak, yang akhirnya dilengserkan karena memilih menjadi muslim.

"Saya sendiri sudah lama memeluk Islam, karena itu tidak menikah dengan cara adat lagi. Tapi untuk Gawai Gedang ini banyak Anak Talang ikut membantu karena merasa masih menjadi bagian dari Talang Mamak dan melestarikan tradisi adalah kewajiban," kata lelaki tua berumur 60 tahun itu.

Selain itu, mempertahankan tradisi menikah secara adat juga kerap menyulitkan warga Talang Mamak karena prosesi itu tidak mengikuti hukum nikah yang diakui pemerintah Indonesia. Mereka tidak melakukan akad nikah dengan menghadirkan penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA), apalagi mengurusnya ke Kantor Catatan Sipil.

"Sahnya nikah dan cerai dalam adat Talang Mamak ditandai dengan makan daun sirih," kata Batin Talang Jerinjing, Jamin.

Daun sirih inilah layaknya surat nikah dan cerai bagi Talang Mamak karena mereka tidak punya tradisi menulis. Karena itu, pengantin Talang Mamak yang nikah secara adat tidak memiliki surat nikah resmi, dan anak-anak mereka lebih sulit masuk sekolah karena tidak punya akta kelahiran. (Bersambung)




Patih Majuan di usianya yang masih muda kini memikul beban sangat berat untuk memperjuangkan nasib Suku Talang Mamak.

Pria kelahiran tahun 1987 itu diangkat menjadi Patih pada dua tahun lalu untuk menggantikan Gading yang tidak diakui lagi secara adat.

Bagi Majuan, ritual Gawai Gedang tidak hanya sebuah pesta besar, melainkan untuk menyatukan seluruh pemangku adat Talang Mamak yang sebelumnya bercerai-berai.

"Beban saya memang sangat berat, tapi kalau kita kompak tidak jalan sendiri-sendiri pasti ada jalan keluar nanti," katanya.

Lelaki berperawakan kecil yang murah senyum itu mengatakan ada kisah di balik pelaksanaan Gawai Gedang. Hal itu bermula pada bulan Maret tahun lalu, ketika Majuan hadir dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Halmahera, Provinsi Maluku Utara.

"Saya sedih kenapa kondisi masyarakat adat disana bisa lebih sejahtera, dan hutan mereka masih terjaga. Sedangkan, Talang Mamak bernasib sebaliknya," ujar Majuan.

Dalam kenyataannya, ia mengatakan kondisi Talang Mamak kini makin terpinggirkan seperti tidak tersentuh pembangunan. Hutan mereka yang dulu menjadi sumber kehidupan, kini sudah gundul dan beralih jadi konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Kehadiran investasi kapitalis ternyata hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, dan mencerai-berai warga Talang Mamak.

Pembangunan yang dilakukan pemerintah, dalam pandangan Majuan, ternyata kurang menghargai Suku Talang Mamak yang sangat bergantung pada hasil hutan. Kehadiran perangkat pemerintahan tidak mengakui pemangku adat dalam mengambil kebijakan. Akibatnya, hutan adat (Rimba Puaka) yang secara tradisi sangat dijaga dan haram untuk ditebang pun musnah.

"Dulu kami punya Rimba Puaka luasnya sekitar 2.300 hektare di Desa Durian Cacar, sekarang sudah habis ditebang dan dikuasai perusahaan. Mungkin sekarang tinggal lima hektare saja hutan keramat yang tersisa," katanya.

Majuan kini pun baru sadar, andaikan dahulu seluruh pemangku adat Talang Mamak bersatu, mereka pasti bisa mempertahankan Rimba Puaka dan tanah adat (ulayat). Andaikan Rimba Puaka masih ada, lanjutnya, tentu biaya Gawai Gedang tidak bakal mahal karena bahan makanan sudah disediakan di hutan tanpa perlu membelinya.

Menurut dia, memperjuangkan nasib Talang Mamak bukan hanya ada di tangan Patih karena hal itu hanya berbuah keputusasaan seperti yang terjadi pada Laman, Patih Talang Mamak sebelumnya.

Nama Patih Laman sempat terkenal karena mendapat penghargaan Kalpataru tahun 2009 karena mempertahankan Rimba Puaka. Dia pun mendapat penghargaan dari WWF di Kinabalu, Malaysia karena perjuangannya itu.

Namun, ternyata Laman hanya berjuang sendirian karena tidak didukung oleh seluruh pemangku adat. Bahkan, pemangku adat juga ada yang menggadai tanah ulayat yang seharusnya dilarang untuk dijual. Penghargaannya itu akhirnya sia-sia karena Laman tak mampu mencegah Rimba Puaka "dijarah", hingga ia akhirnya memutuskan untuk mengembalikan Kalpataru ke pemerintah pada tahun 2010.

"Saya sungguh takjub dengan perjuangan Pak Laman memperjuangkan hutan adat. Tapi kesalahan dia adalah karena berjuang sendirian. Kasihan Pak Laman sekarang hanya bisa dirumah karena patah semangatnya," ujar Majuan.

Majuan ingin belajar dari kesalahan para pendahulunya, karena itu ia mencari cara untuk menyatukan pemangku adat. Dengan bantuan organisasi AMAN, ia mencoba mengumpulkan para batin dan Gawai Gadang merupakan media untuk memulainya.

"Awalnya tidak mudah, dari hanya enam batin yang setuju dan sekarang terkumpul semua di Gawai Gedang," ujarnya.

Resolusi Adat
Sebanyak 20 batin akhirnya menggelar musyawarah adat sehari sebelum pelaksanaan Gawai Gedang di Balai Adat Desa Talang Perigi.

Dalam pertemuan itu para pemangku adat berikrar untuk memperkokoh kebersamaan, memetakan lagi wilayah adat Talang Mamak, melakukan penggalian dan pelurusan sejarah adat secara benar, dan menghidupkan kembali lembaga adat serta tradisi dan hukum adat.

"Yang terpenting dalam maklumat musyawarah adalah seluruhnya sepakat untuk menghentikan tindakan-tindakan menjual tanah adat," katanya.

Dalam musyawarah itu juga terlahir resolusi adat, yang berisi 15 poin tuntutan terhadap pemerintah untuk mengakui keberadaan Talang Mamak.

"Selama ini Talang Mamak hanya dijadikan korban politik saat pemilu, karena para politisi hanya bisa memberikan janji. Mulai sekarang kami tidak mau lagi dibodohi, kalau ada mereka datang lagi harus disumpah dengan adat untuk memajukan Talang Mamak," tegasnya.

Dalam resolusi itu para pemangku adat mendesak DPR RI mendengarkan aspirasi masyarakat adat untuk mensegerakan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Mereka juga mendesak agar Pemerintah Kabupaten dan DPRD Indragiri Hulu untuk mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengakui hak-hak adat, tanah ulayat hingga kepercayaan Talang Mamak.

Untuk memperjuangkan Rimba Puaka yang sudah habis dikuasai perusahaan, mereka meminta agar Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Kehutanan untuk mengevaluasi sertifikat pemberian hak guna usaha serta perijinan kehutanan di atas wilayah adat Talang Mamak.

Kepada pemerintah daerah, mereka juga mendesak agar disediakan fasilitas pendidikan, perbaikan jalan, dan penyesuaian kurikulum pendidikan agar sesuai dengan pembangunan karakter masyarakat adat Talang Mamak. Majuan mengatakan, masih banyak warga Talang Mamak kesulitan untuk sekolah termasuk dirinya yang harus belajar sendiri untuk bisa baca tulis.

"Pendidikan sangat penting karena saya mengimpikan ada sekolah SD sampai SMA di dekat permukiman Talang Mamak, dan anak-anak kami nantinya ada yang bisa jadi guru dan dokter untuk membangun daerahnya," kata Majuan yang mengaku tak pernah mengenyam pendidikan formal.

Resolusi adat itu juga menyuarakan agar pemerintah daerah membuat kebijakan agar mempermudah pencatatan kewarganegaraan bagi masyarakat adat untuk pengurusan KTP, akta kelahiran, dan akta nikah.

Selain itu, pemangku adat Talang Mamak juga mendesak perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah adat untuk membuka diri dan berdialog, agar bisa menciptakan kesepakatan mengenai ganti rugi dari hutan adat yang telah dirampas.

"Sebenarnya kami bukan ingin melawan pemerintah, tapi kami minta Talang Mamak jangan dibedakan dan jangan dipersulit hidupnya," ujar Majuan.

Di luar resolusi itu, Majuan menyadari bahwa perubahan nasib Talang Mamak harus diperjuangkan oleh mereka sendiri. Ia pun sadar bahwa Talang Mamak juga lengah untuk mengubah cara pandang mereka dalam pertanian, yang mengakibatkan mereka "latah" menanam sawit dan menebang pohon karet peninggalan orang tua.

Padahal, mereka tidak paham bagaimana cara menanam sawit karena pola bertani Talang Mamak masih sangat sederhana. Mereka hanya membiarkan tanaman tumbuh tanpa perawatan, padahal teknologi pertanian sudah berkembang pesat.

Karena itu, Majuan menggerakan warganya untuk membuka lahan seluas dua hektare agar mereka bisa menanam palawija. Modalnya berasal dari iuran swadaya sebesar Rp20 ribu per bulan yang selama setahun terakhir sudah terkumpul sekitar Rp7 juta.

"Sejauh ini baru 13 orang yang mau ikut. Tapi kalau nanti berhasil, pasti banyak yang akan ikut. Karena itu saya meminta Pemerintah Indragiri Hulu mau memberi bantuan bibit dan penyuluh pertanian, biar kami lebih pandai bertani," katanya.

Patih Majuan memang masih sangat muda, namun di dalam tubuh kecilnya tersimpan cita-cita dan tekad yang sangat besar untuk memperbaiki nasib kaumnya. Semoga saja suatu hari nanti Suku Talang Mamak bisa hidup sejahtera di tanah kelahirannya sendiri, tanpa kehilangan identitas mereka sebagai masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal menjaga hutan adatnya.

"Setiap perjuangan pasti ada rintangan dan cobaan. Sekuat apa cobaan itu, kami akan terus berusaha melaluinya," pungkas Patih Majuan.

(F012/Z003)

Editor: Aditia Maruli
 Sumber :http://www.antaranews.com/berita/353677/menyibak-tabir-gawai-gedang-suku-talang-mamak-bagian-1

http://www.antaranews.com/berita/353678/menyibak-tabir-gawai-gedang-suku-talang-mamak-bagian-2-habis























tanah untuk keadilan

tanah untuk keadilan

Visitor

Flag Counter

Bertuah

Blogger Bertuah